Minggu, 04 Juni 2017

CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 0.2 (Bagian 3)




 
Gambar 1. Siluet dari sosok tak penting 
 
Singkat cerita, kami akhirnya mengompreng. Ini bukan pengalaman pertama buatku, tapi bagi ukhti-ukhti perkasa yang terus menjerit sedari awal perjalanan tadi, bisa ditebak ini pengalaman perdana mereka. Malah, bisa jadi yang tak terlupakan. Aku jadi teringat pengalaman pertamaku ngompreng bersama teman-teman EP. Tapi kali ini suasananya agak berbeda, karena mobil yang kami tumpangi adalah truk gandeng yang biasanya digunakan mengangkut kelapa sawit. Bayangkan sendiri betapa besarnya bak yang kami tumpangi, tinggi dindingnya saja lebih dari satu setengah meter.

Sesekali kami kelabakan mencari pegangan—yang sebenarnya tidak tersedia—saat truk tersebut berguncang liar. Jalan menuju pelabuhan memang tidak mulus. Beberapa bagian permukaan aspal sudah pecah berantakan, kembali bercampur dengan licak tanah, berubah menjadi kubangan besar-besar. Beberapa dari kami akhirnya dengan putus asa menempelkan tangan ke dinding bak yang licin, seolah itu membantu kami menyeimbangkan diri. Di atas kendaraan yang tidak stabil tersebut, duduk 
dan berdiri sama sulitnya.

Matahari sudah tenggelam beberapa menit lalu. Kak Hardi berhitung dengan keadaan, harap-harap cemas. Setelah Jarnawi mohon diri, secara tak langsung tanggung jawab keberlangsungan acara ini kembali pada panitia yang bertugas—yang sejak awal kukira, adalah Kak Hardi. Agenda kami malam ini adalah pengadaan layar tancep dan nontong bareng Final Piala AFF bersama warga Desa Karang Anyar di dusun seberang. Tapi truk kami bahkan belum sampai ke pelabuhan, dan masih ada anak Sungai Musi yang harus diseberangi. Aku sempat sungkan memikirkan, bagaimana lima puluh lebih peserta dan bawaannya yang berat-berat ini akan diangkut dengan perahu kayu, menyeberangi sungai di malam hari. Mungkinkah waktunya cukup?

Setelah satu jam lebih berjalan kaki, perjalanan dengan truk ini bagaikan naik buroq. Dua kali lipat jarak yang kami tempuh sebelumnya, pungkas hanya dalam waktu kurang dari setengah jam.
Kami akhirnya sampai di pelabuhan yang dimaksud. Rombongan Kak Reza yang membawa Land Rover dan barang-barang bawaan kami semua tampak tersadar dari lamunannya, Pasti lama sekali mereka sudah menanti.

Setelah mengamati beberapa lama, aku akhirnya mafhum bahwa tempat tersebut adalah pelabuhan barang, alih-alih manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa kami lihat di tempat tersebut selain rombongan panitia, peserta, sopir truk tadi serta seorang bapak-bapak yang menunggu di atas perahu kayu. Selain itu, hanya ada bongkahan batu kali, gunungan batu koral dan bangunan-bangunan operasional yang tidak dihuni.

Setelah berkumpul dan menerima arahan dari panitia, akhirnya kami beralih pandang ke angkutan kami yang berikutnya : perahu. Hanya ada satu perahu—yang dari tempatku berdiri tampak kecil sekali—, dan artinya kami harus diangkut dalam dua kloter. Aku, Dinda, Fatma dan Lulu memutuskan untuk menumpang di kloter kedua, sementara Genta yang entah sejak kapan kini sudah naik ke atas perahu, mengamankan kursi terdepan untuk menyaksikan Final Piala AFF di dusun tujuan kami.


Gambar 2. Menuju Karang Anyar
sumber :  hp-remembrall.livejournal.com


Perahu tersebut tak beratap, sehingga kami masih bisa menyaksikan wajah-wajah lelah penumpangnya menjauh dari tubir dermaga saat propeler perahu tersebut mulai mengayuh. Beberapa detik kemudian, hanya nyala lampu senter mereka yang tampak membelah Sungai Musi yang hitam, sebelum benar-benar hilang dalam kegelapan petang. Dramatis. Aku hampir membayangkan perjalanan pertama Harry Potter menuju Kastil Hogwarts.

Lalu sekarang bagaimana?

Kami duduk-duduk di atas hamparan koral dan ranting-ranting kayu, seperti orang piknik yang salah pilih tempat. Beberapa anak perempuan mulai mengeluarkan makanan ringan, sebagian yang lain membagikan lotion anti nyamuk. Amrina ingin pipis, maka Ilham—yang ternyata pacarnya—pergi berkeliling pelabuhan tersebut untuk mencari toilet. Hasilnya nihil. Tak ada toilet. Tak ada orang. Tak ada air bersih. Berarti juga tak ada musholah. Dari sanalah muncul persoalan baru : bagaimana caranya sholat maghrib? Aku dan kelompok kecilku ini akhirnya mulai gusar membicarakan hal itu, karena jika jarak tempuh perahu tersebut untuk tiba di seberang dan kembali kesini adalah 30 menit, maka kami baru akan tiba di desa seberang lewat dari jam setengah delapan, atau saat waktu maghrib habis.

Dermaga terlalu tinggi dari permukaan air sungai, dan mengambil wudhu di sungai di malam hari seperti ini juga kedengarannya bukan ide yang bagus. Setelah itu pun, kami masih akan bermasalah dengan lokasi sholat. Kami tak punya banyak pilihan.“Sudem dek, dijamak tuhlah berarti dengan Isya. Mending cak itu daripada dak sholat nian”, ujarku menyimpulkan, lalu mereka mengiyakan dengan murung.

Sembari menanti, tak banyak yang bisa dilakukan. Kami—yang sekarang ternyata lebih banyak laki-laki daripada perempuannya—hanya bercanda ringan dan mengobrol ngalor-ngidul, sebagian besar tentang prediksi hasil pertandingan Indonesia-Thailand malam ini. Aku sendiri tidak terlalu tertarik dengan pertandingan olahraga, tapi jika untuk menonton TV, harusnya ponsel M**o-ku bisa diandalkan saat ini jika baterainya tidak habis. Dan tentu saja baterainya sekarang habis, seperti selalu. Ck.

Kak Reza menggombali Dinda. Kami tertawa. Lalu kami menguap. Lalu menggaruk. Lalu bergosip. Lalu mengunyah dan menelan. Lalu Kak Reza menggombali Dinda lagi. Lalu kami tertawa lagi, lalu menguap lagi. Begitu terus, hingga suara mesin perahu terdengar di kejauhan dan kami semua berhenti.

Jarum panjang di arlojiku sudah melewati angka 12. Waktu maghrib sudah hampir habis. Aku bulatkan niat untuk menjamak sholat Maghrib-ku ke Isya. Tanpa buang banyak waktu, kami langsung mengangkut barang-barang pribadi dan perlengkapan acara ke atas perahu—yang ternyata lumayan besar setelah diamati lebih dekat. Aku pun naik belakangan, setelah Lulu, Fatma dan Dinda.

Biso berenang dak, dek?”, bisikku pada mereka dari balik pundak Dinda.
 “Idak kak. Kakak biso, kan?”, tanya Dinda berharap.
Aelah. Samo bae berarti”, lalu aku tertawa garing. “Bedoa baelah dek, hahaha”.

Aku meletakkan kedua tasku, lalu duduk di belakang mereka, di geladak bagian belakang. Perahu langsung berangkat setelah mesin dieselnya dipacu beberapa kali. Kini tibalah giliran kami untuk membelah kegelapan Sungai Musi.

Mengapa butuh waktu tempuh yang lama untuk sampai di seberang? Hal tersebut akhirnya terjelaskan bersama rongrong mesin perahu. Dusun yang kami tuju ternyata tidak terletak tepat di seberang kami, namun sedikit lebih jauh ke arah Barat. Dengan kata lain, kami bukan hanya menyeberang, tetapi juga menyusuri Sungai Musi. Ditambah faktor air yang sedang pasang, mungkin arus sungai juga turut andil dalam mempersulit perjalanan kami.

Fatma dan Dinda menatapi langit malam. Aku tertarik untuk mengikutinya, lalu kami pun terenyuh bersama. Kami tengah terapung di atas arus, di suatu sudut Sungai Musi yang sama sekali tidak populer, jika dibandingkan pemandangan Sungai Musi yang ada Jembatan Ampera-nya. Tapi jauh dari rentetan klakson dan gemerlap lampu kota, kami justru menemukan pemandangan lain yang lebih spektakuler. Kami sejatinya tengah pesiar di bawah atap hotel bintang sejuta, digiring suara mesin perahu dan nyanyian jangkrik di hutan di kejauhan. Ingin rasanya menunjuk-nunjuk gemintang di atas, memberi tahu adik-adikku ini rasi bintang yang mana yang namanya apa. Tapi soal astronomi, aku sama dungunya seperti berenang atau membawa sepeda, jadi biarlah begini. Biarlah kami mengagumi langit malam itu dalam ketidaktahuan kami akan semesta. Karena paham atau tidak pun, jutaan gemintang di atas kami tetaplah indah.

Beberapa peserta yang bosan pun menyinari permukaan air sungai. Salah seorang dari kami terkejut, lalu berteriak, mengheningkan peserta-peserta lain yang tengah mengobrol. Ia baru saja melihat buaya. Di tengah sungai berarus deras begini? Tapi ternyata saksi matanya lebih dari seorang.

Liat dak tadi barusan, kak?”, tanya Fatma kepada Lulu, terdengar takut. “Jelas nian, ngambang cak kayu”.

Beberapa bahkan bilang matanya berwarna merah, entahlah. Aku tak sempat lihat. Yang jelas, mereka yang tadinya asyik menyentuh-nyentuhkan kaki ke permukaan air sungai kini meringkuk ke dalam perahu.

Setelah cukup lama berselimut dalam kegelapan, akhirnya tampak beberapa titik cahaya di kejauhan. Kami sudah hampir sampai. Deru mesin perahu pun melambat, lalu perlahan berhenti. Bapak yang mengemudikan perahu melompat ke haluan dan mengeluarkan dayung panjang. Perahu kami merapat ke sebuah dermaga kecil dari beton yang sebagian permukaannya terendam air.

Meski bukan pertama kalinya naik perahu, tapi sejujurnya, saat berpindah dari perahu ke daratan bagiku selalu menakutkan. Sesekali perahu bergoyang karena tidak seimbang menanggung bobot penumpangnya yang berangsur turun. Walau duduk di belakang, aku berusaha tidak jadi yang terakhir meninggalkan perahu.

“Dek, tolong bawaki kardus itu”, pinta seorang panitia—yang tidak kuingat siapa—seraya menunjuk sebuah kardus besar yang tergeletak di dekat kakiku. Seingatku, isinya logistik. Ditambah tas punggung dan satu tas genggam, jelas bawaanku tidak ringan, tapi aku tak bisa menolak. Aku pun berusaha menggotongnya bersama Kak Taqrim—kalau tidak salah ingat—lalu perlahan membawanya keluar perahu yang bergoyang semakin tidak stabil.

BRUK

Tepat di langkah pertama, aku terjatuh—untungnya—ke depan. Beberapa peserta perempuan di belakangku berseru kaget. Sebelah kakiku tercebur ke air karena sandalku licin, tapi Kak Taqrim berhasil menjaga keseimbangan sehingga kardus tersebut tidak jatuh ke air. Tak bisa kubayangkan jika semuanya berantakan gara-gara aku ._. Aku pun buru-buru berdiri dan meneruskan menggotong kardus tersebut, entah kemana, asalkan jauh dari air.

Ya, akhirnya kami tiba di bagian lain dari Desa Karang Anyar! Karena pencahayaan yang masih minim dan baterai kamera fotografer kami yang habis, sayangnya tak ada dokumentasi resmi dari awal mengompreng hingga kami selesai menyeberang. Tapi yang terpenting adalah, akhirnya kami bersama merealisasikan kata ‘Trip’ dari ‘Voluntrip’, tajuk acara kami. Yang tersisa untuk dikerjakan sekarang adalah mempersiapkan diri untuk bagian lainnya, yaitu ‘volunteer’, esok hari. Tugasku dan rekan relawan Bersih-bersih Masjid baru saja akan dimulai.
 

Bersambung (lagi)

Laporan Magang (Non-formal)


 
Gambar 1. Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kanwil Sumsel dan Babel


Dari judulnya saja mungkin kalian sudah paham ini tulisan apa.
Ini bukan blog milik mahasiswa STAN yang khusus mem-posting tugas kuliahnya di internet. Ini hanya blog iseng yang isinya juga iseng.
Adapun tulisan ini adalah salah satu bentuk tanda mata dari si mahasiswa semester akhir ini, yang sudah diberi kesempatan magang di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ilir Barat Palembang.

----
 
“Redho kuliah dimana?”

“Unsri, kak”

“Ambil jurusan apa?”

“Jurusan Ekonomi Pembangunan, Kampus Indralaya, Angkatan 2013, NIM 01021181320068 Semester 8, konsentrasi Ekonomi Syariah, Status Single, Golongan Darah O”, babatku, memutus tali kelambu obrolan basa-basi tersebut. Si kakak ber-oh panjang. Hening sesaat. Lalu ia membuka mulut lagi.

“Gak magang dimana, gitu?”

Gantian aku yang diam, memikirkan jawaban yang paling mudah untuk dipahaminya. Hal-hal berbau kuliah praktik seperti KKN dan kawan-kawannya memang sudah lama binasa dari kurikulum wajib jurusan kami. Lagian, Ekonomi Pembangunan? Coba gantian aku yang tanya, instansi mana yang secara spesifik membutuhkan tenaga kerja magang dengan latar belakang pendidikan EP? Aku pun bingung, tak tahu jawabannya.

Dialog di atas memang hanya fiksi. Tapi, pertanyaan terakhir itu memang sering beberapa kali dilontarkan padaku. Hingga pada suatu hari, ajakan itu pun datang.

“Dho, galak dak mekot magang di Kantor Pajak?”, ajak Ayu, teman seangkatanku di EP.

“Galak, yu”

Lalu sekonyong-konyong, aku dan dua teman sejurusan lain sudah resmi menjadi peserta praktik kerja lapangan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ilir Barat Palembang. Nasib memang ajaib. Belum sudah aku memikirkan macam apa bentuk korelasi antara jurusan kuliah kami dengan yang akan kami kerjakan disini, lalu tiba-tiba kami sudah berada disini : berpakaian persis karyawan Kantor Pajak, masuk pagi, pulang sore, membantu karyawan-karyawan yang asli dengan mengerjakan hal-hal sepele yang insya Allah membantu mereka. Hanya penghasilannya saja yang tidak sama, sigh.

Pemagangan kami direncanakan berlangsung selama satu bulan pas. Berawal tanggal 20 Maret, berakhir 20 April. Jika dibagi per pekan, totalnya ada lima pekan, dan setiap usai satu pekan kami akan dirotasi dari satu seksi ke seksi lain. Maka dari hari pertama pun, aku dan kedua temanku yang lainnya (Ayu dan Desti) sudah didudukkan di tempat yang berbeda-beda.


Tragedi

Walau berkacamata dan berbadan kurus—stereotype karyawan kantor, taulah—tapi aku sama sekali bukan orang yang cocok bekerja di kantor. Aku tidak teliti, pelupa, gagap. Salah print, salah ketik, salah ambil barang, salah tulis, salah pilih gebetan (nggak lah) sudah biasa sekali terjadi. Lalu seolah memahami itu tanpa perlu kucontohkan di hari pertama bekerja, Pak Ali, Kasi Umum KPP  Pratama Ilir Barat langsung menempatkanku di Seksi Pelayanan. Seksi? Dan melayani. Oh, yeah.

Jika bank punya nasabah yang harus dilayani, KPP sehari-harinya harus berhadapan dengan WP (Wajib Pajak), dan Seksi Pelayanan adalah garis terdepan KPP dalam melayani para WP dari balik loket TPT (Tempat Pelayanan Terpadu). Tentunya aku tidak ikut melayani WP, tapi cukup duduk di sudut lain Seksi Pelayanan, di ruang kantor yang disekat selapis tembok di belakang TPT. Dan untuk memperjelas suasana, saat itu aku adalah secuil upil yang bahkan tidak hapal apa kepanjangan KPP (Tentunya tak ada training khusus yang menjelaskan segala SOP dan JD kepada anak magang, buat apa?). Kagok. Apa yang biasanya dilakukan anak magang di hari pertamanya? Aku mencoba berbasa-basi, mencoba akrab dengan semua orang disana.

“Dek, kau kuliah boleh gondrong yo?”, tanya seorang bapak berkumis yang duduk di pojok ruangan secara tiba-tiba.

“He-eh, iyo Pak”, jawabku sambil mesem-mesem. Iya, rambutku saat itu masih panjang dan kukuncir seperti biasa saat berangkat ke kampus. Ehm, sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.

“Saran aku kau potong be rambut itu”.

Tuh, kan.

“Ini lingkungan kantor, jadi penampilan memang harus formal. Lagian dak enak gek diliat anak-magang yang dari SMK, mereka liat kau sebagai contoh, gek mereka ngikut-ngikut cak itu. Kalo lah di luar silakan nak manjangke rambut, terserah kau”, katanya tegas.

Glek. Aku hanya mengiyakan dengan lemah, takut kena sepak dari sini saat tengah membawa nama baik Unsri. Q kalah. Potong rambut menjadi agenda pertamaku sepulang magang hari pertama.

 
Gambar 2. Remah-remah kejayaan masa lalu

JD Khusus

Nah, cukup soal potongan rambut baruku yang sekarang mirip Remus Lupin.

Ternyata kami mulai magang di saat yang tepat. Hari itu tanggal 20 Maret 2017, dan Program Pengampunan Pajak akan berakhir di akhir Bulan Maret, berbarengan juga dengan hari terakhir pelaporan SPT online. (What on the earth SPT online is? Oh darling, go google it)

Singkat cerita, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah sibuk-sibuknya pada saat itu. Bayangan tentang hari-hari magang yang penuh waktu menganggur, seperti yang kubaca di blog seorang mahasiswa perpajakan sebelum aku mulai magang, sirna sudah.

Dari yang aku ketahui, magang sebenarnya adalah kata yang halus untuk menyebut ‘nguli di kantor’. Pekerjaan kami seharusnya tak jauh dari mengantar surat, mengetik ini, mencetak itu, memfotokopi ini, mengecap surat itu, menempel stempel ini, menghancurkan berkas itu, mengirim faksimili, mengangkat telepon dan pekerjaan-pekerjaan teknis bersifat repetitif lainnya yang jika dikerjakan oleh karyawan sendiri, akan cukup menghabiskan banyak waktu. Namun berhubung aku laki-laki yang identitasnya selalu dikaitkan dengan pekerjaan yang ‘lebih berat’dari perempuan, maka aku pun diperintahkan mengerjakan sesuatu yang agak berbeda. ‘JD Khusus’, kalau aku menyebutnya.

Gambar 3. Mesin pencetak nomor antrean. Sudah tugasnya untuk macet di saat-saat genting 
mencetak nomor antrean bagi WP yang hendak mengisi E-filing

“Nah, berdirilah disini, lalu panggil orang-orang yang duduk disitu waktu ada meja yang kosong”, kurang lebih begitulah perintah Pak Zaheddy, Kasi Pelayanan di hari pertamaku magang. Aku tak terlalu paham, tapi mengangguk dengan ketakziman yang dibuat-buat. Aku duduk menghadap loket TPT yang jauuuh di seberang sana. Di sebelah kananku ada beberapa baris meja kantor yang disusun sedemikian rupa—yang, sebut saja, hot desk—tempat beberapa petugas dari KPP Ilir Barat duduk menghadap laptop sembari melayani WP yang duduk di sebelah mereka. Sementara di sebelah kiriku, adalah beberapa baris susunan kursi tempat para WP yang sudah mengambil nomor antrean, menunggu nomornya dipanggil. Di tempatku berdiri, adalah seorang mahasiswa semester akhir yang tidak berhenti berkeringat dalam seragam hitam putihnya, masih bingung dengan tugas barunya.

Setiap WP memiliki tiga kewajiban : menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya—bener gak sih? CMIIW. Untuk melaporkan pajak, seorang WP tiap tahunnya harus mengisi formulir yang juga disebut SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang metode pengisiannya dilakukan secara online, mulai efektif sejak tahun 2014 lalu. Sementara deretan hot desk yang disusun tersebut adalah bentuk pelayanan ekstra KPP Ilir Barat terhadap WP yang tidak / belum paham tentang tata cara pengisian SPT online—bisa juga disebut e-filing, umumnya WP yang berusia lanjut, gaptek, tidak punya smartphone / laptop, mengalami masalah saat mengisi sendiri, atau sekedar malas mengisi sendiri—iya, yang begini juga banyak. Setiap tahun, normalnya tenggat pelaporan SPT online jatuh pada tanggal 31 Maret. Singkatnya, tugasku adalah memanggili nomor antrean para WP yang hendak mengisi SPT online tersebut, demi membantu mengurai antrean yang panjang akibat dari budaya orang Palembang yang suka ‘terkentut terpising’ dalam menyelesaikan segala urusannya.

Kuakui, aku memang lambat terbiasa dengan segala jenis pekerjaan baru. Di awal pekerjaanku, aku memanggil WP tanpa pelantang apapun. Hanya berteriak dari tempatku berdiri. Aku baru berhenti saat seorang WP mengeluhkan suaraku yang terlalu kecil. Setelahnya, baru aku mencari cara lain untuk memanggil WP dengan lebih baik.

Gambar 4. Sesuai EYD, alat di sebelah kanan disebut PELANTANG. Adapun di sebelah kiri, adalah senjata darurat Ranger Merah di saat nomor antrean WP menembus angka 500

Di lain hari, aku mengganti pelantang TOA dengan senjata lain yang berteknologi lebih mutakhir : mikrofon. Jangkauan suaranya jelas lebih jauh, bahkan terdengar sampai ke Ruang Seksi Pelayanan. Lalu, sejak saat itulah  reputasi recehku sebagai pemanggil WP terkenal sampai ke lantai tiga gedung DJP.

“Kamu ini yang manggilin e-filing di lantai satu itu, ya?”.

“Nah, ini dia selebriti kita”.

“Redho suaranya kereeen, daleeem. Cocok nian pake mic”.

“Bangso rajin kau nih. Agak tebantu gawean kami semenjak kau yang manggilin WP”.

“Nikahi adek, Bang!” ß ßß  dusta

Duh, sebegitunya?

Aku pun tak paham pada awalnya. Tapi mengingat pemanggil WP bukanlah posisi formal yang selalu diisi orang lain setiap saat, bisa jadi kegunaan pemanggil WP ini baru tampak menonjol saat aku ‘didudukkan’ disini. What a coincidence. Bahkan aku dibuat stay satu pekan lebih lama di Seksi Pelayanan demi melakoni tugas ini, urung dirotasi. “Karena Seksi  Pelayanan membutuhkanmu, Redho”, bujuk Ayu, karyawati dari bagian Sekretariat saat kutanya alasannya. Aku hanya nyengir-nyengir kuda. Begini pun tak apa, pikirku. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan dengan becus? Hahaha.

Gambar 5. Nomor antrean E-Filing. Konon katanya jika terkumpul hingga 2000 lembar, bisa ditukarkan dengan merchandise cantik (bohong)
 Aku juga tertolong karena ditempatkan sebagai pemanggil WP. Ada banyak hal yang dapat aku pelajari. Selain mendapat pengalaman disemprot WP, aku juga mendapat kesempatan berkenalan dengan anak-anak OJT (On Job Training), yaitu mereka yang baru lulus STAN di akhir tahun 2016 lalu dan kini sedang purna-tugas di KPP Ilir Barat.

Iya. Mereka yang bertugas piket di hot desk, yang awalnya kupanggil ‘kakak’ dan ‘mbak’ ternyata seumuran denganku—bahkan sebagian orang lebih muda 1 – 2 tahun dariku -_-  dari sanalah sense of belonging itu muncul (ceilah), meski kami jelas beda kasta. Walau jam magangku berakhir pukul empat sore, terkadang aku tetap tinggal mengimbangi mereka bertugas hingga pukul lima sore, hingga WP yang mengantre benar-benar musnah dari muka bumi. Feedback-nya? Pfft. Aku jadi seperti berlangganan snack dua kali sehari, pagi dan sore, kecipratan jatah mereka. Malah terkadang secangkir Krusher nyasar hinggap di hadapanku, entah siapa yang membelikannya. Alhamdulillah.

 
 Gambar 6. Pemberian orang-orang baik hati. Semoga rejeki mereka selalu lancar.


Di Seksi Lain

Di pekan ketiga, aku dipindah ke Seksi Ekstensifikasi. Dan semangat kerjaku berubah drastis semenjak dipindah kesitu.

“Lho, kenapo? Padahal menurutku kerjaan di Eksten itu paling asyik kalo buat cowok. Sejauh yang kuliat sih”, ungkap Ayu, agak terkejut saat kubilang aku ‘belum’ nyaman di tempat baruku. Untuk pekerjaan-pekerjaan di KPP Ilir Barat yang berkaitan dengan anak magang seperti kami, Ayu yang bertugas di Sekretariat memang koordinatornya.

Alasanku tidak cepat betah di Seksi Ekstensifikasi adalah karena aku merasa gabut disana. Gabut, di tengah pekerjaan Seksi Ekstensifikasi yang sebenarnya banyak. Gabut, karena aku harus bersaing dengan seorang anak magang dari SMK yang bernama unik : Suhur.

Suhur ini bisa jadi model anak buyung di abad 21. Ia selalu ‘ngantor’ dari pagi, pulang tepat waktu.   Kemeja seragamnya selalu dimasukkan ke celana. Bicaranya sedikit. Dia selalu pakai topi sekolah saat keluar kantor, makan bekal yang dibawa dari rumah dan langsung cabut ke masjid tiap kali terdengar azan. Manusia yang efisien, efektif. Berbeda dengan kami yang hanya magang lima pekan secara sukarela, siswa SMK wajib magang selama tiga bulan. Dan Suhur, jika ditotalkan, sudah enam pekan lamanya ‘mengabdi’ di Seksi Ekstensifikasi. Dia seolah selalu tahu apa yang harus dan bisa dia kerjakan disana, bahkan saat aku hanya duduk melamun karena tak ada kerjaan.

 
Gambar 7. Suhur, dengan pose Boboiboi Halilitar.
Sumber : facebook

Suhur juga jadi ujung tombak karyawan di Seksi Ekstensifikasi untuk pekerjaan-pekerjaan remeh yang merepotkan, seperti membeli tisu ke warung, membeli molten cake di KFC atau sekedar mengambil inventaris kantor di Bagian Umum. Namun di sisi lain, dia juga diandalkan untuk pekerjaan teknis yang biasa dilakukan pegawai lainnya, seperti pembuatan kode E-billing, pencetakan NPWP, perekaman data WP dan geo-tagging. Atau dalam kalimat yang lebih ringkas, dia bisa semuanya, sehingga aku tak dibutuhkan sama sekali. Bisa dipastikan dari delapan jam magangku dalam sehari, tiga jamnya bisa kuhabiskan hanya untuk main Onet, satu jamnya untuk bengong.

Selain diandalkan untuk pekerjaan kantor, peran vital Suhur lainnya di Seksi Ekstensifikasi adalah sebagai sumber bahan bully bagi pegawai disana. Hiburan karyawan, selain karaoke dan menonton bioskop. Tapi tetap saja, mereka semua akrab, dan aku hanya duduk di pojokan ruangan, ikut tertawa tanpa diajak. Sigh. Mungkin beginilah perasaan Kurama saat dipaksa berebut tempat dengan seekor katak.

 Gambar 8. Berkenalan dengan elektronik kantor. Dari kiri ke kanan : card printer, 
printer, paper shredder (my favorite)

Di pekan keempat, aku dipindah ke Seksi Penagihan. Aku membayangkan wajah pegawai yang bercodet dan penuh luka gores, tapi kenyataannya berbeda sama sekali. Kasinya, Pak Azwir, lembut tenan. Pegawai lainnya di ruangan tersebut juga santai dan sedikit bicara. Kecuali Kak Burlian, Si Juru Sita yang suka mengajak ngobrol. “Katek gawe nian kak di Seksi Penagihan. Aku waktu itu be cuma duduk-duduk melamun”, begitu pesan Suhur saat aku hendak pindah dari Seksi Ekstensifikasi. Ternyata benar adanya. Ritual main Onet-ku masih berlanjut, meski pindah ruangan. Hanya saja tanpa keberadaan anak magang lain disana, aku jadi lebih ‘terdayagunakan’. Seorang pegawai yang nampak baru dipindahkan ke Seksi Penagihan, Kak Agung, setidaknya cukup sering menyuruhku mengantar surat ke seksi lain dan mengirimkan faksimili.

Di pekan kelima, aku kembali dipindah ke Seksi Pelayanan. What a relief! Aku kembali bertemu dengan Kak Fika, Kak Puput, Kak Firman, Mbak Yus, Mbak Jenni, Pak Zul dan Pak Nopri—yang dulu menyuruhku potong rambut. Bisa dibilang, aku dan semua anak magang paling betah bekerja di seksi ini. Banyak pekerjaan, banyak makanan, banyak canda dan bahan obrolan.


Penutup

"Kito magang nih dak dibayar ruponyo, dho"

Hmm, baiklah.

Sejak awal aku memang tak terlalu berharap tentang upah. Memang tidak semua tempat kerja menjanjikan bayaran bagi anak magang. Mendapat kesempatan belajar di tempat magang sendiri, adalah sepak terjang yang unik bagi mahasiswa EP seperti kami.

 Gambar 9. Antrean WP yang kembali hening setelah tenggat pengisian SPT online diperpanjang. Ya itulah orang Palembang, sukanya terkentut terpising.

Pada akhirnya, melihat antrean WP yang semakin bekurang justru berhasil menghadirkan kepuasan yang baru. Mungkin karena diri ini sempat menjadi bagian yang kontributif dalam proses tersebut.

Lalu... Duh, bingung mau nulis apa lagi hahaha.

Syahdan, demikianlah kiranya kisah para pemburu sertifikat pengalaman ini. Semoga tulisan ini menghibur bagi yang membaca, dan menjadi pengingat bersama bahwa kematian itu begitu dekat (???)

Sebagai bonus, turut kulampirkan cinderamata dari kami yang magang untuk anak-anak OJT :)

Gambar 10. Cinderamata
Baris atas dari kiri ke kanan : Idris, Deswita, Kak Nur, Kak Imam, Kak Dico, Kak Tino, Kak Jo
Baris bawah dari kiri ke kanan : Belinda, Fifi, Apri, Roro, Wili, Amel
Paling kanan : Ayu