Gambar 1. Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kanwil Sumsel dan Babel
Dari judulnya saja mungkin kalian sudah paham ini tulisan apa.
Ini bukan blog milik mahasiswa STAN yang khusus mem-posting tugas kuliahnya di internet. Ini hanya blog iseng yang isinya juga iseng.
Adapun tulisan ini adalah salah satu bentuk tanda mata dari si mahasiswa semester akhir ini, yang sudah diberi kesempatan magang di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ilir Barat Palembang.
----
“Redho
kuliah dimana?”
“Unsri,
kak”
“Ambil
jurusan apa?”
“Jurusan Ekonomi Pembangunan, Kampus Indralaya,
Angkatan 2013, NIM 01021181320068 Semester 8, konsentrasi Ekonomi Syariah,
Status Single, Golongan Darah O”, babatku, memutus tali kelambu obrolan
basa-basi tersebut. Si kakak ber-oh panjang. Hening sesaat. Lalu ia membuka
mulut lagi.
“Gak
magang dimana, gitu?”
Gantian
aku yang diam, memikirkan jawaban yang paling mudah untuk dipahaminya. Hal-hal
berbau kuliah praktik seperti KKN dan kawan-kawannya memang sudah lama binasa
dari kurikulum wajib jurusan kami. Lagian, Ekonomi Pembangunan? Coba gantian
aku yang tanya, instansi mana yang secara spesifik membutuhkan tenaga kerja
magang dengan latar belakang pendidikan EP? Aku pun bingung, tak tahu
jawabannya.
Dialog
di atas memang hanya fiksi. Tapi, pertanyaan terakhir itu memang sering
beberapa kali dilontarkan padaku. Hingga pada suatu hari, ajakan itu pun
datang.
“Dho,
galak dak mekot magang di Kantor Pajak?”, ajak Ayu, teman seangkatanku di EP.
“Galak,
yu”
Lalu
sekonyong-konyong, aku dan dua teman sejurusan lain sudah resmi menjadi peserta
praktik kerja lapangan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ilir Barat
Palembang. Nasib memang ajaib. Belum sudah aku memikirkan macam apa bentuk korelasi
antara jurusan kuliah kami dengan yang akan kami kerjakan disini, lalu tiba-tiba
kami sudah berada disini : berpakaian persis karyawan Kantor Pajak, masuk pagi,
pulang sore, membantu karyawan-karyawan yang asli dengan mengerjakan hal-hal
sepele yang insya Allah membantu mereka. Hanya penghasilannya saja yang tidak
sama, sigh.
Pemagangan
kami direncanakan berlangsung selama satu bulan pas. Berawal tanggal 20 Maret,
berakhir 20 April. Jika dibagi per pekan, totalnya ada lima pekan, dan setiap
usai satu pekan kami akan dirotasi dari satu seksi ke seksi lain. Maka dari
hari pertama pun, aku dan kedua temanku yang lainnya (Ayu dan Desti) sudah
didudukkan di tempat yang berbeda-beda.
Tragedi
Walau
berkacamata dan berbadan kurus—stereotype
karyawan kantor, taulah—tapi aku sama sekali bukan orang yang cocok
bekerja di kantor. Aku tidak teliti, pelupa, gagap. Salah print, salah ketik,
salah ambil barang, salah tulis, salah pilih gebetan (nggak lah) sudah biasa
sekali terjadi. Lalu seolah memahami itu tanpa perlu kucontohkan di hari
pertama bekerja, Pak Ali, Kasi Umum KPP Pratama Ilir Barat langsung menempatkanku di
Seksi Pelayanan. Seksi? Dan melayani. Oh,
yeah.
Jika
bank punya nasabah yang harus dilayani, KPP sehari-harinya harus berhadapan
dengan WP (Wajib Pajak), dan Seksi Pelayanan adalah garis terdepan KPP dalam
melayani para WP dari balik loket TPT (Tempat Pelayanan Terpadu). Tentunya aku
tidak ikut melayani WP, tapi cukup duduk di sudut lain Seksi Pelayanan, di
ruang kantor yang disekat selapis tembok di belakang TPT. Dan untuk memperjelas
suasana, saat itu aku adalah secuil upil yang bahkan tidak hapal apa
kepanjangan KPP (Tentunya tak ada training
khusus yang menjelaskan segala SOP dan JD kepada anak magang, buat apa?). Kagok.
Apa yang biasanya dilakukan anak magang di hari pertamanya? Aku mencoba berbasa-basi,
mencoba akrab dengan semua orang disana.
“Dek,
kau kuliah boleh gondrong yo?”, tanya seorang bapak berkumis yang duduk di
pojok ruangan secara tiba-tiba.
“He-eh,
iyo Pak”, jawabku sambil mesem-mesem. Iya, rambutku saat itu masih panjang dan
kukuncir seperti biasa saat berangkat ke kampus. Ehm, sepertinya aku tahu arah
pembicaraan ini.
“Saran
aku kau potong be rambut itu”.
Tuh,
kan.
“Ini
lingkungan kantor, jadi penampilan memang harus formal. Lagian dak enak gek
diliat anak-magang yang dari SMK, mereka liat kau sebagai contoh, gek mereka
ngikut-ngikut cak itu. Kalo lah di luar silakan nak manjangke rambut, terserah
kau”, katanya tegas.
Glek.
Aku hanya mengiyakan dengan lemah, takut kena sepak dari sini saat tengah
membawa nama baik Unsri. Q kalah. Potong rambut menjadi agenda pertamaku
sepulang magang hari pertama.
Gambar 2. Remah-remah kejayaan masa lalu
JD Khusus
Nah,
cukup soal potongan rambut baruku yang sekarang mirip Remus Lupin.
Ternyata
kami mulai magang di saat yang tepat. Hari itu tanggal 20 Maret 2017, dan
Program Pengampunan Pajak akan berakhir di akhir Bulan Maret, berbarengan juga
dengan hari terakhir pelaporan SPT online. (What
on the earth SPT online is? Oh
darling, go google it)
Singkat
cerita, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah sibuk-sibuknya pada saat itu.
Bayangan tentang hari-hari magang yang penuh waktu menganggur, seperti yang
kubaca di blog seorang mahasiswa perpajakan sebelum aku mulai magang, sirna
sudah.
Dari
yang aku ketahui, magang sebenarnya adalah kata yang halus untuk menyebut ‘nguli
di kantor’. Pekerjaan kami seharusnya tak jauh dari mengantar surat, mengetik
ini, mencetak itu, memfotokopi ini, mengecap surat itu, menempel stempel ini, menghancurkan
berkas itu, mengirim faksimili, mengangkat telepon dan pekerjaan-pekerjaan
teknis bersifat repetitif lainnya yang jika dikerjakan oleh karyawan sendiri,
akan cukup menghabiskan banyak waktu. Namun berhubung aku laki-laki yang
identitasnya selalu dikaitkan dengan pekerjaan yang ‘lebih berat’dari
perempuan, maka aku pun diperintahkan mengerjakan sesuatu yang agak berbeda.
‘JD Khusus’, kalau aku menyebutnya.
Gambar 3. Mesin pencetak nomor antrean. Sudah tugasnya untuk macet di saat-saat genting
mencetak nomor antrean bagi WP yang hendak mengisi E-filing
“Nah,
berdirilah disini, lalu panggil orang-orang yang duduk disitu waktu ada meja
yang kosong”, kurang lebih begitulah perintah Pak Zaheddy, Kasi Pelayanan di
hari pertamaku magang. Aku tak terlalu paham, tapi mengangguk dengan ketakziman
yang dibuat-buat. Aku duduk menghadap loket TPT yang jauuuh di seberang sana.
Di sebelah kananku ada beberapa baris meja kantor yang disusun sedemikian
rupa—yang, sebut saja, hot desk—tempat
beberapa petugas dari KPP Ilir Barat duduk menghadap laptop sembari melayani WP
yang duduk di sebelah mereka. Sementara di sebelah kiriku, adalah beberapa
baris susunan kursi tempat para WP yang sudah mengambil nomor antrean, menunggu
nomornya dipanggil. Di tempatku berdiri, adalah seorang mahasiswa semester
akhir yang tidak berhenti berkeringat dalam seragam hitam putihnya, masih bingung
dengan tugas barunya.
Setiap
WP memiliki tiga kewajiban : menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya—bener
gak sih? CMIIW. Untuk melaporkan pajak, seorang WP tiap tahunnya harus mengisi
formulir yang juga disebut SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang metode
pengisiannya dilakukan secara online, mulai efektif sejak tahun 2014 lalu.
Sementara deretan hot desk yang
disusun tersebut adalah bentuk pelayanan ekstra KPP Ilir Barat terhadap WP yang
tidak / belum paham tentang tata cara pengisian SPT online—bisa juga disebut e-filing, umumnya WP yang berusia
lanjut, gaptek, tidak punya smartphone
/ laptop, mengalami masalah saat mengisi sendiri, atau sekedar malas mengisi
sendiri—iya, yang begini juga banyak. Setiap tahun, normalnya tenggat pelaporan
SPT online jatuh pada tanggal 31
Maret. Singkatnya, tugasku adalah memanggili nomor antrean para WP yang hendak
mengisi SPT online tersebut, demi membantu mengurai antrean yang panjang akibat
dari budaya orang Palembang yang suka ‘terkentut
terpising’ dalam menyelesaikan segala urusannya.
Kuakui,
aku memang lambat terbiasa dengan segala jenis pekerjaan baru. Di awal
pekerjaanku, aku memanggil WP tanpa pelantang apapun. Hanya berteriak dari
tempatku berdiri. Aku baru berhenti saat seorang WP mengeluhkan suaraku yang
terlalu kecil. Setelahnya, baru aku mencari cara lain untuk memanggil WP dengan
lebih baik.
Gambar 4. Sesuai EYD, alat di sebelah kanan disebut PELANTANG. Adapun di sebelah kiri, adalah senjata darurat Ranger Merah di saat nomor antrean WP menembus angka 500 |
Di lain
hari, aku mengganti pelantang TOA dengan senjata lain yang berteknologi lebih
mutakhir : mikrofon. Jangkauan suaranya jelas lebih jauh, bahkan terdengar
sampai ke Ruang Seksi Pelayanan. Lalu, sejak saat itulah reputasi recehku sebagai pemanggil WP terkenal
sampai ke lantai tiga gedung DJP.
“Kamu
ini yang manggilin e-filing di lantai satu itu, ya?”.
“Nah, ini
dia selebriti kita”.
“Redho
suaranya kereeen, daleeem. Cocok nian pake mic”.
“Bangso
rajin kau nih. Agak tebantu gawean kami semenjak kau yang manggilin WP”.
“Nikahi
adek, Bang!” ß ßß
dusta
Duh,
sebegitunya?
Aku pun
tak paham pada awalnya. Tapi mengingat pemanggil WP bukanlah posisi formal yang
selalu diisi orang lain setiap saat, bisa jadi kegunaan pemanggil WP ini baru
tampak menonjol saat aku ‘didudukkan’ disini. What a coincidence. Bahkan aku dibuat stay satu pekan lebih lama di Seksi Pelayanan demi melakoni tugas
ini, urung dirotasi. “Karena Seksi
Pelayanan membutuhkanmu, Redho”, bujuk Ayu, karyawati dari bagian
Sekretariat saat kutanya alasannya. Aku hanya nyengir-nyengir kuda. Begini pun
tak apa, pikirku. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan dengan becus? Hahaha.
Gambar 5. Nomor antrean E-Filing. Konon katanya jika terkumpul hingga 2000 lembar, bisa ditukarkan dengan merchandise cantik (bohong) |
Aku juga
tertolong karena ditempatkan sebagai pemanggil WP. Ada banyak hal yang dapat
aku pelajari. Selain mendapat pengalaman disemprot WP, aku juga mendapat
kesempatan berkenalan dengan anak-anak OJT (On
Job Training), yaitu mereka yang baru lulus STAN di akhir tahun 2016 lalu
dan kini sedang purna-tugas di KPP Ilir Barat.
Iya.
Mereka yang bertugas piket di hot desk, yang awalnya kupanggil ‘kakak’ dan
‘mbak’ ternyata seumuran denganku—bahkan sebagian orang lebih muda 1 – 2 tahun
dariku -_- dari sanalah sense of belonging itu muncul (ceilah),
meski kami jelas beda kasta. Walau jam magangku berakhir pukul empat sore,
terkadang aku tetap tinggal mengimbangi mereka bertugas hingga pukul lima sore,
hingga WP yang mengantre benar-benar musnah dari muka bumi. Feedback-nya? Pfft. Aku jadi seperti
berlangganan snack dua kali sehari, pagi dan sore, kecipratan jatah mereka.
Malah terkadang secangkir Krusher
nyasar hinggap di hadapanku, entah siapa yang membelikannya. Alhamdulillah.
Gambar 6. Pemberian orang-orang baik hati. Semoga rejeki mereka selalu lancar.
Di Seksi Lain
Di pekan
ketiga, aku dipindah ke Seksi Ekstensifikasi. Dan semangat kerjaku berubah
drastis semenjak dipindah kesitu.
“Lho,
kenapo? Padahal menurutku kerjaan di Eksten itu paling asyik kalo buat cowok.
Sejauh yang kuliat sih”, ungkap Ayu, agak terkejut saat kubilang aku ‘belum’
nyaman di tempat baruku. Untuk pekerjaan-pekerjaan di KPP Ilir Barat yang
berkaitan dengan anak magang seperti kami, Ayu yang bertugas di Sekretariat
memang koordinatornya.
Alasanku
tidak cepat betah di Seksi Ekstensifikasi adalah karena aku merasa gabut
disana. Gabut, di tengah pekerjaan Seksi Ekstensifikasi yang sebenarnya banyak.
Gabut, karena aku harus bersaing dengan seorang anak magang dari SMK yang
bernama unik : Suhur.
Suhur
ini bisa jadi model anak buyung di abad 21. Ia selalu ‘ngantor’ dari pagi,
pulang tepat waktu. Kemeja seragamnya
selalu dimasukkan ke celana. Bicaranya sedikit. Dia selalu pakai topi sekolah saat keluar kantor,
makan bekal yang dibawa dari rumah dan langsung cabut ke masjid tiap kali
terdengar azan. Manusia yang efisien, efektif. Berbeda dengan kami yang hanya
magang lima pekan secara sukarela, siswa SMK wajib magang selama tiga bulan.
Dan Suhur, jika ditotalkan, sudah enam pekan lamanya ‘mengabdi’ di Seksi
Ekstensifikasi. Dia seolah selalu tahu apa yang harus dan bisa dia kerjakan
disana, bahkan saat aku hanya duduk melamun karena tak ada kerjaan.
Gambar 7. Suhur, dengan pose Boboiboi Halilitar.
Sumber : facebook
Sumber : facebook
Suhur
juga jadi ujung tombak karyawan di Seksi Ekstensifikasi untuk
pekerjaan-pekerjaan remeh yang merepotkan, seperti membeli tisu ke warung,
membeli molten cake di KFC atau
sekedar mengambil inventaris kantor di Bagian Umum. Namun di sisi lain, dia
juga diandalkan untuk pekerjaan teknis yang biasa dilakukan pegawai lainnya,
seperti pembuatan kode E-billing,
pencetakan NPWP, perekaman data WP dan geo-tagging.
Atau dalam kalimat yang lebih ringkas, dia bisa semuanya, sehingga aku tak
dibutuhkan sama sekali. Bisa dipastikan dari delapan jam magangku dalam sehari,
tiga jamnya bisa kuhabiskan hanya untuk main Onet, satu jamnya untuk bengong.
Selain
diandalkan untuk pekerjaan kantor, peran vital Suhur lainnya di Seksi Ekstensifikasi adalah sebagai sumber bahan bully bagi pegawai disana. Hiburan karyawan, selain karaoke dan menonton bioskop.
Tapi tetap saja, mereka semua akrab, dan aku hanya duduk di pojokan ruangan,
ikut tertawa tanpa diajak. Sigh. Mungkin beginilah perasaan Kurama saat dipaksa berebut tempat dengan seekor katak.
Gambar 8. Berkenalan dengan elektronik kantor. Dari kiri ke kanan : card printer,
printer, paper shredder (my favorite)
Di pekan
keempat, aku dipindah ke Seksi Penagihan. Aku membayangkan wajah pegawai yang
bercodet dan penuh luka gores, tapi kenyataannya berbeda sama sekali. Kasinya,
Pak Azwir, lembut tenan. Pegawai lainnya di ruangan tersebut juga santai dan
sedikit bicara. Kecuali Kak Burlian, Si Juru Sita yang suka mengajak ngobrol.
“Katek gawe nian kak di Seksi Penagihan. Aku waktu itu be cuma duduk-duduk
melamun”, begitu pesan Suhur saat aku hendak pindah dari Seksi Ekstensifikasi. Ternyata
benar adanya. Ritual main Onet-ku masih berlanjut, meski pindah ruangan. Hanya saja
tanpa keberadaan anak magang lain disana, aku jadi lebih ‘terdayagunakan’.
Seorang pegawai yang nampak baru dipindahkan ke Seksi Penagihan, Kak Agung, setidaknya
cukup sering menyuruhku mengantar surat ke seksi lain dan mengirimkan
faksimili.
Di pekan
kelima, aku kembali dipindah ke Seksi Pelayanan. What a relief! Aku kembali bertemu dengan Kak Fika, Kak Puput, Kak
Firman, Mbak Yus, Mbak Jenni, Pak Zul dan Pak Nopri—yang dulu menyuruhku potong
rambut. Bisa dibilang, aku dan semua anak magang paling betah bekerja di seksi
ini. Banyak pekerjaan, banyak makanan, banyak canda dan bahan obrolan.
Penutup
"Kito magang nih dak dibayar ruponyo, dho"
Hmm, baiklah.
Sejak awal aku memang tak terlalu berharap tentang upah. Memang tidak semua tempat kerja menjanjikan bayaran bagi anak magang. Mendapat kesempatan belajar di tempat magang sendiri, adalah sepak terjang yang unik bagi mahasiswa EP seperti kami.
Gambar 9. Antrean WP yang kembali hening setelah tenggat pengisian SPT online diperpanjang. Ya itulah orang Palembang, sukanya terkentut terpising.
Pada akhirnya, melihat antrean WP yang semakin bekurang justru berhasil menghadirkan kepuasan yang baru. Mungkin karena diri ini sempat menjadi bagian yang kontributif dalam proses tersebut.
Lalu... Duh, bingung mau nulis apa lagi hahaha.
Syahdan, demikianlah kiranya kisah para pemburu sertifikat pengalaman ini. Semoga tulisan ini menghibur bagi yang membaca, dan menjadi pengingat bersama bahwa kematian itu begitu dekat (???)
Sebagai bonus, turut kulampirkan cinderamata dari kami yang magang untuk anak-anak OJT :)
Gambar 10. Cinderamata
Baris atas dari kiri ke kanan : Idris, Deswita, Kak Nur, Kak Imam, Kak Dico, Kak Tino, Kak Jo
Baris bawah dari kiri ke kanan : Belinda, Fifi, Apri, Roro, Wili, Amel
Paling kanan : Ayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar