Wah, ini postingan pertama setelah enam bulan.
Sebagaimana biasanya seorang bloger iseng, pemilik blog ini
juga sempat meninggalkan rutinitas menulis di blog ini tanpa perasaan bersalah.
Alasannya mengerjakan skripsi (yang sebenarnya jarang sekali) lah, nulis di web
lain lah, ikut kegiatan komunitas lah, makan-tedok-meseng lah.
Namun sebagaimana halnya juga bloger iseng, akan ada
waktunya pemilik blog ini juga merasa ‘kebelet’ ingin menumpahkan kembali
perasaannya lewat tulisan di blog ini. Alasan untuk melakukan comeback tersebut bisa muncul karena
berbagai macam dorongan, misalnya, jatuh cinta. Tapi berhubung sudah lama
sekali sejak aku ‘dijatuhkan’ cinta, macamnya dorongan satu ini sudah tidak
relevan lagi untuk dijadikan alasan menulis. Jadi kita pakai saja misal yang
lain : kecewa dan frustrasi karena tidak jadi ikut Peksiminas XIV.
Nah, ini baru benar. Selain karena alasannya lebih logis,
hal tersebut memang BENAR-BENAR TERJADI.
Right. Postingan
kali ini tergolong curhat. Jika menurut kalian stalking IG mantan masih lebih berfaedah, silakan tinggalkan blog
ini dan lakukan aktivitas berdarah tersebut. Tapi jika tidak, plys don’t
go. Q butuh didengarkan—er, dibaca.
Mengenal Peksiminas
dan Peksi-peksi Lainnya
Apa itu Peksiminas? Jika kalian mahasiswa (atau pernah jadi
mahasiswa) dan aktif di UKM kesenian, tentu Peksiminas ini bukan barang asing.
Peksiminas sendiri singkatan dari Pekan Seni Mahasiswa Nasional. Sebagaimana
PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) dan PMW (Pekan Mahasiswa Wirausaha),
Peksiminas ini adalah event perlombaan mahasiswa berskala nasional yang cukup
bergengsi. Bergengsi karena, mahasiswa yang bertanding dalam Peksiminas bukan
lagi bertanding mewakili kampus masing-masing, melainkan provinsi
masing-masing, dalam 19 tangkai lomba plus satu tangkai lomba eksibisi yang
dipertandingkan. And guess, Semua
tangkai lombanya bernuansa seni (ya iyalah!), mulai dari tari, vocal group, menyanyi solo, penampilan
monolog, pembacaan puisi, lukis, penulisan lakon/puisi/cerpen dan bahkan komik
strip.
FYI, aku pernah ikut serta di Peksiminas XIII dua tahun
sebelumnya—Peksiminas memang digelar dua tahun sekali—di Kendari, Sulawesi
Tenggara. Aku ikut serta di tangkai lomba komik strip. Dan walaupun tidak
pulang membawa piala, itu merupakan salah satu pengalaman tak terlupakan sepanjang
masa kuliahku. Bukan hanya berkesempatan mewakili provinsi dalam perlombaan
nasional, tapi aku juga berkesempatan menginjakkan kaki di bagian Timur
Indonesia, yang entah bisa kukunjungi lagi atau tidak suatu hari nanti, juga
bertemu komikus-komikus mahasiswa yang keren-keren dari seluruh penjuru
Indonesia.
Sesi foto bersama peserta dan juri komik strip Peksiminas XIII di Kendari, Sulawesi Tenggara
Selain dengan umur yang lah
begoyor, aku juga kini sudah duduk di tahun keenamku di Unsri. Dengan batas
maksimal masa kuliah tujuh tahun, jelas ini tahun terakhirku bisa ikut serta di
Peksiminas, dan keadaan tersebut secara tak langsung justru membuat peksiminas
tahun ini jadi berkali-kali lebih berarti buatku. I mean, benar-benar teramat sangat sungguh berarti sekali luar
biasa Allahuakbar bagiku.
Tapi untuk bisa bertanding mewakili Sumsel, sebelumnya aku
harus bertanding di Peksimida, semacam seleksi daerah antar universitas di
Sumsel untuk menentukan siapa delegasi yang pantas mewakili Sumsel dalam tiap
tangkai lomba. Dan sebelum Peksimida Sumsel pun, ada Peksimika, seleksi tingkat
kampus dalam tiap-tiap tangkai lomba. Lalu dibawah peksimika, ada lagi seleksi
tingkat fakultas. Dengan kata lain untuk bisa ikut serta dalam tangkai lomba
komik strip di Peksiminas, aku sebelumnya harus lolos ujian tiga lapis.
Atas kehendak Tuhan dan demi mempersingkat postingan ini,
walhasil aku lolos di tingkat fakultas dan kampus tanpa ada hambatan yang
berarti—selain jadwal pengumpulan karya dan pengumuman yang sempat mundur
berkali-kali. Tinggallah Peksimida berdiri congkak di tengah perjalananku, menunggu
untuk ditebas.
Namun justru disanalah nasib naas menimpa bukan hanya aku, tapi
juga empat peserta peksimida lain dari Unsri.
Perkenalkan Roki, Si
Biang Kerok #1
Peksimida Sumsel awalnya dijadwalkan berlangsung tanggal 12
hingga 15 September. Masing-masing lomba dikoordinir oleh universitas yang
berbeda-beda, dan kebetulan lomba komik strip dan lukis dikoordinir oleh sebuah
universitas swasta di Palembang, sebut saja Universitas Asdfasdfasdf. Lomba
yang dijadwalkan berlangsung tanggal 12 tersebut diundur ke tanggal yang belum
pasti. Kami mendapatkan informasi tersebut setelah mengontak langsung koordinator
dari Universitas Asdfasdfasdf, sebut saja Roki.
Sekedar mengabarkan, Rektorat Unsri sebenarnya memiliki
Bagian Kemahasiswaan yang bertugas mengakomodir segala keperluan informasi
terkait minat dan bakat bagi seluruh mahasiswanya, termasuk tentang perlombaan
akbar setaraf Peksimida dan Peksiminas. Namun dikarenakan satu atau lain hal
yang menjengkelkan, maka aku dan Haikal—mahasiswa FE Unsri yang mewakili Unsri
dalam lomba lukis—harus berkontak langsung dengan sang koordinator lomba, seorang
pegawai kemahasiswaan Universitas Asdfasdfasdf, yang juga menjengkelkan.
Awal kami memulai hubungan (?) tersebut adalah tanggal 10
September. Dari responnya yang lamban dan terkesan sembarangan, bisa kutangkap
bahwa Roki sebenarnya TIDAK MEMAHAMI TEKNIS PERLOMBAAN KOMIK STRIP secara umum.
Dan berhubung aku bukan orang yang mudah menarik kesimpulan sembarangan tentang
reputasi orang lain, berikut kulampirkan asbab analisisku.
Sama seperti tahun kemarin? Mungkin dia gagal paham kalau
Peksimida hanya digelar dua tahun sekali. Dan seperti apa ‘sama’ yang ia maksud tersebut? Hanya Roki
dan Tuhan yang tahu.
Dia bahkan nampak sembarangan menentukan ‘Asian Games 2018’
sebagai tema komik strip yang akan diperlombakan, which is, bertentangan dengan ketentuan tema umum Peksimida yang
seharusnya mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Peksiminas XIV di Yogyakarta—yang
tahun ini mengusung tema ‘Merajut Budaya’.
Dude, i was just
asking simple questions. Namun demi menengarai ketidaksiapan Si Roki
terkait informasi seputar pelaksanaan lomba, akhirnya ia mengambil keputusan
bahwa lomba komik strip dan lomba lukis ditunda dari jadwal tanggal 12
September 2018 hingga waktu yang belum ditentukan.
Oh, baiklah. Kami akan menunggu dengan setia, sesuai yang ia minta.
Aku dan Haikal kembali menanyakan perkara tanggal tersebut kepada Roki pada tanggal 11 September, yang baru ia balas lewat hampir tengah malam tanggal 11 September.
Dia sempat bilang perlombaan akan dilakukan "jam 10. rencana". Silakan nilai sendiri sikap sembarangannya dalam menyusun ketentuan lomba
Oh, baiklah. Kami akan menunggu dengan setia, sesuai yang ia
minta (2).
Timbul rasa segan untuk kembali bertanya, karena ia
menekankan perkataan NANTI KALAU SUDAH PASTI DIKABARI. Bisa jadi
Si Roki ini akan menghubungi kami lagi pada tanggal 13, atau 14, atau 15, hari
terakhir pelaksanaan Peksimida.
Tapi kabar yang ditunggu tersebut tak kunjung muncul.
Sebagai gantinya, yang muncul adalah inisiatif dari Haikal
untuk menelepon Roki pada sore hari tanggal 14 September. Jawaban konyol bin
ta’un pun melintas keluar dengan santai dari mulut Roki.
“Lomba komik strip dan lukis pelaksanaannya sudah selesai
hari ini, dan sudah ada juaranya”
Iya, begitu. Tanpa ada permintaan maaf, rasa menyesal atau
tendensi untuk mempertanggung jawabkan perkataannya yang menyuruh kami
menunggu, ia bilang semuanya sudah usai. Tanpa ada solusi.
Oh, baiklah. Kami akan menunggu dengan seti—F U C K I T !!!
Tak berhenti mulutku merapal umpatan-umpatan lokal yang kerap
dilempar supir angkot dan bus kota, namun fisikku sendiri lemas dan gemetar
hebat. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku semarah itu sebelumnya. Tidak mengejutkan
jika tekanan darahku ternyata naik lagi.
Hatiku menjerit—ini sungguhan. Dua tahun aku menunggu bisa
kembali bertanding di Peksiminas. Aku bahkan tak henti mem-follow up informasi tentang Peksiminas XIV dari bagian
kemahasiswaan Unsri dan bagian kemahasiswaan FE sejak bulan April, sejak mereka
yang aku tanyai bahkan tidak paham Peksiminas apa yang aku maksud. Jika ada
cara membuat kuliah semester 11-ku yang lapukan ini dapat lebih berharga dan
berfaedah, mengikuti Peksiminas kembali adalah salah satu caranya. Tak akan
kubiarkan peluang terakhir ini hilang hanya karena kelalaian seorang Roki yang
wajahnya saja aku tidak kenal.
Namun entah mengapa, hatiku merasa familiar dengan kondisi
ini.
Aneh. Sejak langkah kaki pertamaku dalam mengikuti seleksi
tingkat fakultas, aku sudah merasa ada bayang-bayang kegelapan yang mengintai,
siap mengandaskan harapanku menuju Peksiminas kapan saja. Aku
menyalah-artikannya sebagai sindrom pra-kompetisi yang memang biasa terjadi.
Ternyata itu bukan tekanan yang sama sekali berasal dari kompetisi. Itu firasat
buruk, dan saat itu juga aku tahu apa arti firasat tersebut.
Aku dan Haikal tentu tidak putus akal sampai disitu. Aku
menghubungi sendiri Roki, pura-pura tidak tahu tentang apa pun. Lalu setelah ia
mengatakan hal yang sama kepadaku, maka aku, dengan elegansi yang masih bisa
kupaksakan, berusaha meminta solusi dari dia sebagai koordinator lomba.
Roki bersikeras melemparku ke pihak Unsri dan BPSMI. Dan sejak itu, aku mulai mempertanyakan jenis kelaminnya.
Baru saat emosiku sedikit reda, aku mulai mampu berpikir rasional.
Bisa jadi, Roki bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Bisa jadi,
pihak kemahasiswaan Unsri—yang sejak awal juga memang sukses membuatku jengkel
dengan birokrasinya yang berbelit dan terkentut-terpising—juga
turut andil dalam kegagalanku dan Haikal ikut Peksimida. Bisa jadi, masih ada
kesempatan untuk mengadakan lomba susulan, jika pihak Unsri bersedia
menjembatani kami dan pihak Unvesitas Asdfasdfasdf sebagai koordinator lomba.
Bisa jadi, rahasia awet muda adalah mengelap wajah dengan sempak bekas seperti
kata Raditya Dika. Bisa jadi, bisa jadi.
Terlalu banyak bisa jadi tersebut membuat tidurku malam itu dirundung kegelisahan.
Perkenalkan Sobri, Si
Biang Kerok #2
Esok paginya aku langsung tancap gas ke Gedung KPA Unsri
Kampus Bukit, siap-siap memberondong pejabat Bagian Kemahasiswaan kami—sebut
saja Sobri—dengan pertanyaan-pertanyaan ‘remeh’ seputar nasibku dan nasib
Haikal. Namun Sobri ternyata tidak di tempat, karena ia dan pejabat Unsri
lainnya sibuk mempersiapkan Peksimida Tangkai Lomba Tari dan Monolog di FH
Tower—Unsri adalah koordinator lomba tari dan monolog, btw.
Dengan bantuan informasi dari teman-teman Peksimida yang masih
setia mendukung dan mendoakan, akhirnya aku menyambangi FH Tower, berharap
menemukan Sobri disana dan dapat menjeratnya dengan lapon* (kagak!).
Alhamdulillah, kami berjumpa. Saat Tim Tari Unsri selesai
tampil dengan amat dramatis, aku mulai mendekati Sobri dan menanyakan perihal nasibku
dan Haikal.
Saat kudekati, Sobri bahkan tidak mengenaliku sebagai
peserta Peksimida. Dan jawaban yang diberikannya sama tidak memuaskannya dengan ekspresi tak
bersalah yang menghiasi wajahnya.
“Ya mau bagaimana lagi. Kami kan sibuk, nggak terpegang
dengan semua informasi Peksimida. Harusnya kalian kontak langsung pihak
Asdfasdfasdf”
Aku utarakan kalau kami sudah menghubunginya lebih dari
sekali, dan kami diminta menunggu.
“Kan pihak Asdfasdfasdf bilang lombanya bukan tanggal 12,
berarti kalau bukan tanggal 13, ya 14 atau 15. Disitu kalian nggak nangkepnya”
YO MAKMANO KAMI NAK TAHU TANGGAL BERAPO LOMBANYO KALAU KATEK
YANG KASIH INFO? APO NAK TIAP HARI KAMI DATENGI ASDFASDFASDF UNTUK LOMBA?
“Ya kami nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Lombanya sudah
selesai, pelaksananya Asdfasdfasdf”
Tapi ini dua tangkai lomba lho, Pak, sayangku, yang
terhormat lagi dimuliakan. Dan kami sama-sama (seharusnya) mewakili nama Unsri.
“Tapi lombanya sudah pengumuman, sudah ada yang menang. Mau
bagaimana lagi”
Argumen Sobri tidak masuk akal. Selain karena Sobri
terkoneksi dengan semua penyelenggara Peksimida Sumsel di universitas lain, dia
sendiri membuat grup whatsapp khusus
peserta Peksimida Unsri dan memasukkan kami semua disana. Sobri bahkan rajin
men-forward semua informasi terkait
penyelenggaraan tiap tangkai lomba di grup tersebut. Hanya lomba komik strip,
lukis, cerpen, penulisan puisi dan penulisan lakon yang tak pernah kebagian
jatah informasi darinya. Lalu sekarang dia bilang itu bukan salahnya—yang jika
dikontak secara personal pun akan selalu hanya membaca.
Bertatap muka dengan Sobri yang kalem tanpa perasaan
berdosa tersebut sukses menyakiti hatiku. Bukan main aku muntab.
Sobri, dan kebiasaan 'membaca'-nya yang luar biasa
Lalu ruangan itu mendadak gelap. Sorot beberapa lampu latar
berkelindan di panggung dan tembok ruangan. Ternyata tim monolog dari Politeknik
Sriwijaya (Polsri) hendak tampil. Sobri pun tak bisa diajak berdiskusi dengan
kondusif—yang kalau dilanjutkan pun, bisa-bisa aku malah hanya tambah emosi dan
mematahkan batang lehernya.
Aku mengangkat ranselku dan berjalan cepat menuju pintu di
sebelah panggung, hendak keluar tanpa memperpanjang percakapan yang menguji
kesabaran tersebut. Namun sialnya ruangan itu dikunci dari luar. Maka aku pun
memaksa menggoyang-goyangkan dua daun pintu tersebut dengan kuat, hingga terdengar
bunyi ‘KRAK’ yang ganjil.
Aku menyerah, lalu buru-buru duduk dengan canggung di kursi
terdekat yang bisa kududuki. Bisa kurasakan belasan, kalau bukan puluhan pasang
mata penonton dan peserta lomba di ruangan itu menatapku heran. Aku hanya diam.
Pias. Aku memijit-mijit lenganku yang lemas, mengatur napas. Mataku basah, tapi
aku berusaha cool. Dan, anjing, itu
sulit sekali. Aku baru bisa keluar setelah akhirnya ada yang membuka kunci ruangan
tersebut dari luar.
Perkenalkan Sapar,
Biang Kerok #3
Hal yang mengisi kepalaku saat meninggalkan FH Tower masih
sama dengan yang mengisi kepalaku ketika datang : aku belum menyerah. Masih ada
peluang. Masih. Separuh harapan dan separuh keputusasaan menggantung dalam kata
itu. Aku bahkan sampai mengunjungi Polsri yang tidak jauh dari FH Tower,
mencari tahu apakah sekretariat BPSMI (Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia) Sumsel
ada disana, karena sekretaris BPSMI masih berstatus pejabat Polsri. Tentu saja
BPSMI bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan Peksimida, termasuk
tentang kebecusan semua koordinator lomba dalam melaksanakan tugasnya.
Setelah tahu bahwa BPSMI tidak bermarkas di Polsri, aku
mendirikan sholat Zuhur dan menenangkan diri yang sebenarnya sudah tidak bisa
tenang. Dengan sisa tenaga dan semangatku siang itu, aku mengontak salah
seorang pejabat Unsri selain Pak Sobri yang juga bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan Peksimida. Kali ini, kukenalkan Sapar pada kalian.
Kepada Pak Sapar, aku utarakan semua rasa kecewaku, perasaan
terzolimi kami, beserta harapan bahwa Unsri akan membantuku dan Haikal
membalikkan nasib—atau setidak-tidaknya, membantu kami menjalin kontak dengan
pihak Asdfasdfasdf agar ada sebentuk pertanggung jawaban atas nasib kami.
Kuharap ia paham, karena ternyata ia merespon chat whatsapp-ku lebih cepat dari yang biasa dilakukan pejabat kampus.
Wejangan yang sangat membantu dari Pak Sapar
“Terima saja, sudah suratan Tuhan”
Kurang lebih itulah inti perbincangan kami yang khidmat
tersebut.
Saat aku sudah siap menyelam lebih jauh lagi ke dalam kekecewaan,
Pak Sapar mengirimiku kontak pejabat BPSMI yang mungkin bisa lebih mampu
bertindak. Harapanku pun kembali bangkit.
Singkat cerita, dari tiga kontak pejabat BPSMI yang
kukumpulkan dari semua orang dan kuhubungi, hanya ada satu orang yang merespon
dengan tanggap—kontak yang diberikan Pak Sapar bahkan tidak membaca pesanku sama
sekali sampai detik ini. Wakil Dekan III Universitas Ghjkghjkghjk yang
meresponku tersebut bersedia mendiskusikan masalah kami dengan forum BPSMI dan
menjanjikan menghubungiku keesokan harinya, pada Hari Ahad.
Mengherankan. Jika dalam kondisi yang normal saja aku harusnya
berprasangka karena kembali disuruh menunggu, maka detik itu aku justru memutuskan
untuk percaya kepada sang penjabat BPSMI—yang entah akan benar-benar membahas
masalahku dengan rekan BPSMI-nya atau tidak. Entah apa yang membuatku bisa
begitu yakin, namun aku hanya merasa akan ada hal baik yang terjadi. Maka sejak
detik aku disuruh menunggu hingga saat
aku menerima telepon tersebut, aku menjadikannya doa yang kuaminkan. I have done everything i could. This is it.
Anti-klimaks
Telepon tersebut memang masuk keesokan malamnya. Si pejabat
BPSMI. Ia sebelumnya mengirimkan foto berupa tangkapan layar percakapan di grup
panitia Peksimida. Dan aku temukan sebuah fakta menarik darisana : Pihak
pertama yang bertanggung-jawab akan nasibku dan Haikal sebenarnya adalah Pak
Sapar, orang yang dengan entengnya menyuruhku menerima suratan takdir!
Melalui sambungan telepon, Sang Pejabat BPSMI menyampaikan
kabar yang, entah, aku tidak bisa memilah dengan logis lagi apakah itu kabar
buruk, kabar yang paling buruk atau kabar buruk yang harus kuikhlaskan. Ia
awalnya membesarkan hatiku, lalu menceritakan hasil komprominya bersama
rekan-rekan BPSMI-nya yang lain. Ia terdengar sangat berhati-hati dengan
pilihan katanya, waspada seandainya kata-kata yang salah ia pilih malah sukses
meledakkan hatiku yang tengah serapuh cangkang umang-umang.
Intinya, ia menyampaikan bahwa setidaknya terdapat tiga
alasan utama mengapa BPSMI tak bisa menyelenggarakan lomba ulang untukku dan
Haikal :
1. Pihak Universitas Asdfasdfasdf nyatanya terbukti
telah mem-forward informasi
pengubahan tanggal lomba komik strip dan lukis di grup koordinator pelaksana
Peksimida Sumsel. Di dalam grup tersebut terdapat perwakilan dari semua
universitas di Sumsel yang mengikutsertakan mahasiswanya di Peksimida. Dan coba
tebak? Pak Sapar dan pejabat Unsri lainnya ternyata ada di grup itu!! Itu
setidaknya membuktikan bahwa kelalaian utama dalam menyebarkan informasi terdapat
di pihak Unsri, bukan hanya pada Roki yang lupa mengabariku dan Haikal.
2. Berbeda dengan tangkai lomba lainnya, hasil lomba
komik strip dan lukis langsung diumumkan di tempat pelaksanaan usai lomba
tersebut digelar. Dengan kata lain, sejak Si Bangsat Roki mengabariku dan
Haikal bahwa lomba kami sudah selesai dilaksanakan, pada saat itu pula pemenang
lomba komik strip dan lukis telah dibai’at sebagai delegasi Sumsel menuju
Peksiminas XIV.
3. Pelaksanaan terakhir Peksimida Sumsel adalah
tanggal 15 September, satu hari sebelum kuterima telepon dari pejabat BPSMI.
Dan seandainya aku menerima telepon tersebut pada tanggal 15, pihak
Asdfasdfasdf tetap saja tidak bisa mengadakan lomba kembali, karena itu berarti
mengubah berita acara, mengadakan penjurian ulang dan menarik kembali
pengumuman satu hari sebelumnya.
Aku terkesiap. Sepanjang Pejabat BPSMI menyampaikan laporannya,
aku terus berubah posisi dari duduk ke berdiri, kemudian berjalan, lalu bersandar,
kemudian berjalan lagi lalu duduk lagi. Pejabat BPSMI lagi-lagi membesarkan
hatiku, bilang bahwa seandainya aku bisa ikut lomba susulan pun, dan
katakanlah, menang, maka mau dikemanakan Si Juara I lomba komik strip
Peksimida? Itu hanya memindahkan sakit hatiku padanya. Aku tertegun. Dia benar.
Dalam kesempatan terakhir melalui sambungan telepon itu, aku
kembali bertanya tentang ada-tidaknya peluangku dan Haikal untuk bertanding
mewakili Unsri.
“Tidak”, jawabnya tegas, namun juga hati-hati.
Akhirnya kuputuskan untuk menghormati keputusan BPSMI.
Kusalami tangan Si Pejabat dari jauh, mengucap terima kasih dan salam.
Sang Pejabat bilang, semoga beruntung di Peksimida
berikutnya, lalu kujawab bahwa aku sudah semester 11. Ia tertawa garing—“Ya
Allah alangke kesian nasib budak ini, lah lamo tamat, urung pulo melok
Peksimida”, mungkin begitu isi batinnya ketika ia tertawa.
Penulis Cerpen,
Penulis Lakon dan Penulis Puisi yang juga Tidak Beruntung
Syahdan, demikianlah aku berdamai dengan rencana Tuhan.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain ikhlas—Haikal sudah jauh-jauh waktu
ikhlas karena dia masih duduk di semester tiga, lebih ringan baginya disuruh
menunggu dua tahun lagi. Sudah kuusahakan semua yang kubisa, sudah kuhubungi
semua yang (kupikir) terlibat langsung dalam Peksimida. Aku tetap hancur. Berat
badanku bahkan sampai turun empat kilo akibat tiga hari yang emosional
tersebut. But live must go on.
Setidaknya mereka yang menang dan akan mewakili Sumsel di Peksiminas adalah
mahasiswa-mahasiswa terbaik dari yang bertanding—dan dari yang diberi
kesempatan bertanding—dan khusus untuk delegasi yang berasal dari Unsri, aku
bangga pada mereka. Jika memang ada pihak yang harusnya babak-belur dan merasa
bersalah, mereka adalah ketiga biang kerok yang melenyapkan kesempatan
bertandingku, Haikal dan tiga orang perwakilan Unsri lainnya dalam tangkai
lomba penulisan cerpen, penulisan lakon dan penulisan puisi.
Ah, aku bahkan belum menyebut mereka sama sekali.
Rencanaku meminta lomba susulan sebenarnya terinspirasi dari
mereka. Ketiga penulis muda ini bernasib sama seperti kami, ditelantarkan
kemahasiswaan kampus, diabaikan, sekedar disuruh berlomba tanpa diharapkan
menang sama sekali. Perbedaannya adalah, mereka memperoleh kesempatan untuk
mengikuti lomba susulan, karena Universitas koordinator lomba mereka merasa
bertanggung jawab dan bersedia mengakomodir mereka.
Atau setidaknya itulah cerita yang kudengar.
Malam harinya usai aku menerima telepon dari Pejabat BPSMI,
salah satu dari mereka—sebut saja Boim—meneleponku dan menanyakan nasibku dan
Haikal. Kubilang bahwa kami sudah gulung layar dan lempar jangkar, urung ikut
Peksimida. Lalu Boim menceritakan nasibnya yang tak jauh berbeda.
Pihak penyelenggara lomba kepenulisan Peksimida—silakan
masukkan nama alias kalian sendiri untuknya, aku kehabisan ide—memang
memberikan Boim dan kawan-kawannya kesempatan bertanding susulan. Namun
pertandingan susulan tersebut nampaknya hanya penghibur semata, karena sebelum
karya mereka benar-benar selesai dinilai, SK untuk pemenang lomba kepenulisan
malah telah selesai dicetak. Dengan kata lain, sebenarnya tanpa mereka ikut bertanding
susulan pun, sudah ada pemenang dari setiap tangkai lomba kepenulisan. Mereka dianaktirikan
Unsri dan dianakbawang-kan pihak penyelenggara. Anjir.
Saat mendengar kabar tersebut, perasaan lega dan gondok
tumbuh berebut tempat di dalam hatiku. Lega, karena ternyata aku dan Haikal
tidak dianak-tirikan sendirian oleh universitas, dan itu berarti kami berlima
telah sukses merealisasikan beberapa buah peribahasa adiluhung di Bumi Pertiwi
:
Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing.
Berdiri sama tinggi, duduk
sama rendah.
Makan sama kenyang, mulas sama boker.
Intinya, kesadaran
kolektif untuk memperjuangkan keadilan itu muncul di antara kami, dan
sayangnya, justru di detik-detik terakhir.
Gondok, karena jika diingat dengan seksama, pangkal dari
segala masalah mereka (dan kami) adalah kelalaian pihak kampus kami sendiri.
Sama seperti aku dan Haikal, lomba yang diikuti Boim dan kawan-kawannya juga
berubah jadwal, dan mereka tidak mendapatkan informasi apa pun darimana pun
tentang jadwal perlombaan yang sudah pasti, hingga mereka menghubungi sendiri
pihak penyelenggara hanya untuk tahu bahwa lombanya telah selesai.
Kelebat perkataan-perkataan menyesakkan para biang kerok
melintas-balik di dalam kepalaku.
“Mau bagaimana lagi?”
“kami kan sibuk”
“Hubungi langsung saja pihak Unsri”
“Ikhlaskan”
“Jadikan pelajaran berharga, SIAPKAN DIRI UNTUK PEKSIMIDA
BERIKUTNYA” ”
“Terimalah, sudah suratan takdir”
SURATAN TAKDIR GUNDULMU AMBLAS ?! BISA-BISANYA MENYURUH
ORANG LAIN IKHLAS ATAS KELALAIAN YANG KAU PERBUAT !!
Bagiku masalah ikhlas adalah urusanku dengan Tuhan, dan
cepat atau lambat, aku pun akan ikhlas dengan kejadian yang terlanjur dituliskan dalam ‘past tense’. Percayalah, aku
terlatih untuk menerima keadaan seperti itu. Aku sudah sering kalah, gagal, direndahkan
dan dibuat tak punya pilihan selain merelakan keadaan. Namun itu hanya setelah
aku berusaha sekuat tenaga, dan dalam kejadian kali ini, aku bahkan tidak
diberi kesempatan untuk berusaha.
Tapi aku juga terlatih dalam memahami sumber emosiku, dan
setidaknya ada satu hal yang kupahami tentang amarahku kali ini : kemarahan ini
tidak ada hubungannya dengan siapa pun yang menang dan beruntung dalam Peksimida. Aku hanya marah
pada mereka yang dzolim.
Aku marah pada mereka yang memiliki kuasa, namun lebih memilih menutup mata. Aku marah karena tidak diberi hak yang sama untuk bertanding seperti peserta
lainnya. Aku marah, karena untuk semua usaha dan penantianku yang hanya untuk
mendapatkan hak bertanding yang remeh tersebut, jawaban yang kuperoleh hanyalah
‘ikhlaskan’ dan cengiran-cengiran kuda, dan jawaban itu justru berasal dari
orang-orang lalai yang seharusnya bertanggung jawab dan meminta maaf.
Dan tidak ada sebutir permintaan maaf pun yang hadir ke
pangkuanku—dan kami—hingga detik ini. Dalam pandanganku, AKU MARAH UNTUK HAL
YANG SANGAT WAJAR.
Satu-satunya argumentasi yang layak dan santun hanya
kuperoleh dari Pejabat BPSMI yang mau repot-repot meluangkan waktunya untuk
membahas ‘permasalahan remeh’ kami. Itu sudah cukup untuk membanting setir
pikiranku kembali ke jalan yang lurus.
Namun yang bersalah, menurutku harus tetap menanggung
perbuatannya. Jika bukan dengan penyesalan dan permintaan maaf, maka ‘sentuhan’
Tuhan tentu lebih dari cukup. Tuhan Maha Adil. Maka berbeda dengan tangan
manusiaku yang kecil dan cenderung tebang pilih, hukuman-Nya tidak akan pernah
melewati batas wajar, juga tidak pernah meleset.
Nah, sampai jumpa Jogja—walau kita belum bertemu. Semoga di
lain hari aku tahu rasanya menggerayangi jalananmu di malam hari, atau bagaimana rasanya bersenyawa dengan detak
kehidupanmu di lain waktu. Dan kali itu, tanpa perlu membawa jaket almamater
dari kampus yang kusayangi.
catatan kaki :
*lapon : untaian jaring kawat yang kerap digunakan untuk menjerat hama celeng. Biasanya digunakan pemilik ladang singkong / kebun di Sumatera untuk melindungi tanamannya dari serangan celeng.
*BPSMI : Badan Penyelenggara Seni Mahasiswa Indonesia. Koordinator Wilayah BPSMI di Sumsel bertanggung jawab dalam menyelenggarakan seleksi Peksimida Sumsel. Anggota BPSMI merupakan pejabat universitas-universitas di Sumsel yang terlibat dan/atau ikut serta di dalam pelaksanaan Peksimida.
*Semua pihak eksternal yang namanya disebutkan dalam tulisan ini (selain Haikal, Polsri, Unsri dan BPSMI) merupakan nama samaran.