Senin, 27 November 2017

Mengintip ke Dalam Rumah Ong Boen Tjit, Saudagar Tionghoa Kaya dari Abad ke-18




     Perjalanan saya hari itu mengingatkan saya pada kisah Borno, si pengemudi perahu tradisional sepit dalam novel “Aku, Kau, dan Sepucuk Angpau Merah” gubahan Tere-Liye. Meski secara pribadi saya kurang puas dengan ending ceritanya yang ‘mengambang’, tapi harus saya akui ada beberapa elemen dalam prosa tersebut yang melekat dengan jelas dalam kepala saya hingga saat ini, bisa jadi karena kedekatannya dengan kehidupan saya—seorang warga Palembang—sehari-hari. Elemen-elemen tersebut hadir dalam bentuk deru suara mesin perahu, air sungai yang kecokelatan, gelombang air yang menyapu tubir dermaga, juga aroma hio yang menguar dari balik tembok papan rumah panggung kayu. Iyap! Kami tengah menyelami budaya hidup orang sungai. Bedanya, Borno hidup di pinggiran Sungai Kapuas, sementara Ong Boen Tjit dan anak-cucunya hidup di pinggiran Sungai Musi.

     Nah, Siapa pula Si Ong Boen Tjit ini?

     Saya pun turut memikirkan pertanyaan yang sama hingga saya temukan jawabannya hari itu.
Berkat informasi dari seorang kolega, hari Ahad lalu saya berangkat ke dermaga BKB (Benteng Kuto Besak) untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut, di tengah siang hari  yang, kalau meminjam istilah orang Palembang, panas bedengkang. Sesuai dengan yang dijanjikan pengurus GenPI (Generasi Pesona Indonesia) Sumatera Selatan selaku penyelenggara acara bertajuk ‘Pasar Baba Boen Tjit’ pada hari itu, maka sebuah perahu ketek pun datang menghampiri kami di dermaga untuk mengantarkan kami dengan gratis ke Rumah Ong Boen Tjit yang baru-baru ini sangat tersohor. Moda transportasi yang cuma-cuma tersebut tentu direspon dengan antusias oleh calon pengunjung Pasar Baba Boen Tjit.

Perjalanan menggunakan perahu ketek menuju Rumah Baba Boen Tjit di Kelurahan 3-4 Ilir. Kedatangan kami langsung disambut anak-anak penduduk sekitar
     Perjalanan kami pun berlangsung singkat. Rasanya baru lima menit saya duduk di perahu, dan tahu-tahu saja kami semua sudah bertambat di sisi lain Sungai Musi. Kediaman Ong Boen Tjit ternyata tak terlalu jauh jika ditempuh lewat jalur air.
    Turun dari perahu ketek, saya segera menuju alun-alun tempat diselenggarakannya Pasar Baba Boen Tjit. Sebuah tirai dari daun nipah kering tergelar melintang di pintu masuk alun-alun, melambai-lambai ditiup angin seolah menyambut kedatangan kami.

 
Alun-alun di depan rumah Ong Boen Tjit yang menjadi lokasi Pasar baba Boen Tjit 

     Beberapa stand penjual makanan tampak berjejer di satu sisi, menawarkan berbagai jajanan khas Palembang, mulai dari penganan ringan seperti kue kumbu, bluder, kemplang dan pempek panggang  hingga ke kudapan berat seperti lakso, celimpungan dan pempek kapal selam. Di sudut lain tampak sebuah panggung kecil, sementara dihadapannya telah disusun beberapa meja dan kursi berukuran kecil khusus untuk pengunjung yang akan mengikuti rangkaian kegiatan Pasar Baba Boen Tjit hingga petang hari nanti.
     Sebagai pembukaan, Pasar Baba Boen Tjit menyuguhkan pentas seni tari, drama dan musik untuk menghibur para pengunjung. Para penari dari Sanggar Seni Elok Emas dengan piawai membuka acara hari itu dengan menampilkan Tari Peranakan, ditutup dengan riuh tepuk tangan penonton. Usai tarian, pengunjung kembali dihibur dengan penampilan musik M-MKR Band dari UIN Raden Fatah Palembang, lalu diakhiri dengan pementasan drama “Legenda Antu Banyu” oleh Tim Drama Stisipol Candradimuka Palembang.

 
Penampilan Tari Peranakan oleh Sanggar Seni Elok Emas

     Namun bagi saya, semua rangkaian hiburan tersebut adalah sekedar appetizer penggelitik perut sebelum saya mengenyangkan diri dengan hidangan utamanya : the legendary house of Ong Boen Tjit itself!
     Sekilas dari seberang alun-alun, rumah Ong Boen Tjit nampak tak berbeda dari rumah papan milik warga Palembang pada umumnya. Suasana berbeda saya rasakan saat saya  melangkahkan kaki ke teras rumahnya. Sepasang plang kayu dengan ukiran emas huruf mandarin tampak menggantung vertikal di kedua sisi pintu masuk rumah. Puluhan  pengunjung Pasar Baba Boen Tjit nampak tak henti-hentinya keluar-masuk pintu. Segera setelah suasana di dalam rumah cukup lengang, barulah saya dapat masuk dan mengamati keantikan hunian Tionghoa yang berusia tiga abad tersebut dengan lebih seksama.

 
 Tampak dalam kediaman keluarga Ong Boen Tjit. Dari kiri ke kanan : (1) Pintu masuk ke ruang tengah; (2) altar peribadatan; (3) foto salah satu keturunan Ong Eng Tuan

     Pada ruang tamunya yang luas, berbagai foto hitam putih tampak tergantung dengan anggun di beberapa sisi. Salah satu foto tersebut bertuliskan ‘Ong Eng Tuan, Saudagar Pedagang Hasil Bumi’. Selidik punya selidik, nama Ong Boen Tjit yang menjadi cikal bakal tajuk acara Pasar Baba Boen Tjit hari itu ternyata adalah nama anak bungsu dari Ong Eng Tuan yang meneruskan usaha keluarganya. Ong Boen Tjit memiliki seorang kakak perempuan bernama Ong Kui Nio dan  seorang kakak laki-laki bernama Ong Boen Kim, sementara keturunannya yang menghuni dan merawat rumah besar tersebut saat ini merupakan keturunan generasi ke-8 Ong Boen Tjit.

Tiga bersaudara keturunan Ong Eng Tuan. Dari kiri ke kanan :(1) Ong Kui Nio; (2) Ong Boen Kim; (3) Ong Boen Tjit

     Sebagaimana rumah limas—model rumah masyarakat Palembang dahulu kala—arsitektur Rumah Ong Boen Tjit sendiri tak terlepas dari pengaruh budaya Melayu Palembang. Bagian dalam rumah Ong Boen Tjit nampak terbagi dalam beberapa sekat ruangan yang memiliki tingkatan (kijing), menyerupai sistem bengkalis dalam rumah limas. Di masa lampau, masyarakat Palembang terkenal menjunjung tinggi kehormatan dan derajat sosial dalam bermasyarakat, sehingga ruangan tempat berkumpul dalam sebuah rumah pun ditentukan berdasarkan derajat dan kedudukan seorang tamu.
     Meski fungsi sekat ruangan pada rumah Ong Boen Tjit mungkin tidak sama dengan rumah limas, namun terdapat beberapa kemiripan di antara keduanya. Contohnya seperti pada bagian teras yang dalam budaya Palembang disebut Pagar Tenggalung, berfungsi sebagai beranda dan tempat bercengkerama dengan masyarakat sekitar yang berlalu lalang. Rumah Ong Boen Tjit pun memiliki teras serupa yang dikelilingi pagar. Bagian lain yang serupa adalah ruang tamu rumah Ong Boen Tjit yang pada rumah limas biasa disebut jogan, tempat berkumpulnya tamu laki-laki—atau sebagian orang juga percaya sebagai tempat berkumpulnya tamu dari golongan Kiagus. Perbedaan yang mencolok baru tampak saat memasuki tingkat ruangan ketiga, tempat tergelarnya sebuah altar peribadatan keluarga Ong Boen Tjit. Selain di ruangan tengah, sebuah altar lain juga terdapat di ruangan terakhir yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Dupa yang sebelumnya dinyalakan menyebarkan aroma harum ke segala penjuru ruangan.

 
Altar peribadatan keluarga Baba Ong Boen Tjit, lengkap dengan sesajian
buah-buahan dan dupa yang menyala

     Tiga abad yang lalu, tepatnya pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, tata letak pemukiman Kota Palembang diatur sedemikian rupa berdasarkan etnis, status sosial dan pekerjaan masyarakat Palembang pada masa itu. Etnis tionghoa yang pada masa tersebut masih merupakan salah satu etnis pendatang di Palembang mendapatkan tempat bermukim di pesisir Sungai Musi, jauh di luar Keraton Kuto Gawang yang merupakan pusat pemerintahan Palembang. Hal tersebut menyebabkan banyaknya orang tionghoa yang bermukim di atas rakit. Kenyataan bahwa rumah keluarga Ong Boen Tjit telah berdiri sejak saat itu sendiri merupakan sebuah keajaiban! Kemampuan keluarga saudagar tersebut untuk mendirikan rumah panggung permanen yang besar tentu mengindikasikan bahwa kekayaan keluarganya tidak main-main. Bahkan konon, kekayaan Ong Boen Tjit begitu melimpah sehingga cukup untuk menghidupi keturunannya sampai generasi ketujuh.

     Setelah puas berkeliling dan mengamati isi rumah Ong Boen Tjit dari dekat, saya pun keluar rumah dan berkeliling alun-alun. Ada hal lain yang berhasil menarik perhatian saya, yaitu peragaan langsung pembuatan perabot dari anyaman daun nipah oleh ibu-ibu setempat. Sama seperti rumah Ong Boen Tjit, kerajinan dari daun nipah tersebut ternyata memiliki nilai historis tersendiri.
    “Lah 20 tahun ngegaweke ini. Ilmunyo kami dapet turun-temurun”, ujar Mak Ilun, salah seorang ibu-ibu pengrajin yang bermukim di wilayah 4 Ulu. “Sampe sekarang kami ngisi (menyetor) barang ke Pasar 16 (Ilir), Pasar Cinde, Pasar Pal 5”, tambahnya seraya terus menganyam. Selain Mak Ilun, masih banyak lagi ibu-ibu di wilayah 4 Ulu yang bekerja sampingan sebagai pengrajin anyaman daun nipah.

Dari kiri ke kanan : (1) Mak Ilun; (2) Ibu-ibu pengrajin daun nipah dengan hasil pekerjaannya; (3) tampah yang siap dipasarkan

     Hasil produksi yang berupa bakul, piring kayu, tampah (nampan kayu) dan keranjang buah yang cantik dijual dengan harga berkisar dari 10.000 hingga 15.000 rupiah tergantung jenisnya. Bahan baku daun nipah sendiri dibeli dari daerah Jalur, Banyuasin. Inisiatif untuk menganyam daun nipah menjadi bentuk kerajinan bangkit puluhan tahun lalu saat banyaknya pelepah pohon nipah yang dibuang. “Dulu uong pake (daun nipah) untuk buat lintingan rokok. Pas lah idak lagi, banyak daun nipah tebuang. Daripada dibuang lemak ibu-ibu disini buat kerajinan, biso dapet duit”, kisah Mak Ilun. Bukan sekedar terampil, ibu-ibu setempat mampu menyelesaikan anyaman daun nipah dengan sangat cepat. Tak sampai satu jam, sebuah keranjang buah tuntas dikerjakan Mak Ilun.
     Tak selesai sampai disitu, perhatian saya para pengunjung kembali tersedot saat Chef Kukuh Jayadi melakukan peragaan memasak pindang. Dengan didampingi asistennya dan seorang artis cantik, Dinda Kirana, Chef Kukuh sukses menyajikan empat macam pindang menjelang sore hari itu : pindang patin, pindang udang, pindang telur gabus dan pindang baung. “Masak udang jangan kelamaan. Kalau terlalu matang nanti dia jadi terlalu kenyal, kayak karet”, tipsnya seraya mengaduk isi panci. Usai peragaan memasak, pindang-pindang tersebut dibagikan pada hadirin acara dan warga sekitar. Soal rasa? Jangan ditanya. Cukup untuk memanjakan lidah--walau porsinya kecil.

 
 Chef Kukuh tengah menuangkan udang ke nampan untuk dibagikan ke pengunjung. Soal rasa masakannya? Hmm, sangat kurang (banyak)

     Sumarni Bayu Anita, Ketua Pelaksana Pasar Baba Boen Tjit turut menyampaikan beberapa harapannya selagi rangkaian acara berlangsung. “Harapan kami ke depannya Rumah Baba Boen Tjit ini dapat menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat Kota Palembang”, ungkapnya. Sementara ketika ditanya kendala apa yang paling besar dalam penyelenggaraan Pasar Baba Boen Tjit, Mbak Sumarni menyatakan bahwa kesulitannya terdapat pada jarak. “Karena peserta harus menyeberangi sungai untuk tiba di lokasi acara”, ujarnya. Rumah Baba Boen Tjit sendiri beralamat lengkap di Lorong Saudagar Yucing No. 55 RT. 050 RW. 002 Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1. Alamat tersebut memungkinkan untuk  dicapai dengan perjalanan darat, namun letaknya yang cukup jauh dari jalan raya dan tidak dapat dicapai kendaraan roda empat membuat Rumah Ong Boen Tjit jarang dikunjungi wisatawan. “Semoga untuk seterusnya program ini dapat menjadi agenda tahunan GenPi Palembang”, ujar Mbak Marlina.
     Sebagai seorang turis lokal, untuk saat ini yang bisa saya lakukan hanyalah meng-amin-kan harapan rekan-rekan GenPI dalam menjadikan Rumah Ong Boen Tjit destinasi wisata baru, serta membantu menyebarkan tentang nilai jual Rumah Ong Boen Tjit melalui media sosial saya.
     Sejatinya, masih banyak sekali hal yang perlu dibenahi bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar agar Rumah Ong Boen Tjit dapat menjadi tujuan wisata pilihan warga Palembang. Beberapa aspek yang perlu dibenahi tersebut berkaitan dengan ketersediaan transportasi air dan dermaga perahu khusus untuk turis, kebersihan lokasi wisata dan ketersediaan pemandu wisata yang dapat menjabarkan informasi sejarah Rumah Ong Boen Tjit secara valid. Selain dukungan teknis, pemerintah juga perlu menyertai penyempurnaan objek wisata baru tersebut dengan strategi-strategi yang ampuh untuk menarik minat berkunjung warga lokal.

 
 Perjalanan pulang  menyusuri Sungai Musi di penghujung hari

Daftar Istilah :

- Bengkalis : Sistem pembagian bagian-bagian dalam rumah limas, rumah tradisional masyarakat Palembang.

- Bluder : Sejenis roti dengan tekstur lembut dan sedikit berminyak. Awalnya merupakan penganan Eropa yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia, seperti kue lekker dan kue kaastangels.

- Hio : Dupa; salah satu media peribadatan penganut Konghucu yang biasanya dibakar dan dipajang di meja altar. Memiliki aroma harum yang khas.

- Kemplang : Sejenis kerupuk ikan. Pada dasarnya berbahan dasar sama dengan adonan pempek, hanya saja digepengkan dan dipanggang di atas bara api sehingga ukurannya mengembang.

- Kijing : Tingkatan-tingkatan ruangan dalam rumah limas.

- Kumbu : Penganan khas Palembang berbahan dasar santan dan kacang merah atau kacang hijau

- Laksan, Lakso, Celimpungan : Berbagai jenis pempek kuah yang ada di Palembang. Perbedaannya terdapat pada bentuk adonan dan warna serta rasa kuahnya masing-masing.

- Panas Bedengkang : Istilah yang sering digunakan orang Palembang untuk menggambarkan suasana panas terik matahari di siang hari.

- Perahu Ketek : Perahu kayu tradisional masyarakat Palembang. Umumnya kini perahu ketek ditenagai mesin diesel kecil sebagai pemutar turbinnya.

- Perahu Sepit : Sebutan orang Kalimantan, khususnya yang bermukim di pesisir Sungai Kapuas untuk perahu sejenis ketek

- Tampah : Nampan tradisional dari anyaman kayu atau pelepah nipah


Referensi :

terpinggirkan_588230b3559373640bbb3e8d

http://www.gosumatra.com/rumah-limas-sumatera-selatan/

https://halallifestyle.id/tourism/ramaikan-atraksi-pinggir-sungai-musi-genpi-sumsel-gelar-pasar-baba-boentjit

https://www.kompasiana.com/sumarnibayuanita/kampung-kapitan-sejarah-palembang-yang-terpinggirkan_588230b3559373640bbb3e8d

Semua gambar yang dimuat di tulisan ini merupakan hasil dokumentasi pribadi penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar