Tidak ada makna khusus dari judul tulisan kali ini.
Aku sepenuhnya hendak bercerita tentang pengalamanku bertukar diari dengan
seorang mahasiswa PPL saat aku masih duduk di bangku SMP.
Kenapa pula aku tiba-tiba ingin membagikannya?
Sepulang dari ENJ, aku sudah tahu kehidupan macam
apa yang siap menyambutku (akan kuceritakan tentang ENJ ini di tulisan lainnya,
nanti). Tidak ada lagi rutinitas kuliah yang padat seperti tiga tahun pertamaku
di kampus. Aku akan punya banyak waktu untuk merenung. Merenungkan kapan akan
kuakhiri masa kuliah ini, misalnya.
Separuh isi angkatanku di kampus sudah
‘minggat’ dari bangku kuliah. Perjuangan skripsi tentu menjadi sesuatu yang
berbeda sama sekali. Berhadapan dengan dosen pembimbing skripsi kini tidak lagi
bersama teman seangkatan. Perbaikan dan revisi pun harus kulakukan seorang
diri. Bayangkan saja rasanya, orang-orang yang dulunya selalu bisa diganggu
setiap saat untuk mengerjakan berbagai hal bersama, kini tak bisa lagi diganggu
karena kesibukannya yang sudah berbeda. Kali ini semuanya harus benar-benar
diselesaikan sendirian.
S-E-N-D-I-R-I-A-N. Harga yang mungkin setimpal untuk
sebuah penundaan.
Setelah ini
harus menyelesaikan skripsi, itu sudah pasti. Tapi bagaimana cara
mengembalikan diri ini ke ‘jalur’ tersebut? Bagaimana caranya kembali
mengerjakan skripsi, setelah setahun ini aku ‘pergi’ begitu jauh dan
mengerjakan hal yang begitu berbeda? Akhirnya kuputuskan untuk membangkitkan
semangatku terlebih dahulu.
Lalu aku teringat akan sesuatu : suatu hajat yang
dulu pernah dipendam, dan terus dipendam hingga aku tak lagi ingat untuk
melaksanakannya. Aku masuk ke kamarku,
lalu mengambil seonggok karung yang tersandar malas di samping lemari baju. Aku
membawanya ke depan TV dan menumpahkan isinya, berusaha menemukan apa yang dulu
pernah ingin sekali kutuliskan menjadi sebuah cerita pendek. Karung tersebut
sendiri berisi buku-buku pelajaran SMA dan beberapa barang pribadiku yang tidak
kususun ulang setelah aku pindah rumah. Aku yakin sekali pernah melihatnya di
dalam karung itu : sebuah bundel mirip tugas makalah yang tidak dijilid. Tapi
sepertinya aku keliru. Mungkin aku tidak pernah memasukannya ke karung tersebut
sebelum aku pindah rumah.
Aku pun mengulangi pencarianku. Aku membuka semua
buku pelajaran SMA yang kutemukan, juga semua buku tulis yang ada di dalam
karung tersebut. Lalu, setumpuk kertas lusuh berhamburan saat aku membuka
sebuah buku tulis bersampul kertas manggis warna ungu. Aku memungutnya, membaca
tulisannya yang ditulis dengan pensil 2B. Meski bukan itu yang aku cari, namun
tulisan di kertas-kertas tersebut ternyata berkaitan erat dengan apa yang
kupikir bisa membangkitkan semangatku lagi.
Aku memasukkan kembali sisa-sisa barang lainnya ke
dalam karung, lalu berkonsentrasi membaca tulisan di lembaran-lembaran kertas
tadi. Aku langsung mengenalinya sebagai tulisanku sendiri. Astaga, jelek sekali.
Rasanya seperti membaca linimasa facebook-ku
sendiri di tahun 2011. Hampir tidak ada sisi yang tidak menggambarkan kealayan seorang
remaja puber, hingga aku hampir tiba di ujung tulisan tersebut.
“Hai guys,
namaku Berti”
Aku menarik napas panjang. Mengenang sejenak pemilik
nama tersebut dan mengapa dulu aku ingin menuliskannya menjadi sebuah cerita
pendek.
-
- - - - - - -
Palembang, September 2010
Kedatangan mahasiswa PPL ke sekolah kami sudah
seperti agenda tahunan yang tidak pernah terlewatkan. Sejak beberapa minggu
sebelumnya, puluhan mahasiswa PPL dari salah satu universitas di Palembang sudah
mulai tampak mondar-mandir di segenap penjuru SMPN 19 Palembang, lengkap dengan
jaket almamater mereka yang berwarna biru mentereng. Aku selalu berharap ada
kesan lebih baik yang mereka tinggalkan pada kami, karena tiap saat mereka
mampir ke kelas kami di luar jam mengajar mereka, hal yang mereka lakukan
hanyalah menyuruh kami agar tidak berisik. Padahal jika boleh menilai, job description itu sudah ditempati
dengan sempurna oleh Bu Jum, Waka Kesiswaan SMPN 19. Jika ada yang
coba-coba menggantikan perannya yang
agung, maka akan lebih terdengar seperti lelucon.
“Nata, ngapoi
kau tegak-tegak depan kelas? MASUK!”, pekiknya menggelegar. Bu Jum bahkan tidak perlu repot-repot menghampiri
langsung murid nakal bernama Nata. Ia hanya berkacak pinggang di depan ruang
guru, bicara dengan pelantang suara, sementara Nata yang apes tengah berdiri di
depan kelasnya yang terpisah jarak satu lapangan upacara dari tempat Bu Jum
berdiri. Yap. Bu Jum mampu mengenali Nata dari jarak sejauh itu.
“Chandra, kau
jugo ngapoi keluar kelas?”, tegur Jumainah yang Agung. Lalu seolah takut
akan murka langit yang mungkin menimpanya, Chandra yang cebol langsung menuruti
kata-kata dari sosok tak terlihat tersebut
Peristiwa diatas biasa ditemui saat guru SMPN 19
menggelar rapat di jam pelajaran. Ruang-ruang kelas tentu kosong tanpa ada yang
mengawasi.
Namun dalam suasana PPL Mahasiswa FKIP Universitas
xxx, tentu Bu Jum bisa lebih santai. Ia merasa hanya perlu mengutus beberapa orang
mahasiswa PPL untuk mengisi kekosongan jam pelajaran kami dengan kegiatan apapun.
Bisa saja perkenalan formal, perkenalan ‘tidak formal’, brainstroming, games dan
lain sejenisnya. Dan semua itu pun, tak selalu diindahkan oleh seisi kelas.
Maklum, anak SMP.
Dua orang mahasiswa PPL masuk ke ruang kelasku, kelas
IX.4 yang sedang kacau kala itu. Aku yang tadinya pura-pura tidur mau tak mau
kembali mengangkat kepalaku saat mereka memperkenalkan diri. Tak lama kemudian
demi memperoleh perhatian kami, mereka mengambil spidol dan memperkenalkan 10
jenis kecerdasan manusia kepada kami lewat papan tulis. Bahasan khas guru BK.
Kami lalu diajak mengidentifikasi kecerdasan apa saja yang ada pada diri kami
masing-masing.
Tidak semua penghuni kelas memperhatikan mereka.
Namun bagiku sendiri, ini bahasan yang menarik. Aku suka psikologi. Suatu saat
nanti aku ingin menjadi psikolog—atau setidaknya inilah isi pikiran seorang
remaja SMP yang labil kala itu. Pfft.
Aku mengeluarkan diariku dan mulai menyalin kata-kata di papan tulis.
What? Diari?
Ya, kalian tidak salah dengar baca.
Jika semua manusia generasi Y pernah lebay, maka aku
tentunya paling lebay saat masih di bangku SMP. Dulu aku pernah memiliki sebuah
diari—satu lagi anomali masa remajaku, tak salah lagi. Lembaran-lembaran aib
yang kusebut diari tersebut sebenarnya tak lebih dari buku catatan biasa berisi
tulisan-tulisan sembarangan tentang berbagai hal. Salah satu hal sembarangan yang
kutulis tersebut adalah materi yang dijelaskan mahasiswa PPL barusan. Hal yang
membuatku ragu menyebut buku catatan tersebut sebagai diari adalah karena buku catatan
tersebut tidak benar-benar pribadi sebagaimana diari seharusnya. Sebaliknya,
aku malah bangga sekali saat ada yang membacanya. Jika dihitung-hitung, mungkin
separuh isi kelas IX.4 sudah turut menikmati kealayan isinya. Duh. Jika kalian
juga generasi Y, kalian pasti paham bagaimana seorang anak SMP bisa begitu
alay, begitu ingin diperhatikan. Menulis buku harian yang dibaca orang banyak jaman then kurang lebih sama seperti menulis
status alay di sosial media jaman now,
versi primitif dari sebuah ‘pencitraan’. Bahkan pada saat itu aku tak ambil
pusing jika pengalaman-pengalaman pribadi yang kutulis di dalam diari tersebut
turut dibaca oleh semua orang. Termasuk soal kisah seseorang yang pernah
kusukai saat kelas VIII dulu.
Setelah gagal membuat seisi kelas lebih tenang
melalui materinya, kakak-kakak PPL tersebut akhirnya beralih ke mode persuasif.
“Adek-adek boleh ngobrol, tapi jangan ribut, ya!”.
As
if we could, LOL. “Boleh mengobrol tapi tidak boleh
ribut” sama saja seperti “boleh menghidupkan percon santak tapi jangan sampai suaranya terdengar tetangga”.
Tentu saja bujukan tersebut tidak ampuh. Di sisi lain, kami belum paham betapa terpojoknya posisi
mahasiswa FKIP ketika dikacangi siswa-siswanya sendiri. Akhirnya mereka menyerah
dan lebih memilih berinteraksi dengan
kami satu per satu. Ditambah dengan dua orang mahasiswa PPL lainnya yang baru
bergabung ke kelas IX.4, mereka pun berkeliling kelas dan menanyakan jenis
kecerdasan apa yang kami pikir ada pada diri kami.
Pada saat yang sama di mejaku, aku
tengah—lagi-lagi—menunjukkan tulisan di diariku kepada temanku. Kami pada saat
itu tengah mengobrolkan apa bedanya kecerdasan interpersonal dan intrapersonal,
sebelum akhirnya seorang kakak PPL perempuan menghampiri meja kami dan mengajak
kami berkenalan. Obrolan kami berujung pada sepetak benda yang tergeletak di
dekat sikutku.
“Apa itu dek?”, tanya kakak PPL seraya menunjuk
diariku. Mungkin sampulnya yang kutempeli gambar karakter komik Tsubasa Reservoir Chronicle membuat
perhatiannya tertaut.
“Ini... Diari, kak”, jawabku seperempat hati, ragu
dengan efek jawabanku sendiri.
“Tulisannyo
bagus, kak! Baco be kalo galak!”,
pungkas Harry yang duduk di sebelahku saat itu. Hampir saja aku berteriak
‘GILO’ ke arahnya, namun Si Kakak PPL keburu memintaku untuk menunjukkan diari
tersebut. Aku pun menyerahkannya tanpa perlawanan.
Si Kakak PPL membolak-balik buku tersebut di depan
wajahnya, sementara aku mengamatinya. Rambutnya yang pendek sebahu tampak
kasar, namun lurus. Alisnya tebal. Kulit wajahnya putih dipoles bedak tipis.
Aku tidak bisa menerka apa isi kepalanya saat membaca tulisanku.
Aneh, aku merasa malu. Menunjukkan tulisanku ke
orang yang lebih tua ternyata tidak sama dengan menunjukkannya ke teman-temanku. Kami pun hening beberapa saat, lalu Si Kakak PPL menurunkan buku diariku
dan memandangku langsung.
“Adek,” katanya. Aku masih mengamati. “bukunya boleh
kakak pinjam, kan?”
Apa pilihanku selain bilang iya? Tentu saja aku
meminjamkannya begitu saja, lalu bel pulang sekolah pun memutus pertemuan kami
hari itu. Teman-temanku cengar-cengir. Kakak PPL berjalan keluar kelas. Ia tahu
namaku Redho. Tapi aku—bodohnya—tidak tahu namanya. Bahkan tak sempat terpikir untujk menanyakannya.
-
- - - - -
Sebenarnya aku sudah berhenti menulis cerita
pribadiku di buku tersebut sejak akhir kelas VIII lalu. Tulisan yang bisa
dibaca semua orang pada saat itu hanyalah kejadian-kejadian lama. Aku sendiri
tak paham kenapa Si Kakak PPL mau meminjamnya. Hal lain yang tak kupahami? Aku
mau saja meminjamkan diari itu pada orang yang jangankan aku tahu namanya,
wajahnya saja aku langsung lupa.
Sebagai informasi, aku awalnya mendapatkan diari tersebut
dari kakak perempuanku. Dia membelikanku buku catatan berbentuk agenda karena
menurutnya aku akan butuh ruang mencatat yang bisa diperbarui untuk beberapa
tahun ke depan. Syukurlah dia tidak tahu jika pada akhirnya buku tersebut akan
berfungsi ekstra sebagai diari laknat penampung berbagai aib pemiliknya.
Beberapa hari setelah meminjamkan diariku, aku
kembali dihampiri seorang mahasiswa PPL perempuan ketika hendak keluar kelas di
jam istirahat. Ternyata ia adalah Si Kakak yang kemarin.
“Redho!”, panggilnya, “Bukunya bagus!”
I’m
sorry, what?
“Kakak sampe
gak yakin kalo itu tulisan kamu.
Rasanya bukan kayak tulisan anak SMP. Kakak suka”, ujarnya girang. Ia tersenyum
sangat lebar, menunjukkan gigi-giginya yang putih dan rapi.
Aku terdiam di tempatku berdiri. Kaku. Seolah-olah
aku baru mendapat tendangan tepat di selangkangan.
“Hah? Madaki,
Kak?”, akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Boleh kan kakak pinjem agak lama sedikit?”, Ia
bertanya. Aku mengangguk-angguk. “Kakak juga punya tulisan yang begini, tapi
kakak simpan di komputer. Nanti kakak kasih liat, barengan waktu kakak balikin
bukumu”.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk, tersenyum. Bingung
bagaimana harus menanggapi, sementara Ia terus memuji apa yang
kutulis—memangnya bagian mana dari diariku yang pantas dipuji? Untuk pertama
kalinya aku berani mempertanyakan hal itu.
Si Kakak lalu mengucapkan sampai jumpa dan kembali
ke ruang guru setelah bel masuk istirahat berbunyi, sementara aku masih dilanda
berbagai perasaan. Canggung, juga bingung, tapi senang. Begitu senang hingga
aku lupa lagi menanyakan namanya.
-
- - - - - - -
Di hari-hari berikutnya aku tak lagi memusingkan
soal nama Si Kakak. Ia sepertinya orang yang bisa dipercaya, disamping, memang
menyenangkan rasanya diperhatikan secara khusus oleh seorang perempuan (walau
beda usia kami bisa jadi sekitar tujuh atau delapan tahun). Kami sering
berpapasan di teras sekolah, di kantin, ruang guru, dan hampir setiap saat kami
bertemu selalu dia yang menyapaku duluan. Beberapa mahasiswa PPL lain bahkan
ikut mengenaliku, entahlah, tapi sepertinya Si Kakak menceritakan soal aku dan
buku diari itu kepada teman-teman mahasiswanya. Duh.
Tentang Si Kakak, teman-teman sekelasku pun ikut tahu.
Beberapa bahkan meniupkan angin-angin busuk di telingaku, bilang bahwa Si Kakak
menyukaiku. Anggapan seperti itu kalau bukan disebut gila, tentu sinting
namanya. Si Kakak itu seumuran dengan kakak perempuanku, hoi!
Meski demikian, aku dan mental remaja puberku pada saat itu
memang merasakan sesuatu yang ganjil dalam perhatian yang diberikan Si Kakak.
Mustahil rasanya jika Si Kakak bisa merasa bersahabat denganku hanya karena ia
suka dengan diariku. Adakah faktor lain yang membuatnya menjadi demikian? Aku
tidak punya ide.
-
- - - - - - -
Upacara bendera Senin pagi itu dirapel dengan
kegiatan pelepasan mahasiswa PPL. Memang tidak ada pesta yang tidak berakhir,
walau bagi beberapa siswa SMPN 19, pestanya justru baru dimulai. Sejak awal
memang tidak semua mahasiswa PPL mampu mendapatkan tempat di hati para siswa,
dan tidak semua siswa cukup peduli untuk memberi kesempatan. Pelepasan
mahasiswa PPL berarti terbebasnya kembali siswa-siswa SMP untuk kembali berbuat
liar di jam pelajaran kosong—jika tidak tertangkap Bu Jum.
Bagiku sendiri, pelepasan mahasiswa PPL berarti
perpisahan dengan Si Kakak. Aku sendiri tak terlalu memikirkannya, toh, kami
belum genap sebulan saling kenal, tak banyak pengalaman bersama yang membekas
bagiku. Tentang diariku, aku tahu Si Kakak akan mengembalikannya sebelum ia
benar-benar pergi dari SMPN 19. Aku hanya tak menduga tempat dan waktunya.
Di tengah jam pelajaran Bahasa Inggris yang diasuh
Bu Maimun (Almh.), sekonyong-konyong Si Kakak mengetuk pintu kelas dan meminta
izin masuk. Si Kakak lalu masuk ke ruang kelas IX.4, menghampiri tempat dudukku
dan mengembalikan diariku saat itu juga. Di depan semua orang, yes. Seisi kelas pun menyorakiku,
sementara Si Kakak dengan senyum canggung cepat-cepat keluar kelas digiring
puluhan pasang mata yang tak henti menatapnya. Namun kejutannya belum berhenti
sampai disitu.
Di jam
istirahat, seorang teman (aku lupa siapa) memberikanku sesuatu yang tampaknya
dititipkan Si Kakak kepadaku. Ternyata itu adalah tulisan Si Kakak yang dulu
pernah ia ceritakan. Wah, aku bahkan lupa sama sekali tentang hal itu.
Namun sebelum aku sempat membaca isinya, Harry
segera merampas benda tersebut dan membacanya mendahuluiku. Diiringi wajah sok
serius, ia membalik lembaran-lembaran kertas tersebut dengan cepat. “Apo ini? Puisi galo isinyo! Masih
bagusan tulisan kau dho, kalo cak
itu”, kritiknya seketika, lalu segera mengoper benda tersebut kepadaku. Dari
yang kulihat, aku bahkan ragu bahwa Harry benar-benar membaca isi tulisan Si
Kakak. Aku pun memasukkan tulisan berharga Si Kakak ke dalam ranselku. Biar aku
baca saat sendirian di rumah nanti.
-
- - - - - - -
Setelah mencuci kaki dan tangan, aku langsung meletakkan tasku
di samping tempat tidur, lalu membaringkan tubuh di atas kasur. Aku mengangkat
lembaran-lembaran kertas yang diberikan Si Kakak di depan wajahku untuk
mengamatinya dengan lebih seksama. Aku teringat perkataan Si Kakak tentang
‘tulisan di komputer’. Ternyata benda yang tengah kutatap tersebut adalah
diarinya yang selama ini ia cicil di komputer, dan baru ia cetak
semalam. Si Kakak bahkan hanya sempat menjepret kertas tersebut seadanya.
Sejujurnya, pada saat itu aku tidak terlalu tertarik
untuk membacanya. Namun dengan segala minat yang bisa kukumpulkan pada saat itu,
aku pun tergerak untuk membaca lembar pertama dengan perlahan. Lembar pertama
berisi sebuah puisi—yang menyerupai narasi. Subjektif, namun aku belum paham
untuk siapa puisi tersebut ditulis.
Lembar kedua pun sama.
Begitu pula dengan lembar ketiga dan keempat.
Aku mulai bosan, karena aku belum mengetahui apa
yang sebenarnya ingin disampaikan Si Kakak kepadaku. Mungkin perkataan Harry di
sekolah tadi ada benarnya. Namun aku mengubah posisi berbaring dan melanjutkan
membaca.
“Hai, namaku
Berti”
Aku berhenti sejenak di baris itu. Berusaha
memahami.
Ternyata nama Si Kakak adalah Berti! Aha!
“Tapi bukan
Berti yang dulu. Waktu telah mengubahku”.
Tulisan Kak Berti telah masuk ke bagian yang
menceritakan hidupnya secara langsung.
Kak Berti adalah seorang gadis desa biasa. Ia putri dari seorang ayah bernama Syahili, dan seorang ibu bernama Warsih
(nama alias). Selain dirinya sendiri, rumahnya diramaikan dengan ketiga adik
kecilnya yang, lucunya, ia representasikan dengan sebutan Comel, Cimol dan
Cimut. Bersama dengan kedua orangtuanya yang bekerja sebagai tenaga pengajar, keluarga kecil mereka hidup bahagia
dalam kesederhanaan dan kecukupan.
Bagian-bagian berikutnya dari diari Kak Berti banyak
berkisah tentang kesehariannya di masa lalu yang sering ia lalui bersama
adik-adiknya, terutama Cimut Si Adik Bungsu. Kak Berti bercerita tentang
dirinya yang bersepeda ontel di jalanan kampung sambil membonceng Cimut,
tentang ia dan Cimut yang berlari-larian dalam hujan berpayungkan daun pisang,
juga tentang ia dan Cimut yang makan buah pisang dari kebun paman mereka. Ia
tak terlalu banyak menyebut Cimol dan Comel.
Namun tidak semua bagian diari tersebut bercerita
tentang adik-adiknya. Di satu halaman, Kak Berti beralih menceritakan tentang
dirinya. Tentang Berti yang tumbuh remaja. Tentang Berti yang tidak lagi
bermain bersama adik-adiknya. Tentang Berti yang mulai mengenal ego, aku, gengsi dan pernak-pernik emosional masa remaja lainnya. Tentang Berti yang hanya peduli pada dirinya sendiri, mengabaikan Si
Cimut yang rindu main bersama kakaknya.
Lalu hidup mereka sekeluarga dihentak gelombang besar
bernama perceraian. Ayahnya, Syahili, pergi meninggalkan keluarga mereka. Kak
Berti menggambarkan bahwa ibunya mencintai Syahili dengan sepenuh hati dikali
dua, sementara Syahili tak sampai penuh hati mencintai Warsih. Syahili menikahi
ibunya, karena dengan itulah langkahnya untuk mendapatkan promosi gelar dapat
terbuka lebih lebar. Adapun kelahiran dari keempat buah hati, mungkin bagi
Syahili tak lebih dari bentuk kontribusi langsungnya bagi bonus demografi. Toh, setelah
mendapatkan gelar sarjananya, apa lagi yang ia inginkan dari seorang Warsih?
Mereka pun resmi membelah dua bahtera yang sudah lama diarungi bersama.
Aku terhenyak membaca bagian tersebut. Setelah semua
usaha penjelasan yang berputar-putar dengan puisi dan lain sebagainya, semua
fakta ini disampaikan dengan begitu gamblang. Aku seketika iba pada Kak Berti,
terlebih lagi pada Si Cimut yang kini terpisah dari Kak Berti. Dan saat aku
berusaha memposisikan diriku di tempat Kak Berti, yang mampu kurasakan hanyalah
menatap keluarga yang retak tersebut dari sudut pandang Si Cimut. Iya, mungkin
itu yang Kak Berti lihat dariku. Mungkin ia melihat versi lain Cimut dalam
diriku, yang dulu tidak sempat ia lihat tumbuh menjadi seorang remaja. Mungkin
Kak Berti ingin menebus pengabaiannya dulu pada Si Cimut, sementara yang bisa
ia temukan di dekatnya pada saat itu hanya aku dan diari tempatku terkadang
mengadu. Mungkin dalam imajinasi Kak Berti, Cimut kini tengah bersekolah di
suatu SMP dan juga suka menulis diari yang alay sepertiku, entah dimana.
Usai menuntaskan bacaanku, aku menangkupkan diari
Kak Berti di depan dadaku, lalu meletakkan pergelangan tanganku melintang di
depan kepala. Aku merenungkan sejenak arti semua ini sebelum muncul berbagai
pertanyaan. Dimana Si Cimut sekarang? Bagaimana keadaan Kak Berti dan
adik-adiknya? Lalu di atas semuanya, aku merasakan sebuah koneksi yang unik
tengah terbentuk antara aku dan Kak Berti. Aku seketika paham. Semua
perasaannya adalah kekalutan yang bermuara pada tulisan, seperti air yang mengalir dan
menggenang di sebuah bendungan. Bendungan tersebut adalah diari ini. Pada
masa-masa yang sulit, tentu lelah rasanya menampung semua kekalutan tersebut
seorang diri, sehingga ia merasa perlu mengucurkan sedikit kekalutannya kepada
orang lain, berbagi. Dan dia memilihku untuk menjadi teman berbaginya.
Aku gusar di tempat tidurku. Mungkin terlalu banyak
air bendungan Kak Berti yang kuraup. Bagaimana jika itu aku, keluargaku yang
pecah berantakan? Bagaimana jika aku yang terpisah dengan kakak perempuanku?
Hal-hal tersebut tentu tak perlu terjadi hanya agar aku paham bagaimana
rasanya. Aku memejamkan mata, membayangkan bahwa aku adalah Si Cimut.
Terima
kasih Kak Berti.
Terima
kasih sudah hadir dan memberi tahu bagaimana cara seorang kakak menyayangi adiknya
Terima kasih sudah ada dan berbagi
Terima kasih...
----Fin----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar