Minggu, 04 Juni 2017

Laporan Magang (Non-formal)


 
Gambar 1. Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kanwil Sumsel dan Babel


Dari judulnya saja mungkin kalian sudah paham ini tulisan apa.
Ini bukan blog milik mahasiswa STAN yang khusus mem-posting tugas kuliahnya di internet. Ini hanya blog iseng yang isinya juga iseng.
Adapun tulisan ini adalah salah satu bentuk tanda mata dari si mahasiswa semester akhir ini, yang sudah diberi kesempatan magang di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ilir Barat Palembang.

----
 
“Redho kuliah dimana?”

“Unsri, kak”

“Ambil jurusan apa?”

“Jurusan Ekonomi Pembangunan, Kampus Indralaya, Angkatan 2013, NIM 01021181320068 Semester 8, konsentrasi Ekonomi Syariah, Status Single, Golongan Darah O”, babatku, memutus tali kelambu obrolan basa-basi tersebut. Si kakak ber-oh panjang. Hening sesaat. Lalu ia membuka mulut lagi.

“Gak magang dimana, gitu?”

Gantian aku yang diam, memikirkan jawaban yang paling mudah untuk dipahaminya. Hal-hal berbau kuliah praktik seperti KKN dan kawan-kawannya memang sudah lama binasa dari kurikulum wajib jurusan kami. Lagian, Ekonomi Pembangunan? Coba gantian aku yang tanya, instansi mana yang secara spesifik membutuhkan tenaga kerja magang dengan latar belakang pendidikan EP? Aku pun bingung, tak tahu jawabannya.

Dialog di atas memang hanya fiksi. Tapi, pertanyaan terakhir itu memang sering beberapa kali dilontarkan padaku. Hingga pada suatu hari, ajakan itu pun datang.

“Dho, galak dak mekot magang di Kantor Pajak?”, ajak Ayu, teman seangkatanku di EP.

“Galak, yu”

Lalu sekonyong-konyong, aku dan dua teman sejurusan lain sudah resmi menjadi peserta praktik kerja lapangan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Ilir Barat Palembang. Nasib memang ajaib. Belum sudah aku memikirkan macam apa bentuk korelasi antara jurusan kuliah kami dengan yang akan kami kerjakan disini, lalu tiba-tiba kami sudah berada disini : berpakaian persis karyawan Kantor Pajak, masuk pagi, pulang sore, membantu karyawan-karyawan yang asli dengan mengerjakan hal-hal sepele yang insya Allah membantu mereka. Hanya penghasilannya saja yang tidak sama, sigh.

Pemagangan kami direncanakan berlangsung selama satu bulan pas. Berawal tanggal 20 Maret, berakhir 20 April. Jika dibagi per pekan, totalnya ada lima pekan, dan setiap usai satu pekan kami akan dirotasi dari satu seksi ke seksi lain. Maka dari hari pertama pun, aku dan kedua temanku yang lainnya (Ayu dan Desti) sudah didudukkan di tempat yang berbeda-beda.


Tragedi

Walau berkacamata dan berbadan kurus—stereotype karyawan kantor, taulah—tapi aku sama sekali bukan orang yang cocok bekerja di kantor. Aku tidak teliti, pelupa, gagap. Salah print, salah ketik, salah ambil barang, salah tulis, salah pilih gebetan (nggak lah) sudah biasa sekali terjadi. Lalu seolah memahami itu tanpa perlu kucontohkan di hari pertama bekerja, Pak Ali, Kasi Umum KPP  Pratama Ilir Barat langsung menempatkanku di Seksi Pelayanan. Seksi? Dan melayani. Oh, yeah.

Jika bank punya nasabah yang harus dilayani, KPP sehari-harinya harus berhadapan dengan WP (Wajib Pajak), dan Seksi Pelayanan adalah garis terdepan KPP dalam melayani para WP dari balik loket TPT (Tempat Pelayanan Terpadu). Tentunya aku tidak ikut melayani WP, tapi cukup duduk di sudut lain Seksi Pelayanan, di ruang kantor yang disekat selapis tembok di belakang TPT. Dan untuk memperjelas suasana, saat itu aku adalah secuil upil yang bahkan tidak hapal apa kepanjangan KPP (Tentunya tak ada training khusus yang menjelaskan segala SOP dan JD kepada anak magang, buat apa?). Kagok. Apa yang biasanya dilakukan anak magang di hari pertamanya? Aku mencoba berbasa-basi, mencoba akrab dengan semua orang disana.

“Dek, kau kuliah boleh gondrong yo?”, tanya seorang bapak berkumis yang duduk di pojok ruangan secara tiba-tiba.

“He-eh, iyo Pak”, jawabku sambil mesem-mesem. Iya, rambutku saat itu masih panjang dan kukuncir seperti biasa saat berangkat ke kampus. Ehm, sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.

“Saran aku kau potong be rambut itu”.

Tuh, kan.

“Ini lingkungan kantor, jadi penampilan memang harus formal. Lagian dak enak gek diliat anak-magang yang dari SMK, mereka liat kau sebagai contoh, gek mereka ngikut-ngikut cak itu. Kalo lah di luar silakan nak manjangke rambut, terserah kau”, katanya tegas.

Glek. Aku hanya mengiyakan dengan lemah, takut kena sepak dari sini saat tengah membawa nama baik Unsri. Q kalah. Potong rambut menjadi agenda pertamaku sepulang magang hari pertama.

 
Gambar 2. Remah-remah kejayaan masa lalu

JD Khusus

Nah, cukup soal potongan rambut baruku yang sekarang mirip Remus Lupin.

Ternyata kami mulai magang di saat yang tepat. Hari itu tanggal 20 Maret 2017, dan Program Pengampunan Pajak akan berakhir di akhir Bulan Maret, berbarengan juga dengan hari terakhir pelaporan SPT online. (What on the earth SPT online is? Oh darling, go google it)

Singkat cerita, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah sibuk-sibuknya pada saat itu. Bayangan tentang hari-hari magang yang penuh waktu menganggur, seperti yang kubaca di blog seorang mahasiswa perpajakan sebelum aku mulai magang, sirna sudah.

Dari yang aku ketahui, magang sebenarnya adalah kata yang halus untuk menyebut ‘nguli di kantor’. Pekerjaan kami seharusnya tak jauh dari mengantar surat, mengetik ini, mencetak itu, memfotokopi ini, mengecap surat itu, menempel stempel ini, menghancurkan berkas itu, mengirim faksimili, mengangkat telepon dan pekerjaan-pekerjaan teknis bersifat repetitif lainnya yang jika dikerjakan oleh karyawan sendiri, akan cukup menghabiskan banyak waktu. Namun berhubung aku laki-laki yang identitasnya selalu dikaitkan dengan pekerjaan yang ‘lebih berat’dari perempuan, maka aku pun diperintahkan mengerjakan sesuatu yang agak berbeda. ‘JD Khusus’, kalau aku menyebutnya.

Gambar 3. Mesin pencetak nomor antrean. Sudah tugasnya untuk macet di saat-saat genting 
mencetak nomor antrean bagi WP yang hendak mengisi E-filing

“Nah, berdirilah disini, lalu panggil orang-orang yang duduk disitu waktu ada meja yang kosong”, kurang lebih begitulah perintah Pak Zaheddy, Kasi Pelayanan di hari pertamaku magang. Aku tak terlalu paham, tapi mengangguk dengan ketakziman yang dibuat-buat. Aku duduk menghadap loket TPT yang jauuuh di seberang sana. Di sebelah kananku ada beberapa baris meja kantor yang disusun sedemikian rupa—yang, sebut saja, hot desk—tempat beberapa petugas dari KPP Ilir Barat duduk menghadap laptop sembari melayani WP yang duduk di sebelah mereka. Sementara di sebelah kiriku, adalah beberapa baris susunan kursi tempat para WP yang sudah mengambil nomor antrean, menunggu nomornya dipanggil. Di tempatku berdiri, adalah seorang mahasiswa semester akhir yang tidak berhenti berkeringat dalam seragam hitam putihnya, masih bingung dengan tugas barunya.

Setiap WP memiliki tiga kewajiban : menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya—bener gak sih? CMIIW. Untuk melaporkan pajak, seorang WP tiap tahunnya harus mengisi formulir yang juga disebut SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang metode pengisiannya dilakukan secara online, mulai efektif sejak tahun 2014 lalu. Sementara deretan hot desk yang disusun tersebut adalah bentuk pelayanan ekstra KPP Ilir Barat terhadap WP yang tidak / belum paham tentang tata cara pengisian SPT online—bisa juga disebut e-filing, umumnya WP yang berusia lanjut, gaptek, tidak punya smartphone / laptop, mengalami masalah saat mengisi sendiri, atau sekedar malas mengisi sendiri—iya, yang begini juga banyak. Setiap tahun, normalnya tenggat pelaporan SPT online jatuh pada tanggal 31 Maret. Singkatnya, tugasku adalah memanggili nomor antrean para WP yang hendak mengisi SPT online tersebut, demi membantu mengurai antrean yang panjang akibat dari budaya orang Palembang yang suka ‘terkentut terpising’ dalam menyelesaikan segala urusannya.

Kuakui, aku memang lambat terbiasa dengan segala jenis pekerjaan baru. Di awal pekerjaanku, aku memanggil WP tanpa pelantang apapun. Hanya berteriak dari tempatku berdiri. Aku baru berhenti saat seorang WP mengeluhkan suaraku yang terlalu kecil. Setelahnya, baru aku mencari cara lain untuk memanggil WP dengan lebih baik.

Gambar 4. Sesuai EYD, alat di sebelah kanan disebut PELANTANG. Adapun di sebelah kiri, adalah senjata darurat Ranger Merah di saat nomor antrean WP menembus angka 500

Di lain hari, aku mengganti pelantang TOA dengan senjata lain yang berteknologi lebih mutakhir : mikrofon. Jangkauan suaranya jelas lebih jauh, bahkan terdengar sampai ke Ruang Seksi Pelayanan. Lalu, sejak saat itulah  reputasi recehku sebagai pemanggil WP terkenal sampai ke lantai tiga gedung DJP.

“Kamu ini yang manggilin e-filing di lantai satu itu, ya?”.

“Nah, ini dia selebriti kita”.

“Redho suaranya kereeen, daleeem. Cocok nian pake mic”.

“Bangso rajin kau nih. Agak tebantu gawean kami semenjak kau yang manggilin WP”.

“Nikahi adek, Bang!” ß ßß  dusta

Duh, sebegitunya?

Aku pun tak paham pada awalnya. Tapi mengingat pemanggil WP bukanlah posisi formal yang selalu diisi orang lain setiap saat, bisa jadi kegunaan pemanggil WP ini baru tampak menonjol saat aku ‘didudukkan’ disini. What a coincidence. Bahkan aku dibuat stay satu pekan lebih lama di Seksi Pelayanan demi melakoni tugas ini, urung dirotasi. “Karena Seksi  Pelayanan membutuhkanmu, Redho”, bujuk Ayu, karyawati dari bagian Sekretariat saat kutanya alasannya. Aku hanya nyengir-nyengir kuda. Begini pun tak apa, pikirku. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan dengan becus? Hahaha.

Gambar 5. Nomor antrean E-Filing. Konon katanya jika terkumpul hingga 2000 lembar, bisa ditukarkan dengan merchandise cantik (bohong)
 Aku juga tertolong karena ditempatkan sebagai pemanggil WP. Ada banyak hal yang dapat aku pelajari. Selain mendapat pengalaman disemprot WP, aku juga mendapat kesempatan berkenalan dengan anak-anak OJT (On Job Training), yaitu mereka yang baru lulus STAN di akhir tahun 2016 lalu dan kini sedang purna-tugas di KPP Ilir Barat.

Iya. Mereka yang bertugas piket di hot desk, yang awalnya kupanggil ‘kakak’ dan ‘mbak’ ternyata seumuran denganku—bahkan sebagian orang lebih muda 1 – 2 tahun dariku -_-  dari sanalah sense of belonging itu muncul (ceilah), meski kami jelas beda kasta. Walau jam magangku berakhir pukul empat sore, terkadang aku tetap tinggal mengimbangi mereka bertugas hingga pukul lima sore, hingga WP yang mengantre benar-benar musnah dari muka bumi. Feedback-nya? Pfft. Aku jadi seperti berlangganan snack dua kali sehari, pagi dan sore, kecipratan jatah mereka. Malah terkadang secangkir Krusher nyasar hinggap di hadapanku, entah siapa yang membelikannya. Alhamdulillah.

 
 Gambar 6. Pemberian orang-orang baik hati. Semoga rejeki mereka selalu lancar.


Di Seksi Lain

Di pekan ketiga, aku dipindah ke Seksi Ekstensifikasi. Dan semangat kerjaku berubah drastis semenjak dipindah kesitu.

“Lho, kenapo? Padahal menurutku kerjaan di Eksten itu paling asyik kalo buat cowok. Sejauh yang kuliat sih”, ungkap Ayu, agak terkejut saat kubilang aku ‘belum’ nyaman di tempat baruku. Untuk pekerjaan-pekerjaan di KPP Ilir Barat yang berkaitan dengan anak magang seperti kami, Ayu yang bertugas di Sekretariat memang koordinatornya.

Alasanku tidak cepat betah di Seksi Ekstensifikasi adalah karena aku merasa gabut disana. Gabut, di tengah pekerjaan Seksi Ekstensifikasi yang sebenarnya banyak. Gabut, karena aku harus bersaing dengan seorang anak magang dari SMK yang bernama unik : Suhur.

Suhur ini bisa jadi model anak buyung di abad 21. Ia selalu ‘ngantor’ dari pagi, pulang tepat waktu.   Kemeja seragamnya selalu dimasukkan ke celana. Bicaranya sedikit. Dia selalu pakai topi sekolah saat keluar kantor, makan bekal yang dibawa dari rumah dan langsung cabut ke masjid tiap kali terdengar azan. Manusia yang efisien, efektif. Berbeda dengan kami yang hanya magang lima pekan secara sukarela, siswa SMK wajib magang selama tiga bulan. Dan Suhur, jika ditotalkan, sudah enam pekan lamanya ‘mengabdi’ di Seksi Ekstensifikasi. Dia seolah selalu tahu apa yang harus dan bisa dia kerjakan disana, bahkan saat aku hanya duduk melamun karena tak ada kerjaan.

 
Gambar 7. Suhur, dengan pose Boboiboi Halilitar.
Sumber : facebook

Suhur juga jadi ujung tombak karyawan di Seksi Ekstensifikasi untuk pekerjaan-pekerjaan remeh yang merepotkan, seperti membeli tisu ke warung, membeli molten cake di KFC atau sekedar mengambil inventaris kantor di Bagian Umum. Namun di sisi lain, dia juga diandalkan untuk pekerjaan teknis yang biasa dilakukan pegawai lainnya, seperti pembuatan kode E-billing, pencetakan NPWP, perekaman data WP dan geo-tagging. Atau dalam kalimat yang lebih ringkas, dia bisa semuanya, sehingga aku tak dibutuhkan sama sekali. Bisa dipastikan dari delapan jam magangku dalam sehari, tiga jamnya bisa kuhabiskan hanya untuk main Onet, satu jamnya untuk bengong.

Selain diandalkan untuk pekerjaan kantor, peran vital Suhur lainnya di Seksi Ekstensifikasi adalah sebagai sumber bahan bully bagi pegawai disana. Hiburan karyawan, selain karaoke dan menonton bioskop. Tapi tetap saja, mereka semua akrab, dan aku hanya duduk di pojokan ruangan, ikut tertawa tanpa diajak. Sigh. Mungkin beginilah perasaan Kurama saat dipaksa berebut tempat dengan seekor katak.

 Gambar 8. Berkenalan dengan elektronik kantor. Dari kiri ke kanan : card printer, 
printer, paper shredder (my favorite)

Di pekan keempat, aku dipindah ke Seksi Penagihan. Aku membayangkan wajah pegawai yang bercodet dan penuh luka gores, tapi kenyataannya berbeda sama sekali. Kasinya, Pak Azwir, lembut tenan. Pegawai lainnya di ruangan tersebut juga santai dan sedikit bicara. Kecuali Kak Burlian, Si Juru Sita yang suka mengajak ngobrol. “Katek gawe nian kak di Seksi Penagihan. Aku waktu itu be cuma duduk-duduk melamun”, begitu pesan Suhur saat aku hendak pindah dari Seksi Ekstensifikasi. Ternyata benar adanya. Ritual main Onet-ku masih berlanjut, meski pindah ruangan. Hanya saja tanpa keberadaan anak magang lain disana, aku jadi lebih ‘terdayagunakan’. Seorang pegawai yang nampak baru dipindahkan ke Seksi Penagihan, Kak Agung, setidaknya cukup sering menyuruhku mengantar surat ke seksi lain dan mengirimkan faksimili.

Di pekan kelima, aku kembali dipindah ke Seksi Pelayanan. What a relief! Aku kembali bertemu dengan Kak Fika, Kak Puput, Kak Firman, Mbak Yus, Mbak Jenni, Pak Zul dan Pak Nopri—yang dulu menyuruhku potong rambut. Bisa dibilang, aku dan semua anak magang paling betah bekerja di seksi ini. Banyak pekerjaan, banyak makanan, banyak canda dan bahan obrolan.


Penutup

"Kito magang nih dak dibayar ruponyo, dho"

Hmm, baiklah.

Sejak awal aku memang tak terlalu berharap tentang upah. Memang tidak semua tempat kerja menjanjikan bayaran bagi anak magang. Mendapat kesempatan belajar di tempat magang sendiri, adalah sepak terjang yang unik bagi mahasiswa EP seperti kami.

 Gambar 9. Antrean WP yang kembali hening setelah tenggat pengisian SPT online diperpanjang. Ya itulah orang Palembang, sukanya terkentut terpising.

Pada akhirnya, melihat antrean WP yang semakin bekurang justru berhasil menghadirkan kepuasan yang baru. Mungkin karena diri ini sempat menjadi bagian yang kontributif dalam proses tersebut.

Lalu... Duh, bingung mau nulis apa lagi hahaha.

Syahdan, demikianlah kiranya kisah para pemburu sertifikat pengalaman ini. Semoga tulisan ini menghibur bagi yang membaca, dan menjadi pengingat bersama bahwa kematian itu begitu dekat (???)

Sebagai bonus, turut kulampirkan cinderamata dari kami yang magang untuk anak-anak OJT :)

Gambar 10. Cinderamata
Baris atas dari kiri ke kanan : Idris, Deswita, Kak Nur, Kak Imam, Kak Dico, Kak Tino, Kak Jo
Baris bawah dari kiri ke kanan : Belinda, Fifi, Apri, Roro, Wili, Amel
Paling kanan : Ayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar