CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 2.0 (Bagian 2)
Meski hujan
sudah reda saban hari, tapi awan-awan kelabu masih bergelantungan di atas kami.
Aku bangkit dari leyeh-leyeh di masjid, berjalan keluar. Genta dan kawan-kawan
sudah pergi entah kemana. Terakhir kulihat mereka membawa handuk di pundak,
tapi tak kutemukan seorang pun mengantre di depan pintu toilet masjid, selain
serombongan peserta perempuan yang hendak menumpang mandi. Akhirnya kuputuskan
untuk kembali ke gedung sekolah sesegera mungkin, walau sendirian.
Lihatlah
hasil karya langit beberapa menit lalu. Jalanan tanah yang tadinya padat
dipijak kini berubah lunak, licin, lengket. Sudah tidak jelas lagi bentuk dan
warna sepatu ini setelah melaluinya.
Usai separuh
jalan, aku sudah berada tepat di belakang dua orang gadis yang juga sedang
berjalan menuju gedung sekolah. Mereka menoleh ke belakang tak seberapa lama, seolah kompak memutuskan untuk menatapku, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tentu ini bukan soal aku yang
belum mandi—memang sudah kuniatkan untuk tidak mandi di Voluntrip hari pertama.
Salah seorang dari mereka berperawakan kurus, berkulit gelap, berhidung mancung
dan berambut keriting, sementara yang lainnya berkulit putih, berkacamata dan
mengenakan jilbab warna abu-abu. Entah mengapa, aku merasa familiar dengan
kedua wajah ini, terutama yang berkacamata—bisa jadi itu karena aku punya
sentimen khusus pada perempuan berkacamata, entahlah. Seolah kompak, mereka
lalu urung berkata-kata, lebih memilih kembali menyusuri jalan setapak menuju
sekolah.
- - - - - - - -
Sesuai yang
kubayangkan semalam, lapangan SDN 03 Sumber Marga Telang tersebut menjelma
sempurna menjadi arena karapan sapi. Beberapa panitia dan peserta yang hendak
melewatinya bahkan sudah sadar bahwa tak ada bedanya beralas kaki atau tidak.
Maka sepanjang hari itu, kakiku kubiarkan bermain riang bersama licak tanah,
membayar denda masa kecilku yang belum lunas.
Aku dan Tanah Becek
Lalu hujan
turun lagi. Oh, not that i care. Tapi
panitia panik bukan kepalang. Dapur darurat yang mereka dirikan di belakang
gedung sekolah tadi subuh kini roboh ditiup angin. Alamat sarapan kami tertunda
sampai siang nanti. Sementara sebagian besar peserta terjebak hujan di masjid,
kami yang berada di sekolah bergotong-royong memindahkan peralatan masak ke
gedung kelas 4 dan 5 yang (disangka) tidak dipakai untuk pembagian rapor hari
itu. Selang beberapa jam, satu-dua orang peserta mulai mengeluh lapar. Aku
ongkang-ongkang kaki di teras kelas. Mereka tak tahu, perutku sudah
kuselamatkan dengan sebungkus S*** Roti pagi tadi.
Perhatianku
berikutnya tertumbuk pada gadis berkacamata dan rekannya yang berambut ikal
yang kutemui tadi pagi. Secara mengejutkan, mereka menghampiriku.
“Kak Redho,
kan?”
“Iyo dek”,
jawabku, lalu tertawa garing. Ternyata memang kami pernah bertemu -_- malah
pernah berkenalan dengan yang berkacamata. “Kalian nih anak Effects yo?”,
tanyaku untuk memastikan.
“Dinda kak
yang anak Effects, aku bukan. Hehehe”, ujar si rambut ikal—yang tak lama
setelahnya kuketahui bernama Fatma, pengurus BEM FE Unsri.
“Iyo kak
Effects kito nih, madaki lupo”, jawab Dinda yang berkacamata. Aku tertawa
semakin garing. Duh -_- sepertinya aku kebanyakan makan mecin.
Lalu kami
membuka obrolan tentang Bo. Effects, BEM FE, Voluntrip, juga tentang darimana
Fatma mengenalku.
“Iyolah,
kakak kan Ketum Kinerja, taulah”, ujar Fatma. Lalu aku tersanjung. Baru kali
ini kudengar Kinerja sepopuler itu di antara mahasiswa FE.
Melegakan.
Ternyata bukan hanya aku dan Genta yang berasal dari FE Unsri di sini. Ditambah
mereka berdua, masih ada satu orang lagi pengurus BEM bernama Lulu yang
mengikuti Voluntrip.
Usai semua
barang diangkut ke dapur baru kami, Kak Lala dari DMC (Disaster Management Centre) Dompet Dhuafa Sumsel segera melanjutkan
memasak dengan hati yang kalut. Bayu megap-megap. Bagaimana dengan nasib agenda
kami hari ini?
“Pernah
dengar dari penduduk lokal, kalo hujannya deras, biasanya siswa tidak masuk
sekolah”, katanya lemah. Melihat kondisi jalan yang becek dan tidak adanya
tempat berteduh di sepanjang jalan ke sekolah, wajar jika mereka enggan bersekolah dalam cuaca seperti ini. Aku ikut merasa bersalah demi mendengar hal tersebut, walau bukan aku yang menurunkan hujan. Kami akhirnya hanya pasrah dan
menunggu.
Hujan baru
berubah jadi gerimis menjelang pukul delapan. Beberapa peserta yang tadi
terjebak hujan di masjid kini sedikit demi sedikit, berduyun-duyun kembali ke
gedung sekolah. Diantara barisan mereka, adalah salah satu sosok berseragam
safari pramuka dengan kopiah tersongkok di kepala.
Pak Guru dan Jarnawi, Ketupel Voluntrip 2.0
Dialah salah seorang
pahlawan di SD ini, pak guru tercinta SDN 03 Sumber Marga Telang.
Bayu dan
panitia lainnya menyalami tangan pak guru, segera setelah sepatu trackers-nya menginjak teras keramik
gedung sekolah. Sejenak, secara konyol terlintas di pikiranku tentang SD
Muhammadiyah di cerita Laskar Pelangi, dan sosok ini tak lain adalah Pak Harfan,
kepala sekolah di SD tersebut. Namun ternyata bukan. Lega dan mengejutkan
mendengar darinya, bahwa ia bukan kepala sekolah dan juga bukan satu-satunya
guru di SDN 03 SMT. Sang Kepala Sekolah legendaris ternyata berdomisil di
Palembang, dan kini pasti tengah mengendarai motor di tengah hujan demi tiba di
lokasi pengabdiannya ini. Masya Allah.
Sementara
itu di kejauhan, sudah nampak sosok-sosok mungil berseragam pramuka, berdiri
ragu-ragu nun jauh di pinggir jalan beraspal. Merekalah putra-putri tunas
harapan Kabupaten Banyuasin : siswa-siswi SDN 03 Sumber Marga Telang! Mereka
tampak canggung, demi melihat sekumpulan laki-laki dan perempuan asing berdiri
di teras sekolah favorit mereka. Bayu melambaikan tangan dan berteriak-teriak
girang. “Dak apo-apo dek, kesinilah!”. Namun bisa kulihat mereka justru tampak
makin ragu, menempelkan tubuh ke kaki orangtua mereka. Akhirnya peserta dan
panitia pun beramai-ramai turun ke jalan setapak yang becek, menjemput mereka
satu demi satu. Beberapa anak yang masih sangat kecil bahkan digendong ke
sekolah oleh panitia dan peserta, sementara mereka yang cukup besar
memilih berjalan sendiri—dengan bertelanjang kaki, sembari menyandang tas
punggung dan sepasang sepatu yang diikat.
Siswa-siswi SDN 03 Sumber Muara Telang dalam perjalanan ke sekolah
Suasana
suram beberapa waktu lalu sirna sudah, berganti haru. Lalu, haru berganti
menjadi sibuk. Setelah anak-anak ini dikumpulkan, tugas kami yang sebenarnya
baru dimulai. Beberapa peserta yang dulu mendaftar sebagai inspirator, kini
mulai sibuk dengan alat peraga mereka masing-masing. Beberapa bahkan tampak
kelabakan. Salah satu yang tampak kelabakan adalah Genta.
“Aku kemarin
niatannyo nak ceramah, dho, tapi panitianyo bilang bukan cak itu kelas inspirasi. Harusnyo aku bantu buka pikiran
anak-anak ini buat bercita-cita lebih tinggi, sekolah lebih jauh”, curhat
Genta, yang sekarang menyusun ulang rencananya. Ia kebagian menjadi inspirator
siswa kelas tiga, yang isinya tak lebih dari selusin murid. Aku hanya
mengangguk-angguk sok paham. Untungnya aku kemarin mendaftar ke bagian
‘Bersih-Bersih Masjid’, yang aktivitasnya baru dimulai besok.
Sembari
menunggu siswa-siswi yang masih terus berdatangan, kepala sekolah yang belum
tiba, serta inspirator yang masih menyiapkan diri, semua siswa yang sudah
datang akhirnya dikumpulkan di satu lokal kelas yang paling bagus untuk bermain
games. Selaku inisiator adalah Kak
Hardi, alumni Bina Darma angkatan 2010 dengan kemampuan komunikasinya
yang—menurutku—paten sekali, terutama dengan anak-anak. Kemampuan
bersosialisasi macam itu sering kali sukses membuatku iri. Tapi tak apa. Aku
yang menganggur pun lalu melakukan yang disebut orang Palembang ‘nyari kepacakan’. Meminjam ponsel Genta,
hilir-mudik kesana-sini, mengambil beberapa foto kegiatan. Begini-begini, aku
tetap wartawan kampus. I’m gonna make a
good writing from this event. Yiihaa.
Selang
beberapa lama, tibalah kepala sekolah yang dinantikan. Dengan kumis melintang,
kopiah hitam, seragam pramuka lengkap dan sepatu boots, macamnya bapak ini sudah niat sekali untuk mengajar di
pedalaman Banyuasin. Kami menyalami tangannya, sembari ia mengellingi lokal
kelas SD-nya yang salah satunya kini kami sulap sedemikian rupa menjadi dapur
umum. Ia manggut-manggut, mengucapkan terima kasih pada kami yang sudah
repot-repot melakukan semua ini.
“Kami turut
senang jika ada orang-orang intelek seperti kalian yang sudi datang ke sekolah
kami”, begitulah kurang lebih pesan kepala sekolah dengan khidmat. Kalimat itu
menggema, memantul-mantul di dalam kepala Bayu. Alhamdulillah ia tahan untuk tidak menangis.
Usai cengkerama
yang tidak seberapa lama, Pak Kepala Sekolah pun mulai mengambil alih
kemudinya. Ia memberikan instruksi kepada panitia dan peserta inspirator
terkait jumlah dan letak masing-masing lokal kelas. It’s necessary to tell, gedung SD tersebut tidak berada dalam satu
kesatuan. Beberapa lokal kelas terpisah dari bangunan utama, tempat kami
menginap semalam sebelumnya. Hanya bangunan utama sekolah tersebut yang
memiliki jendela, pintu, lantai yang dikeramik dan tembok yang dicat. Sisa
bangunan kelas yang lain beratapkan seng, bertembok batako, berlantai tanah dan
tidak dilengkapi pintu maupun jendela. Aku terperangah saat menyaksikan langsung
keadaan kelas tersebut. Di sebelah papan tulis, terdapat sebuah pintu—lubang seukuran
pintu, tepatnya—yang mengarah langsung ke rawa-rawa di belakang sekolah.
Bagaimana siswa-siswi SD disini dapat tahan belajar dalam kondisi seperti itu? Coba
tanyakan pada keping papan dan bongkah batako di tembok kelas itu, merekalah
saksi-saksinya.
Keadaan salah satu ruang kelas SDN 03 SMT
Setelah games Kak Hardi usai, semua siswa-siswi
SDN 03 SMT dipecah menjadi beberapa kelompok sesuai kelas mereka masing-masing.
Mereka lalu diarahkan ke kelas-kelas yang kosong untuk menerima penyampaian
motivasi dari kakak-kakak inspirator. Aku sendiri masih pura-pura sibuk dengan
kamera ponsel Genta, mengambil gambar kesana-kemari. Beberapa inspirator
tampak benar-benar ‘niat’ dalam
menghidupkan suasana kelasnya. Di sebelah ruang kelas tiga yang diisi oleh
Genta, sekelompok ukhti bercerita tentang
‘macam-macam profesi’ dengan menggunakan boneka tangan dan panggung kecil dari
kotak kardus. Anak-anak SD yang polos itu pun menyaksikan dengan takzim.
Kelas
Inspirasi baru usai menjelang pukul sebelas siang, ditutup dengan penempelan
kertas bertuliskan impian anak-anak tersebut di backdrop Voluntrip 2.0.
Semoga semua impian baik kalian jadi kenyataan ya, dek
- - - - - - -
Menjelang
siang, barulah dilakukan penyampaian kata sambutan formal oleh Jarnawi (Ketua
Pelaksana Voluntrip 2.0), Kak Reza (Ketum DDV Sumsel) dan Kepala Sekolah SDN 03
SMT. Setelahnya, semua juara dari tiap kelas di SDN 03 SMT pun dipanggil satu
per satu ke depan tiang bendera dengan menggunakan pengeras suara TOA, untuk menerima
bingkisan hadiah dari panitia dan peserta Voluntrip 0.2.
Kami berdiri
melingkari semua murid dan wali murid yang turut hadir di lapangan tanah
tersebut. Meski sederhana, namun ritual pembagian hadiah juara kelas tersebut tentunya berlangsung menyenangkan. Semua orang senang. Bahkan mamang-mamang penjual eskrim dan roti yang
kini ikut hadir mendengarkan sambutan kepala sekolah.
Di semua
generasi, pembagian rapor dan hadiah juara kelas adalah hari yang paling
ditunggu. Semacam seremoni kecil untuk melepas anak-anak, sebelum mereka semua
dengan liar menghabiskan waktu libur dua minggu tanpa perlu menatap buku
pelajaran, hanya bermain saja. Eh, itu sih pikiranku saat seumuran mereka. Tapi
sepertinya tetap relevan hingga masa kini.
Usai semua
kata sambutan, siswa-siswi SDN 03 SMT masih ‘belum diizinkan’ pulang. Mereka
harus mengikuti berbagai lomba anak-anak yang sudah kami siapkan, seperti lomba
memasukkan paku ke dalam botol, balap kelereng, estafet air dan lain
sebagainya. Dinda sendiri menjadi penanggung jawab lomba estafer air, yang
lapaknya ternyata kurang diminati dibandingkan perlombaan yang lain. “Wuu, dak
laku”, guyonku. Lalu Dinda menggerutu, tapi belum menyerah dengan usahanya
menarik perhatian adik-adik.
Dinda dan Estafet Air yang akhirnya laku keras '0')/
Agenda
Voluntrip di hari pertama, diluar dugaan, ternyata berjalan dengan sangat
lancar. Tak ada keluhan dari peserta, selain tentang letak kakus yang jauh dan
perut yang keroncongan. Selain itu, semua tugas kami lakukan dengan senang
hati. Termasuk Kak Lala, yang sedari pagi tadi tak lepas dari dapur, dibantu
beberapa rekan Voluntrip. Sarapan kami akhirnya siap menjelang pukul 12 siang.
Beberapa orang yang merasa sarapannya sangat terlambat urung menggerutu, karena
mulut mereka sudah lebih dulu dipenuhi bihun tumis. Kami mengantre makan dan
berbagi tempat duduk yang sangat terbatas, persis penghuni Lembaga
Permasyarakatan. But that was all fun. Buktinya, kami masih bisa makan sambil tertawa. Sejatinya, inilah alasan utama acara ini dinamai Voluntrip, menurutku.
Aku
mengingat-ingat kembali rundown acara
Voluntrip yang dibagikan panitia pada saat technical
meeting lalu. Seharusnya kami berangkat meninggalkan sekolah ini pukul dua
siang, lalu berpindah ke lokasi kedua, yaitu bagian lain Desa Karang Anyar di
seberang Sungai Musi. Aku melongo menatap arloji. Sudah lewat pukul dua saat
kami selesai membersihkan sekolah dan lapangannya. Panitia akhirnya
menggenapkan jadwal keberangkatan menjadi pukul empat sore, ba’da ashar.
Aku sudah
menduga kami akan menuju ke lokasi berikutnya dengan perahu. Tapi darimana kami
akan menaikinya? Dermaga yang paling dekat dari sekolah ini empat kilometer jauhnya,
itu yang kudengar. Aku sempat mengira kami akan diangkut beberapa kali dengan
mobil panitia, tapi ada kabar buruk.
“Mobil sikoknyo mogok, dak biso distarter gara-gara
lampunyo dak dimatii dari semalem. Jadi
sekarang tinggal ado mobil pick-up buat ngangkut barang kito”,
demikianlah info yang kami dapat dari Jarnawi, Ketua Pelaksana Voluntrip 2.0.
Kabar buruk lainnya, Jarnawi tak akan bisa ikut mengiringi kami ke desa di
seberang karena besoknya sudah harus berangkat ke Yogyakarta dalam rangka PKL
jurusannya.
Meski
demikian, sebagian peserta nampaknya tidak terlalu memikirkan bagaimana
kelanjutan cerita kami hari itu. Kami hanya beramai-ramai menggotong tas dan
koper untuk diletakkan di tengah lapangan, sebelum menaikannya ke atas bak
mobil. Setelah semua barang diangkut dan mobil berangkat ke dermaga—yang
katanya—terdekat, kami lalu berjalan kaki meninggalkan sekolah. Kali ini, aku
menggabungkan diri dengan Genta, Fatma, Dinda dan Lulu.
“Bagaimana
dek Voluntrip ini? Nambah item dak
kulit kamu?“, kataku memecah hening, mengingat sejak siang tadi cuaca mendung
sudah berganti menjadi terik.
“Asli kak”,
jawab Fatma dan Dinda hampir bersamaan, lalu tertawa. “Nak diputihi lagi lamo
pasti”.
Setelah
semuanya sampai di jalan beraspal, Kak Hardi yang ikut berjalan paling belakang
mulai memberi aba-aba.
“Pelabuhan
yang kito tuju lumayan jauh, sekitar tigo kilometer dari sini. Soal
transportasi lagi diijoke samo
panitia. Tapi daripada cuma nunggu, mending kito
bejalan kaki bae ke lokasinyo, biar
menghemat waktu. Cakmano galo-galo?”
Dari segenap
rombongan yang sebagian besar diisi perempuan, tidak ada yang mengeluh atau
hendak protes. Mungkin mereka malah menganggap ini bagian lain dari Voluntrip
yang harus mereka lewati. Bagian yang menyenangkan, malah. Aku pun oke dengan
rencana itu.
Maka sore
itu, kami melepas sisa tenaga yang kami punya dalam perjalanan baru yang
panjang. Beberapa dari kami menyempatkan diri menoleh ke bangunan SDN 03 Sumber
Marga Telang untuk terakhir kalinya hari itu, dalam tema siraman cahaya matahari
sore yang dramatis. Beberapa bahkan melambai dan berpamitan konyol, seolah
bangunan itu adalah makhluk hidup. Namun mengingat bahwa gedung itu tak lagi
akan dikunjungi manusia dalam dua minggu ke depan, perasaan kesepian yang hampa
tiba-tiba menyelimutiku.
Sampai jumpa
SDN 03 Sumber Marga Telang. Semoga kali berikutnya kami kesini, keadaanmu jauh lebih baik, agar lebih banyak lagi siswa yang dapat belajar dibawah naungan
atapmu.
(Bersambung . . . . )
By the way, jarak sebenarnya dari sekolah ke
dermaga adalah 10 kilometer. Itu yang tidak kami tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar