Minggu, 22 Januari 2017

CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 2.0 (Bagian 2)


Meski hujan sudah reda saban hari, tapi awan-awan kelabu masih bergelantungan di atas kami. Aku bangkit dari leyeh-leyeh di masjid, berjalan keluar. Genta dan kawan-kawan sudah pergi entah kemana. Terakhir kulihat mereka membawa handuk di pundak, tapi tak kutemukan seorang pun mengantre di depan pintu toilet masjid, selain serombongan peserta perempuan yang hendak menumpang mandi. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke gedung sekolah sesegera mungkin, walau sendirian.

Lihatlah hasil karya langit beberapa menit lalu. Jalanan tanah yang tadinya padat dipijak kini berubah lunak, licin, lengket. Sudah tidak jelas lagi bentuk dan warna sepatu ini setelah melaluinya.

Usai separuh jalan, aku sudah berada tepat di belakang dua orang gadis yang juga sedang berjalan menuju gedung sekolah. Mereka menoleh ke belakang tak seberapa lama, seolah kompak memutuskan untuk menatapku, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tentu ini bukan soal aku yang belum mandi—memang sudah kuniatkan untuk tidak mandi di Voluntrip hari pertama. Salah seorang dari mereka berperawakan kurus, berkulit gelap, berhidung mancung dan berambut keriting, sementara yang lainnya berkulit putih, berkacamata dan mengenakan jilbab warna abu-abu. Entah mengapa, aku merasa familiar dengan kedua wajah ini, terutama yang berkacamata—bisa jadi itu karena aku punya sentimen khusus pada perempuan berkacamata, entahlah. Seolah kompak, mereka lalu urung berkata-kata, lebih memilih kembali menyusuri jalan setapak menuju sekolah.


- - - - - - - -


Sesuai yang kubayangkan semalam, lapangan SDN 03 Sumber Marga Telang tersebut menjelma sempurna menjadi arena karapan sapi. Beberapa panitia dan peserta yang hendak melewatinya bahkan sudah sadar bahwa tak ada bedanya beralas kaki atau tidak. Maka sepanjang hari itu, kakiku kubiarkan bermain riang bersama licak tanah, membayar denda masa kecilku yang belum lunas. 

 
Aku dan Tanah Becek


Lalu hujan turun lagi. Oh, not that i care. Tapi panitia panik bukan kepalang. Dapur darurat yang mereka dirikan di belakang gedung sekolah tadi subuh kini roboh ditiup angin. Alamat sarapan kami tertunda sampai siang nanti. Sementara sebagian besar peserta terjebak hujan di masjid, kami yang berada di sekolah bergotong-royong memindahkan peralatan masak ke gedung kelas 4 dan 5 yang (disangka) tidak dipakai untuk pembagian rapor hari itu. Selang beberapa jam, satu-dua orang peserta mulai mengeluh lapar. Aku ongkang-ongkang kaki di teras kelas. Mereka tak tahu, perutku sudah kuselamatkan dengan sebungkus S*** Roti pagi tadi.

Perhatianku berikutnya tertumbuk pada gadis berkacamata dan rekannya yang berambut ikal yang kutemui tadi pagi. Secara mengejutkan, mereka menghampiriku.

“Kak Redho, kan?”

“Iyo dek”, jawabku, lalu tertawa garing. Ternyata memang kami pernah bertemu -_- malah pernah berkenalan dengan yang berkacamata. “Kalian nih anak Effects yo?”, tanyaku untuk memastikan.

“Dinda kak yang anak Effects, aku bukan. Hehehe”, ujar si rambut ikal—yang tak lama setelahnya kuketahui bernama Fatma, pengurus BEM FE Unsri.

“Iyo kak Effects kito nih, madaki lupo”, jawab Dinda yang berkacamata. Aku tertawa semakin garing. Duh -_- sepertinya aku kebanyakan makan mecin.

Lalu kami membuka obrolan tentang Bo. Effects, BEM FE, Voluntrip, juga tentang darimana Fatma mengenalku.

“Iyolah, kakak kan Ketum Kinerja, taulah”, ujar Fatma. Lalu aku tersanjung. Baru kali ini kudengar Kinerja sepopuler itu di antara mahasiswa FE.

Melegakan. Ternyata bukan hanya aku dan Genta yang berasal dari FE Unsri di sini. Ditambah mereka berdua, masih ada satu orang lagi pengurus BEM bernama Lulu yang mengikuti Voluntrip.

Usai semua barang diangkut ke dapur baru kami, Kak Lala dari DMC (Disaster Management Centre) Dompet Dhuafa Sumsel segera melanjutkan memasak dengan hati yang kalut. Bayu megap-megap. Bagaimana dengan nasib agenda kami hari ini?

“Pernah dengar dari penduduk lokal, kalo hujannya deras, biasanya siswa tidak masuk sekolah”, katanya lemah. Melihat kondisi jalan yang becek dan tidak adanya tempat berteduh di sepanjang jalan ke sekolah, wajar jika mereka enggan bersekolah dalam cuaca seperti ini. Aku ikut merasa bersalah demi mendengar hal tersebut, walau bukan aku yang menurunkan hujan. Kami akhirnya hanya pasrah dan menunggu.

Hujan baru berubah jadi gerimis menjelang pukul delapan. Beberapa peserta yang tadi terjebak hujan di masjid kini sedikit demi sedikit, berduyun-duyun kembali ke gedung sekolah. Diantara barisan mereka, adalah salah satu sosok berseragam safari pramuka dengan kopiah tersongkok di kepala. 


Pak Guru dan Jarnawi, Ketupel Voluntrip 2.0

Dialah salah seorang pahlawan di SD ini, pak guru tercinta SDN 03 Sumber Marga Telang.
Bayu dan panitia lainnya menyalami tangan pak guru, segera setelah sepatu trackers-nya menginjak teras keramik gedung sekolah. Sejenak, secara konyol terlintas di pikiranku tentang SD Muhammadiyah di cerita Laskar Pelangi, dan sosok ini tak lain adalah Pak Harfan, kepala sekolah di SD tersebut. Namun ternyata bukan. Lega dan mengejutkan mendengar darinya, bahwa ia bukan kepala sekolah dan juga bukan satu-satunya guru di SDN 03 SMT. Sang Kepala Sekolah legendaris ternyata berdomisil di Palembang, dan kini pasti tengah mengendarai motor di tengah hujan demi tiba di lokasi pengabdiannya ini. Masya Allah.

Sementara itu di kejauhan, sudah nampak sosok-sosok mungil berseragam pramuka, berdiri ragu-ragu nun jauh di pinggir jalan beraspal. Merekalah putra-putri tunas harapan Kabupaten Banyuasin : siswa-siswi SDN 03 Sumber Marga Telang! Mereka tampak canggung, demi melihat sekumpulan laki-laki dan perempuan asing berdiri di teras sekolah favorit mereka. Bayu melambaikan tangan dan berteriak-teriak girang. “Dak apo-apo dek, kesinilah!”. Namun bisa kulihat mereka justru tampak makin ragu, menempelkan tubuh ke kaki orangtua mereka. Akhirnya peserta dan panitia pun beramai-ramai turun ke jalan setapak yang becek, menjemput mereka satu demi satu. Beberapa anak yang masih sangat kecil bahkan digendong ke sekolah oleh panitia dan peserta, sementara mereka yang cukup besar memilih berjalan sendiri—dengan bertelanjang kaki, sembari menyandang tas punggung dan sepasang sepatu yang diikat.


  
Siswa-siswi SDN 03 Sumber Muara Telang dalam perjalanan ke sekolah

Suasana suram beberapa waktu lalu sirna sudah, berganti haru. Lalu, haru berganti menjadi sibuk. Setelah anak-anak ini dikumpulkan, tugas kami yang sebenarnya baru dimulai. Beberapa peserta yang dulu mendaftar sebagai inspirator, kini mulai sibuk dengan alat peraga mereka masing-masing. Beberapa bahkan tampak kelabakan. Salah satu yang tampak kelabakan adalah Genta.

“Aku kemarin niatannyo nak ceramah, dho, tapi panitianyo bilang bukan cak itu kelas inspirasi. Harusnyo aku bantu buka pikiran anak-anak ini buat bercita-cita lebih tinggi, sekolah lebih jauh”, curhat Genta, yang sekarang menyusun ulang rencananya. Ia kebagian menjadi inspirator siswa kelas tiga, yang isinya tak lebih dari selusin murid. Aku hanya mengangguk-angguk sok paham. Untungnya aku kemarin mendaftar ke bagian ‘Bersih-Bersih Masjid’, yang aktivitasnya baru dimulai besok.

Sembari menunggu siswa-siswi yang masih terus berdatangan, kepala sekolah yang belum tiba, serta inspirator yang masih menyiapkan diri, semua siswa yang sudah datang akhirnya dikumpulkan di satu lokal kelas yang paling bagus untuk bermain games. Selaku inisiator adalah Kak Hardi, alumni Bina Darma angkatan 2010 dengan kemampuan komunikasinya yang—menurutku—paten sekali, terutama dengan anak-anak. Kemampuan bersosialisasi macam itu sering kali sukses membuatku iri. Tapi tak apa. Aku yang menganggur pun lalu melakukan yang disebut orang Palembang ‘nyari kepacakan’. Meminjam ponsel Genta, hilir-mudik kesana-sini, mengambil beberapa foto kegiatan. Begini-begini, aku tetap wartawan kampus. I’m gonna make a good writing from this event. Yiihaa.



Selang beberapa lama, tibalah kepala sekolah yang dinantikan. Dengan kumis melintang, kopiah hitam, seragam pramuka lengkap dan sepatu boots, macamnya bapak ini sudah niat sekali untuk mengajar di pedalaman Banyuasin. Kami menyalami tangannya, sembari ia mengellingi lokal kelas SD-nya yang salah satunya kini kami sulap sedemikian rupa menjadi dapur umum. Ia manggut-manggut, mengucapkan terima kasih pada kami yang sudah repot-repot melakukan semua ini.

“Kami turut senang jika ada orang-orang intelek seperti kalian yang sudi datang ke sekolah kami”, begitulah kurang lebih pesan kepala sekolah dengan khidmat. Kalimat itu menggema, memantul-mantul di dalam kepala Bayu. Alhamdulillah ia tahan untuk tidak menangis.

Usai cengkerama yang tidak seberapa lama, Pak Kepala Sekolah pun mulai mengambil alih kemudinya. Ia memberikan instruksi kepada panitia dan peserta inspirator terkait jumlah dan letak masing-masing lokal kelas. It’s necessary to tell, gedung SD tersebut tidak berada dalam satu kesatuan. Beberapa lokal kelas terpisah dari bangunan utama, tempat kami menginap semalam sebelumnya. Hanya bangunan utama sekolah tersebut yang memiliki jendela, pintu, lantai yang dikeramik dan tembok yang dicat. Sisa bangunan kelas yang lain beratapkan seng, bertembok batako, berlantai tanah dan tidak dilengkapi pintu maupun jendela. Aku terperangah saat menyaksikan langsung keadaan kelas tersebut. Di sebelah papan tulis, terdapat sebuah pintu—lubang seukuran pintu, tepatnya—yang mengarah langsung ke rawa-rawa di belakang sekolah. Bagaimana siswa-siswi SD disini dapat tahan belajar dalam kondisi seperti itu? Coba tanyakan pada keping papan dan bongkah batako di tembok kelas itu, merekalah saksi-saksinya.

Keadaan salah satu ruang kelas SDN 03 SMT

Setelah games Kak Hardi usai, semua siswa-siswi SDN 03 SMT dipecah menjadi beberapa kelompok sesuai kelas mereka masing-masing. Mereka lalu diarahkan ke kelas-kelas yang kosong untuk menerima penyampaian motivasi dari kakak-kakak inspirator. Aku sendiri masih pura-pura sibuk dengan kamera ponsel Genta, mengambil gambar kesana-kemari. Beberapa inspirator tampak  benar-benar ‘niat’ dalam menghidupkan suasana kelasnya. Di sebelah ruang kelas tiga yang diisi oleh Genta, sekelompok ukhti bercerita tentang ‘macam-macam profesi’ dengan menggunakan boneka tangan dan panggung kecil dari kotak kardus. Anak-anak SD yang polos itu pun menyaksikan dengan takzim.

Kelas Inspirasi baru usai menjelang pukul sebelas siang, ditutup dengan penempelan kertas bertuliskan impian anak-anak tersebut di backdrop Voluntrip 2.0.


Semoga semua impian baik kalian jadi kenyataan ya, dek

- - - - - - -


Menjelang siang, barulah dilakukan penyampaian kata sambutan formal oleh Jarnawi (Ketua Pelaksana Voluntrip 2.0), Kak Reza (Ketum DDV Sumsel) dan Kepala Sekolah SDN 03 SMT. Setelahnya, semua juara dari tiap kelas di SDN 03 SMT pun dipanggil satu per satu ke depan tiang bendera dengan menggunakan pengeras suara TOA, untuk menerima bingkisan hadiah dari panitia dan peserta Voluntrip 0.2.

 

Kami berdiri melingkari semua murid dan wali murid yang turut hadir di lapangan tanah tersebut. Meski sederhana, namun ritual pembagian hadiah juara kelas tersebut tentunya berlangsung menyenangkan. Semua orang senang. Bahkan mamang-mamang penjual eskrim dan roti yang kini ikut hadir mendengarkan sambutan kepala sekolah.

Di semua generasi, pembagian rapor dan hadiah juara kelas adalah hari yang paling ditunggu. Semacam seremoni kecil untuk melepas anak-anak, sebelum mereka semua dengan liar menghabiskan waktu libur dua minggu tanpa perlu menatap buku pelajaran, hanya bermain saja. Eh, itu sih pikiranku saat seumuran mereka. Tapi sepertinya tetap relevan hingga masa kini.

Usai semua kata sambutan, siswa-siswi SDN 03 SMT masih ‘belum diizinkan’ pulang. Mereka harus mengikuti berbagai lomba anak-anak yang sudah kami siapkan, seperti lomba memasukkan paku ke dalam botol, balap kelereng, estafet air dan lain sebagainya. Dinda sendiri menjadi penanggung jawab lomba estafer air, yang lapaknya ternyata kurang diminati dibandingkan perlombaan yang lain. “Wuu, dak laku”, guyonku. Lalu Dinda menggerutu, tapi belum menyerah dengan usahanya menarik perhatian adik-adik.


Dinda dan Estafet Air yang akhirnya laku keras '0')/

Agenda Voluntrip di hari pertama, diluar dugaan, ternyata berjalan dengan sangat lancar. Tak ada keluhan dari peserta, selain tentang letak kakus yang jauh dan perut yang keroncongan. Selain itu, semua tugas kami lakukan dengan senang hati. Termasuk Kak Lala, yang sedari pagi tadi tak lepas dari dapur, dibantu beberapa rekan Voluntrip. Sarapan kami akhirnya siap menjelang pukul 12 siang. Beberapa orang yang merasa sarapannya sangat terlambat urung menggerutu, karena mulut mereka sudah lebih dulu dipenuhi bihun tumis. Kami mengantre makan dan berbagi tempat duduk yang sangat terbatas, persis penghuni Lembaga Permasyarakatan. But that was all fun. Buktinya, kami masih bisa makan sambil tertawa. Sejatinya, inilah alasan utama acara ini dinamai Voluntrip, menurutku.

Aku mengingat-ingat kembali rundown acara Voluntrip yang dibagikan panitia pada saat technical meeting lalu. Seharusnya kami berangkat meninggalkan sekolah ini pukul dua siang, lalu berpindah ke lokasi kedua, yaitu bagian lain Desa Karang Anyar di seberang Sungai Musi. Aku melongo menatap arloji. Sudah lewat pukul dua saat kami selesai membersihkan sekolah dan lapangannya. Panitia akhirnya menggenapkan jadwal keberangkatan menjadi pukul empat sore, ba’da ashar.

Aku sudah menduga kami akan menuju ke lokasi berikutnya dengan perahu. Tapi darimana kami akan menaikinya? Dermaga yang paling dekat dari sekolah ini empat kilometer jauhnya, itu yang kudengar. Aku sempat mengira kami akan diangkut beberapa kali dengan mobil panitia, tapi ada kabar buruk.

Mobil sikoknyo mogok, dak biso distarter gara-gara lampunyo dak dimatii dari semalem. Jadi sekarang tinggal ado mobil pick-up buat ngangkut barang kito”, demikianlah info yang kami dapat dari Jarnawi, Ketua Pelaksana Voluntrip 2.0. Kabar buruk lainnya, Jarnawi tak akan bisa ikut mengiringi kami ke desa di seberang karena besoknya sudah harus berangkat ke Yogyakarta dalam rangka PKL jurusannya.

Meski demikian, sebagian peserta nampaknya tidak terlalu memikirkan bagaimana kelanjutan cerita kami hari itu. Kami hanya beramai-ramai menggotong tas dan koper untuk diletakkan di tengah lapangan, sebelum menaikannya ke atas bak mobil. Setelah semua barang diangkut dan mobil berangkat ke dermaga—yang katanya—terdekat, kami lalu berjalan kaki meninggalkan sekolah. Kali ini, aku menggabungkan diri dengan Genta, Fatma, Dinda dan Lulu.

“Bagaimana dek Voluntrip ini? Nambah item dak kulit kamu?“, kataku memecah hening, mengingat sejak siang tadi cuaca mendung sudah berganti menjadi terik.

“Asli kak”, jawab Fatma dan Dinda hampir bersamaan, lalu tertawa. “Nak diputihi lagi lamo pasti”.
Setelah semuanya sampai di jalan beraspal, Kak Hardi yang ikut berjalan paling belakang mulai memberi aba-aba.

“Pelabuhan yang kito tuju lumayan jauh, sekitar tigo kilometer dari sini. Soal transportasi lagi diijoke samo panitia. Tapi daripada cuma nunggu, mending kito bejalan kaki bae ke lokasinyo, biar menghemat waktu. Cakmano galo-galo?”

Dari segenap rombongan yang sebagian besar diisi perempuan, tidak ada yang mengeluh atau hendak protes. Mungkin mereka malah menganggap ini bagian lain dari Voluntrip yang harus mereka lewati. Bagian yang menyenangkan, malah. Aku pun oke dengan rencana itu.

Maka sore itu, kami melepas sisa tenaga yang kami punya dalam perjalanan baru yang panjang. Beberapa dari kami menyempatkan diri menoleh ke bangunan SDN 03 Sumber Marga Telang untuk terakhir kalinya hari itu, dalam tema siraman cahaya matahari sore yang dramatis. Beberapa bahkan melambai dan berpamitan konyol, seolah bangunan itu adalah makhluk hidup. Namun mengingat bahwa gedung itu tak lagi akan dikunjungi manusia dalam dua minggu ke depan, perasaan kesepian yang hampa tiba-tiba menyelimutiku.

Sampai jumpa SDN 03 Sumber Marga Telang. Semoga kali berikutnya kami kesini, keadaanmu jauh lebih baik, agar lebih banyak lagi siswa yang dapat belajar dibawah naungan atapmu.


(Bersambung . . . . )



By the way, jarak sebenarnya dari sekolah ke dermaga adalah 10 kilometer. Itu yang tidak kami tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar