Jumat, 23 Agustus 2019

Sebuah Puisi Tentang Tahi Kucing

Ilustrasi dari Tahi-tahi no Mi, salah satu jenis buah iblis yang belum pernah diperkenalkan Eiichiro Oda. Konon, pemakan buah ini dapat membiaskan kemampuan panca indranya sendiri  hingga ke titik yang tidak terduga.
Suara kentut jadi suara terompet, tahi ayam jadi rasa cokelat.
Ya gitu.


Ketahuilah, sesungguhnya cinta adalah buah iblis yang sebenar-benarnya, seburuk-buruknya.

Buah terkutuk.

Terlahir dalam wujud paling menggemaskan, namun sesungguhnya paling mematikan.

Begitu tak memilih tempat untuk tumbuh.
Begitu gemar bertunas di waktu yang tak seharusnya,
merambati hati sesukanya,
berbuah semaunya,
untuk orang yang tidak semestinya,


Alih-alih menyajikan dirimu pada orang yang peduli untuk menyelipkan tip di bawah piring makan, atau sebarang senyum terima kasih di depan meja kasir,
kau malah memanjakan sukma mereka yang hanya menyantapmu, namun bahkan tak sudi menatap aku yang kau jadikan inang untuk tumbuh.


Dan sekarang, buah jalang, lagi-lagi kau menempatkanku dalam posisi yang teramat sulit.

Di tengah kecamuk kebencianku akanmu, kau berbunga dengan begitu indahnya,
menjebakku dalam dua pilihan yang sama-sama pahit :
membunuhmu, saat kecantikanmu tengah mekar dengan jelitanya;
Atau membiarkanmu tumbuh agar dapat kunikmati cantikmu, sedikit lagi,
bersama kehancuran hatiku, sekali lagi.
Seperti dulu.
Seperti selalu.


Haruskah kusalahkan hatiku yang terlampau subur untuk kau tumbuhi bersama sobat-sobat jalangmu yang lain : harapan dan rasa kesepian?

Atau mestikah kusalahkan diriku sendiri, pemilik hati tersebut, yang tak kunjung tegas mencerabuti akar apa pun yang tumbuh di dalamnya?

Atau (tentu saja) perlukah kusalahkan orang lain yang memetikmu tanpa perasaan berdosa, lalu mengunyah buahmu dengan nikmat di depanku, untuk kemudian mereka ludahkan kembali ke depan wajahku?


Kau pahit, cinta.
Hal manis apapun tentangmu merupakan tak lebih dari delusi fiktif yang kau pancarkan  dari kulit dan onakmu,
yang membuat orang-orang tertipu.

Termasuk aku.

Buktinya, sekarang aku kembali mengunyahmu dengan asyik.

Wah kamu manis, ya.

Kemudian pahit.

Kemudian aku tersungkur,
Mati (suri),
Menunggu
seseorang datang untuk mengobati,
atau sangkakala membangkitkanku kembali.


Dan kita sama-sama mafhum, aku tak pernah butuh sangkakala maupun orang lain untuk bisa bangkit kembali.
Aku akan bangun sendiri, mengobati diri,
setelah kau bunuh berkali-kali,
seperti selama ini.
Hanya agar esok hari kau bisa tumbuh lagi di hati ini.
Lalu aku, kembali terkunci dalam pilihan-pilihan tolol yang kuciptakan sendiri : mematikanmu dengan tega, atau membiarkanmu hidup lebih lama lagi, agar nanti buahmu kucicipi kembali.


Satu-satunya faedah dari memeliharamu adalah aku dapat belajar (sedikit) soal takdir.
Bahwa sebagian orang yang singgah di kehidupanku, terkadang tidak hadir untuk membawa perubahan apapun, apalagi kebahagiaan.
Jauh panggang dari api.

Sebagian datang, hanya karena mereka ditakdirkan demikian, sebelum akhirnya mereka pergi ke tempat yang teramat jauh yang tidak bisa dijangkau lagi dengan jemari atau hati.

Sebagian pertemuan, mungkin, memang diciptakan untuk sebuah kesia-siaan.

Dan aku, di titik-titik masa depan, tak lagi harus menanggapinya dengan nelangsa atau terkejut, seperti saat kutulis puisi ini.

Mungkin kali berikutnya kutemui seseorang yang mampu menyetrumku dengan tatapannya, aku tak perlu lagi berseru : ini dia cinta, dialah yang seharusnya memakan buahmu bersamaku!

Aku cukup bilang : ini semua tahi kucing, dan aku sudah cukup makan tahi kucing seumur hidupku. 

Titik.





~Palembang, 18 Agustus 2019.