Minggu, 31 Desember 2017

Bertukar Diari dengan Mahasiswa PPL





 

Tidak ada makna khusus dari judul tulisan kali ini. Aku sepenuhnya hendak bercerita tentang pengalamanku bertukar diari dengan seorang mahasiswa PPL saat aku masih duduk di bangku SMP.

Kenapa pula aku tiba-tiba ingin membagikannya?

Sepulang dari ENJ, aku sudah tahu kehidupan macam apa yang siap menyambutku (akan kuceritakan tentang ENJ ini di tulisan lainnya, nanti). Tidak ada lagi rutinitas kuliah yang padat seperti tiga tahun pertamaku di kampus. Aku akan punya banyak waktu untuk merenung. Merenungkan kapan akan kuakhiri masa kuliah ini, misalnya.

Separuh isi angkatanku di kampus sudah ‘minggat’ dari bangku kuliah. Perjuangan skripsi tentu menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali. Berhadapan dengan dosen pembimbing skripsi kini tidak lagi bersama teman seangkatan. Perbaikan dan revisi pun harus kulakukan seorang diri. Bayangkan saja rasanya, orang-orang yang dulunya selalu bisa diganggu setiap saat untuk mengerjakan berbagai hal bersama, kini tak bisa lagi diganggu karena kesibukannya yang sudah berbeda. Kali ini semuanya harus benar-benar diselesaikan sendirian.
S-E-N-D-I-R-I-A-N. Harga yang mungkin setimpal untuk sebuah penundaan.

Setelah ini  harus menyelesaikan skripsi, itu sudah pasti. Tapi bagaimana cara mengembalikan diri ini ke ‘jalur’ tersebut? Bagaimana caranya kembali mengerjakan skripsi, setelah setahun ini aku ‘pergi’ begitu jauh dan mengerjakan hal yang begitu berbeda? Akhirnya kuputuskan untuk membangkitkan semangatku terlebih dahulu.

Lalu aku teringat akan sesuatu : suatu hajat yang dulu pernah dipendam, dan terus dipendam hingga aku tak lagi ingat untuk melaksanakannya. Aku masuk  ke kamarku, lalu mengambil seonggok karung yang tersandar malas di samping lemari baju. Aku membawanya ke depan TV dan menumpahkan isinya, berusaha menemukan apa yang dulu pernah ingin sekali kutuliskan menjadi sebuah cerita pendek. Karung tersebut sendiri berisi buku-buku pelajaran SMA dan beberapa barang pribadiku yang tidak kususun ulang setelah aku pindah rumah. Aku yakin sekali pernah melihatnya di dalam karung itu : sebuah bundel mirip tugas makalah yang tidak dijilid. Tapi sepertinya aku keliru. Mungkin aku tidak pernah memasukannya ke karung tersebut sebelum aku pindah rumah.

Aku pun mengulangi pencarianku. Aku membuka semua buku pelajaran SMA yang kutemukan, juga semua buku tulis yang ada di dalam karung tersebut. Lalu, setumpuk kertas lusuh berhamburan saat aku membuka sebuah buku tulis bersampul kertas manggis warna ungu. Aku memungutnya, membaca tulisannya yang ditulis dengan pensil 2B. Meski bukan itu yang aku cari, namun tulisan di kertas-kertas tersebut ternyata berkaitan erat dengan apa yang kupikir bisa membangkitkan semangatku lagi.

Aku memasukkan kembali sisa-sisa barang lainnya ke dalam karung, lalu berkonsentrasi membaca tulisan di lembaran-lembaran kertas tadi. Aku langsung mengenalinya sebagai tulisanku sendiri. Astaga, jelek sekali. Rasanya seperti membaca linimasa facebook-ku sendiri di tahun 2011. Hampir tidak ada sisi yang tidak menggambarkan kealayan seorang remaja puber, hingga aku hampir tiba di ujung tulisan tersebut.

“Hai guys, namaku Berti”

Aku menarik napas panjang. Mengenang sejenak pemilik nama tersebut dan mengapa dulu aku ingin menuliskannya menjadi sebuah cerita pendek.

- - - - - - - -

Palembang, September 2010

Kedatangan mahasiswa PPL ke sekolah kami sudah seperti agenda tahunan yang tidak pernah terlewatkan. Sejak beberapa minggu sebelumnya, puluhan mahasiswa PPL dari salah satu universitas di Palembang sudah mulai tampak mondar-mandir di segenap penjuru SMPN 19 Palembang, lengkap dengan jaket almamater mereka yang berwarna biru mentereng. Aku selalu berharap ada kesan lebih baik yang mereka tinggalkan pada kami, karena tiap saat mereka mampir ke kelas kami di luar jam mengajar mereka, hal yang mereka lakukan hanyalah menyuruh kami agar tidak berisik. Padahal jika boleh menilai, job description itu sudah ditempati dengan sempurna oleh Bu Jum, Waka Kesiswaan SMPN 19. Jika ada yang coba-coba  menggantikan perannya yang agung, maka akan lebih terdengar seperti lelucon.

“Nata, ngapoi kau tegak-tegak depan kelas? MASUK!”, pekiknya menggelegar. Bu Jum bahkan tidak perlu repot-repot menghampiri langsung murid nakal bernama Nata. Ia hanya berkacak pinggang di depan ruang guru, bicara dengan pelantang suara, sementara Nata yang apes tengah berdiri di depan kelasnya yang terpisah jarak satu lapangan upacara dari tempat Bu Jum berdiri. Yap. Bu Jum mampu mengenali Nata dari jarak sejauh itu.

“Chandra, kau jugo ngapoi keluar kelas?”, tegur Jumainah yang Agung. Lalu seolah takut akan murka langit yang mungkin menimpanya, Chandra yang cebol langsung menuruti kata-kata dari sosok tak terlihat tersebut

Peristiwa diatas biasa ditemui saat guru SMPN 19 menggelar rapat di jam pelajaran. Ruang-ruang kelas tentu kosong tanpa ada yang mengawasi.

Namun dalam suasana PPL Mahasiswa FKIP Universitas xxx, tentu Bu Jum bisa lebih santai. Ia merasa hanya perlu mengutus beberapa orang mahasiswa PPL untuk mengisi kekosongan jam pelajaran kami dengan kegiatan apapun. Bisa saja perkenalan formal, perkenalan ‘tidak formal’, brainstroming, games dan lain sejenisnya. Dan semua itu pun, tak selalu diindahkan oleh seisi kelas. Maklum, anak SMP.

Dua orang mahasiswa PPL masuk ke ruang kelasku, kelas IX.4 yang sedang kacau kala itu. Aku yang tadinya pura-pura tidur mau tak mau kembali mengangkat kepalaku saat mereka memperkenalkan diri. Tak lama kemudian demi memperoleh perhatian kami, mereka mengambil spidol dan memperkenalkan 10 jenis kecerdasan manusia kepada kami lewat papan tulis. Bahasan khas guru BK. Kami lalu diajak mengidentifikasi kecerdasan apa saja yang ada pada diri kami masing-masing.

Tidak semua penghuni kelas memperhatikan mereka. Namun bagiku sendiri, ini bahasan yang menarik. Aku suka psikologi. Suatu saat nanti aku ingin menjadi psikolog—atau setidaknya inilah isi pikiran seorang remaja SMP yang labil kala itu. Pfft. Aku mengeluarkan diariku dan mulai menyalin kata-kata di papan tulis.

What? Diari?

Ya, kalian tidak salah dengar baca.
Jika semua manusia generasi Y pernah lebay, maka aku tentunya paling lebay saat masih di bangku SMP. Dulu aku pernah memiliki sebuah diari—satu lagi anomali masa remajaku, tak salah lagi. Lembaran-lembaran aib yang kusebut diari tersebut sebenarnya tak lebih dari buku catatan biasa berisi tulisan-tulisan sembarangan tentang berbagai hal. Salah satu hal sembarangan yang kutulis tersebut adalah materi yang dijelaskan mahasiswa PPL barusan. Hal yang membuatku ragu menyebut buku catatan tersebut sebagai diari adalah karena buku catatan tersebut tidak benar-benar pribadi sebagaimana diari seharusnya. Sebaliknya, aku malah bangga sekali saat ada yang membacanya. Jika dihitung-hitung, mungkin separuh isi kelas IX.4 sudah turut menikmati kealayan isinya. Duh. Jika kalian juga generasi Y, kalian pasti paham bagaimana seorang anak SMP bisa begitu alay, begitu ingin diperhatikan. Menulis buku harian yang dibaca orang banyak jaman then kurang lebih sama seperti menulis status alay di sosial media jaman now, versi primitif dari sebuah ‘pencitraan’. Bahkan pada saat itu aku tak ambil pusing jika pengalaman-pengalaman pribadi yang kutulis di dalam diari tersebut turut dibaca oleh semua orang. Termasuk soal kisah seseorang yang pernah kusukai saat kelas VIII dulu.

Setelah gagal membuat seisi kelas lebih tenang melalui materinya, kakak-kakak PPL tersebut akhirnya beralih ke mode persuasif. “Adek-adek boleh ngobrol, tapi jangan ribut, ya!”.
As if we could, LOL. “Boleh mengobrol tapi tidak boleh ribut” sama saja seperti “boleh menghidupkan percon santak tapi jangan sampai suaranya terdengar tetangga”. Tentu saja bujukan tersebut tidak ampuh. Di sisi lain,  kami belum paham betapa terpojoknya posisi mahasiswa FKIP ketika dikacangi siswa-siswanya sendiri. Akhirnya mereka menyerah dan  lebih memilih berinteraksi dengan kami satu per satu. Ditambah dengan dua orang mahasiswa PPL lainnya yang baru bergabung ke kelas IX.4, mereka pun berkeliling kelas dan menanyakan jenis kecerdasan apa yang kami pikir ada pada diri kami.

Pada saat yang sama di mejaku, aku tengah—lagi-lagi—menunjukkan tulisan di diariku kepada temanku. Kami pada saat itu tengah mengobrolkan apa bedanya kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, sebelum akhirnya seorang kakak PPL perempuan menghampiri meja kami dan mengajak kami berkenalan. Obrolan kami berujung pada sepetak benda yang tergeletak di dekat sikutku.

“Apa itu dek?”, tanya kakak PPL seraya menunjuk diariku. Mungkin sampulnya yang kutempeli gambar karakter komik Tsubasa Reservoir Chronicle membuat perhatiannya tertaut.

“Ini... Diari, kak”, jawabku seperempat hati, ragu dengan efek jawabanku sendiri.

Tulisannyo bagus, kak! Baco be kalo galak!”, pungkas Harry yang duduk di sebelahku saat itu. Hampir saja aku berteriak ‘GILO’ ke arahnya, namun Si Kakak PPL keburu memintaku untuk menunjukkan diari tersebut. Aku pun menyerahkannya tanpa perlawanan.

Si Kakak PPL membolak-balik buku tersebut di depan wajahnya, sementara aku mengamatinya. Rambutnya yang pendek sebahu tampak kasar, namun lurus. Alisnya tebal. Kulit wajahnya putih dipoles bedak tipis. Aku tidak bisa menerka apa isi kepalanya saat membaca tulisanku.
Aneh, aku merasa malu. Menunjukkan tulisanku ke orang yang lebih tua ternyata tidak sama dengan menunjukkannya ke teman-temanku. Kami pun hening beberapa saat, lalu Si Kakak PPL menurunkan buku diariku dan memandangku langsung.

“Adek,” katanya. Aku masih mengamati. “bukunya boleh kakak pinjam, kan?”

Apa pilihanku selain bilang iya? Tentu saja aku meminjamkannya begitu saja, lalu bel pulang sekolah pun memutus pertemuan kami hari itu. Teman-temanku cengar-cengir. Kakak PPL berjalan keluar kelas. Ia tahu namaku Redho. Tapi aku—bodohnya—tidak tahu namanya. Bahkan tak sempat terpikir untujk menanyakannya.

- - - - - -

Sebenarnya aku sudah berhenti menulis cerita pribadiku di buku tersebut sejak akhir kelas VIII lalu. Tulisan yang bisa dibaca semua orang pada saat itu hanyalah kejadian-kejadian lama. Aku sendiri tak paham kenapa Si Kakak PPL mau meminjamnya. Hal lain yang tak kupahami? Aku mau saja meminjamkan diari itu pada orang yang jangankan aku tahu namanya, wajahnya saja aku langsung lupa.

Sebagai informasi, aku  awalnya mendapatkan diari tersebut dari kakak perempuanku. Dia membelikanku buku catatan berbentuk agenda karena menurutnya aku akan butuh ruang mencatat yang bisa diperbarui untuk beberapa tahun ke depan. Syukurlah dia tidak tahu jika pada akhirnya buku tersebut akan berfungsi ekstra sebagai diari laknat penampung berbagai aib pemiliknya.

Beberapa hari setelah meminjamkan diariku, aku kembali dihampiri seorang mahasiswa PPL perempuan ketika hendak keluar kelas di jam istirahat. Ternyata ia adalah Si Kakak yang kemarin.

“Redho!”, panggilnya, “Bukunya bagus!”

I’m sorry, what?

“Kakak sampe gak yakin kalo itu tulisan kamu. Rasanya bukan kayak tulisan anak SMP. Kakak suka”, ujarnya girang. Ia tersenyum sangat lebar, menunjukkan gigi-giginya yang putih dan rapi.
Aku terdiam di tempatku berdiri. Kaku. Seolah-olah aku baru mendapat tendangan tepat di selangkangan.

“Hah? Madaki, Kak?”, akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Boleh kan kakak pinjem agak lama sedikit?”, Ia bertanya. Aku mengangguk-angguk. “Kakak juga punya tulisan yang begini, tapi kakak simpan di komputer. Nanti kakak kasih liat, barengan waktu kakak balikin bukumu”.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk, tersenyum. Bingung bagaimana harus menanggapi, sementara Ia terus memuji apa yang kutulis—memangnya bagian mana dari diariku yang pantas dipuji? Untuk pertama kalinya aku berani mempertanyakan hal itu.

Si Kakak lalu mengucapkan sampai jumpa dan kembali ke ruang guru setelah bel masuk istirahat berbunyi, sementara aku masih dilanda berbagai perasaan. Canggung, juga bingung, tapi senang. Begitu senang hingga aku lupa lagi menanyakan namanya.

- - - - - - - -

Di hari-hari berikutnya aku tak lagi memusingkan soal nama Si Kakak. Ia sepertinya orang yang bisa dipercaya, disamping, memang menyenangkan rasanya diperhatikan secara khusus oleh seorang perempuan (walau beda usia kami bisa jadi sekitar tujuh atau delapan tahun). Kami sering berpapasan di teras sekolah, di kantin, ruang guru, dan hampir setiap saat kami bertemu selalu dia yang menyapaku duluan. Beberapa mahasiswa PPL lain bahkan ikut mengenaliku, entahlah, tapi sepertinya Si Kakak menceritakan soal aku dan buku diari itu kepada teman-teman mahasiswanya. Duh.

Tentang Si Kakak, teman-teman sekelasku pun ikut tahu. Beberapa bahkan meniupkan angin-angin busuk di telingaku, bilang bahwa Si Kakak menyukaiku. Anggapan seperti itu kalau bukan disebut gila, tentu sinting namanya. Si Kakak itu seumuran dengan kakak perempuanku, hoi!

Meski demikian, aku dan mental remaja puberku pada saat itu memang merasakan sesuatu yang ganjil dalam perhatian yang diberikan Si Kakak. Mustahil rasanya jika Si Kakak bisa merasa bersahabat denganku hanya karena ia suka dengan diariku. Adakah faktor lain yang membuatnya menjadi demikian? Aku tidak punya ide.

- - - - - - - -

Upacara bendera Senin pagi itu dirapel dengan kegiatan pelepasan mahasiswa PPL. Memang tidak ada pesta yang tidak berakhir, walau bagi beberapa siswa SMPN 19, pestanya justru baru dimulai. Sejak awal memang tidak semua mahasiswa PPL mampu mendapatkan tempat di hati para siswa, dan tidak semua siswa cukup peduli untuk memberi kesempatan. Pelepasan mahasiswa PPL berarti terbebasnya kembali siswa-siswa SMP untuk kembali berbuat liar di jam pelajaran kosong—jika tidak tertangkap Bu Jum.

Bagiku sendiri, pelepasan mahasiswa PPL berarti perpisahan dengan Si Kakak. Aku sendiri tak terlalu memikirkannya, toh, kami belum genap sebulan saling kenal, tak banyak pengalaman bersama yang membekas bagiku. Tentang diariku, aku tahu Si Kakak akan mengembalikannya sebelum ia benar-benar pergi dari SMPN 19. Aku hanya tak menduga tempat dan waktunya.

Di tengah jam pelajaran Bahasa Inggris yang diasuh Bu Maimun (Almh.), sekonyong-konyong Si Kakak mengetuk pintu kelas dan meminta izin masuk. Si Kakak lalu masuk ke ruang kelas IX.4, menghampiri tempat dudukku dan mengembalikan diariku saat itu juga. Di depan semua orang, yes. Seisi kelas pun menyorakiku, sementara Si Kakak dengan senyum canggung cepat-cepat keluar kelas digiring puluhan pasang mata yang tak henti menatapnya. Namun kejutannya belum berhenti sampai disitu.

Di jam istirahat, seorang teman (aku lupa siapa) memberikanku sesuatu yang tampaknya dititipkan Si Kakak kepadaku. Ternyata itu adalah tulisan Si Kakak yang dulu pernah ia ceritakan. Wah, aku bahkan lupa sama sekali tentang hal itu.

Namun sebelum aku sempat membaca isinya, Harry segera merampas benda tersebut dan membacanya mendahuluiku. Diiringi wajah sok serius, ia membalik lembaran-lembaran kertas tersebut dengan cepat. “Apo ini? Puisi galo isinyo! Masih bagusan tulisan kau dho, kalo cak itu”, kritiknya seketika, lalu segera mengoper benda tersebut kepadaku. Dari yang kulihat, aku bahkan ragu bahwa Harry benar-benar membaca isi tulisan Si Kakak. Aku pun memasukkan tulisan berharga Si Kakak ke dalam ranselku. Biar aku baca saat sendirian di rumah nanti.

- - - - - - - -

Setelah mencuci kaki dan tangan, aku langsung meletakkan tasku di samping tempat tidur, lalu membaringkan tubuh di atas kasur. Aku mengangkat lembaran-lembaran kertas yang diberikan Si Kakak di depan wajahku untuk mengamatinya dengan lebih seksama. Aku teringat perkataan Si Kakak tentang ‘tulisan di komputer’. Ternyata benda yang tengah kutatap tersebut adalah diarinya yang selama ini ia cicil di komputer, dan baru  ia cetak semalam. Si Kakak bahkan hanya sempat menjepret kertas tersebut seadanya.

Sejujurnya, pada saat itu aku tidak terlalu tertarik untuk membacanya. Namun dengan segala minat yang bisa kukumpulkan pada saat itu, aku pun tergerak untuk membaca lembar pertama dengan perlahan. Lembar pertama berisi sebuah puisi—yang menyerupai narasi. Subjektif, namun aku belum paham untuk siapa puisi tersebut ditulis.

Lembar kedua pun sama.

Begitu pula dengan lembar ketiga dan keempat.

Aku mulai bosan, karena aku belum mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan Si Kakak kepadaku. Mungkin perkataan Harry di sekolah tadi ada benarnya. Namun aku mengubah posisi berbaring dan melanjutkan membaca.

Hai, namaku Berti

Aku berhenti sejenak di baris itu. Berusaha memahami.

Ternyata nama Si Kakak adalah Berti! Aha!

Tapi bukan Berti yang dulu. Waktu telah mengubahku”.

Tulisan Kak Berti telah masuk ke bagian yang menceritakan hidupnya secara langsung.

Kak Berti adalah seorang gadis desa biasa. Ia putri dari seorang ayah bernama Syahili, dan seorang ibu bernama Warsih (nama alias). Selain dirinya sendiri, rumahnya diramaikan dengan ketiga adik kecilnya yang, lucunya, ia representasikan dengan sebutan Comel, Cimol dan Cimut. Bersama dengan kedua orangtuanya yang bekerja sebagai tenaga  pengajar, keluarga kecil mereka hidup bahagia dalam kesederhanaan dan kecukupan.

Bagian-bagian berikutnya dari diari Kak Berti banyak berkisah tentang kesehariannya di masa lalu yang sering ia lalui bersama adik-adiknya, terutama Cimut Si Adik Bungsu. Kak Berti bercerita tentang dirinya yang bersepeda ontel di jalanan kampung sambil membonceng Cimut, tentang ia dan Cimut yang berlari-larian dalam hujan berpayungkan daun pisang, juga tentang ia dan Cimut yang makan buah pisang dari kebun paman mereka. Ia tak terlalu banyak menyebut Cimol dan Comel.

Namun tidak semua bagian diari tersebut bercerita tentang adik-adiknya. Di satu halaman, Kak Berti beralih menceritakan tentang dirinya. Tentang Berti yang tumbuh remaja. Tentang Berti yang tidak lagi bermain bersama adik-adiknya. Tentang Berti yang mulai mengenal ego, aku, gengsi dan pernak-pernik emosional masa remaja lainnya. Tentang Berti yang hanya peduli pada dirinya sendiri, mengabaikan Si Cimut yang rindu main bersama kakaknya.

Lalu hidup mereka sekeluarga dihentak gelombang besar bernama perceraian. Ayahnya, Syahili, pergi meninggalkan keluarga mereka. Kak Berti menggambarkan bahwa ibunya mencintai Syahili dengan sepenuh hati dikali dua, sementara Syahili tak sampai penuh hati mencintai Warsih. Syahili menikahi ibunya, karena dengan itulah langkahnya untuk mendapatkan promosi gelar dapat terbuka lebih lebar. Adapun kelahiran dari keempat buah hati, mungkin bagi Syahili tak lebih dari bentuk kontribusi langsungnya bagi bonus demografi. Toh, setelah mendapatkan gelar sarjananya, apa lagi yang ia inginkan dari seorang Warsih? Mereka pun resmi membelah dua bahtera yang sudah lama diarungi bersama.

Aku terhenyak membaca bagian tersebut. Setelah semua usaha penjelasan yang berputar-putar dengan puisi dan lain sebagainya, semua fakta ini disampaikan dengan begitu gamblang. Aku seketika iba pada Kak Berti, terlebih lagi pada Si Cimut yang kini terpisah dari Kak Berti. Dan saat aku berusaha memposisikan diriku di tempat Kak Berti, yang mampu kurasakan hanyalah menatap keluarga yang retak tersebut dari sudut pandang Si Cimut. Iya, mungkin itu yang Kak Berti lihat dariku. Mungkin ia melihat versi lain Cimut dalam diriku, yang dulu tidak sempat ia lihat tumbuh menjadi seorang remaja. Mungkin Kak Berti ingin menebus pengabaiannya dulu pada Si Cimut, sementara yang bisa ia temukan di dekatnya pada saat itu hanya aku dan diari tempatku terkadang mengadu. Mungkin dalam imajinasi Kak Berti, Cimut kini tengah bersekolah di suatu SMP dan juga suka menulis diari yang alay sepertiku, entah dimana.

Usai menuntaskan bacaanku, aku menangkupkan diari Kak Berti di depan dadaku, lalu meletakkan pergelangan tanganku melintang di depan kepala. Aku merenungkan sejenak arti semua ini sebelum muncul berbagai pertanyaan. Dimana Si Cimut sekarang? Bagaimana keadaan Kak Berti dan adik-adiknya? Lalu di atas semuanya, aku merasakan sebuah koneksi yang unik tengah terbentuk antara aku dan Kak Berti. Aku seketika paham. Semua perasaannya adalah kekalutan yang bermuara pada tulisan, seperti air yang mengalir dan menggenang di sebuah bendungan. Bendungan tersebut adalah diari ini. Pada masa-masa yang sulit, tentu lelah rasanya menampung semua kekalutan tersebut seorang diri, sehingga ia merasa perlu mengucurkan sedikit kekalutannya kepada orang lain, berbagi. Dan dia memilihku untuk menjadi teman berbaginya.

Aku gusar di tempat tidurku. Mungkin terlalu banyak air bendungan Kak Berti yang kuraup. Bagaimana jika itu aku, keluargaku yang pecah berantakan? Bagaimana jika aku yang terpisah dengan kakak perempuanku? Hal-hal tersebut tentu tak perlu terjadi hanya agar aku paham bagaimana rasanya. Aku memejamkan mata, membayangkan bahwa aku adalah Si Cimut.



Terima kasih Kak Berti.


Terima kasih sudah hadir dan memberi tahu bagaimana cara seorang kakak menyayangi adiknya


Terima kasih sudah ada dan berbagi


Terima kasih... 




----Fin----