Minggu, 22 Januari 2017

CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 2.0 (Bagian 2)


Meski hujan sudah reda saban hari, tapi awan-awan kelabu masih bergelantungan di atas kami. Aku bangkit dari leyeh-leyeh di masjid, berjalan keluar. Genta dan kawan-kawan sudah pergi entah kemana. Terakhir kulihat mereka membawa handuk di pundak, tapi tak kutemukan seorang pun mengantre di depan pintu toilet masjid, selain serombongan peserta perempuan yang hendak menumpang mandi. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke gedung sekolah sesegera mungkin, walau sendirian.

Lihatlah hasil karya langit beberapa menit lalu. Jalanan tanah yang tadinya padat dipijak kini berubah lunak, licin, lengket. Sudah tidak jelas lagi bentuk dan warna sepatu ini setelah melaluinya.

Usai separuh jalan, aku sudah berada tepat di belakang dua orang gadis yang juga sedang berjalan menuju gedung sekolah. Mereka menoleh ke belakang tak seberapa lama, seolah kompak memutuskan untuk menatapku, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tentu ini bukan soal aku yang belum mandi—memang sudah kuniatkan untuk tidak mandi di Voluntrip hari pertama. Salah seorang dari mereka berperawakan kurus, berkulit gelap, berhidung mancung dan berambut keriting, sementara yang lainnya berkulit putih, berkacamata dan mengenakan jilbab warna abu-abu. Entah mengapa, aku merasa familiar dengan kedua wajah ini, terutama yang berkacamata—bisa jadi itu karena aku punya sentimen khusus pada perempuan berkacamata, entahlah. Seolah kompak, mereka lalu urung berkata-kata, lebih memilih kembali menyusuri jalan setapak menuju sekolah.


- - - - - - - -


Sesuai yang kubayangkan semalam, lapangan SDN 03 Sumber Marga Telang tersebut menjelma sempurna menjadi arena karapan sapi. Beberapa panitia dan peserta yang hendak melewatinya bahkan sudah sadar bahwa tak ada bedanya beralas kaki atau tidak. Maka sepanjang hari itu, kakiku kubiarkan bermain riang bersama licak tanah, membayar denda masa kecilku yang belum lunas. 

 
Aku dan Tanah Becek


Lalu hujan turun lagi. Oh, not that i care. Tapi panitia panik bukan kepalang. Dapur darurat yang mereka dirikan di belakang gedung sekolah tadi subuh kini roboh ditiup angin. Alamat sarapan kami tertunda sampai siang nanti. Sementara sebagian besar peserta terjebak hujan di masjid, kami yang berada di sekolah bergotong-royong memindahkan peralatan masak ke gedung kelas 4 dan 5 yang (disangka) tidak dipakai untuk pembagian rapor hari itu. Selang beberapa jam, satu-dua orang peserta mulai mengeluh lapar. Aku ongkang-ongkang kaki di teras kelas. Mereka tak tahu, perutku sudah kuselamatkan dengan sebungkus S*** Roti pagi tadi.

Perhatianku berikutnya tertumbuk pada gadis berkacamata dan rekannya yang berambut ikal yang kutemui tadi pagi. Secara mengejutkan, mereka menghampiriku.

“Kak Redho, kan?”

“Iyo dek”, jawabku, lalu tertawa garing. Ternyata memang kami pernah bertemu -_- malah pernah berkenalan dengan yang berkacamata. “Kalian nih anak Effects yo?”, tanyaku untuk memastikan.

“Dinda kak yang anak Effects, aku bukan. Hehehe”, ujar si rambut ikal—yang tak lama setelahnya kuketahui bernama Fatma, pengurus BEM FE Unsri.

“Iyo kak Effects kito nih, madaki lupo”, jawab Dinda yang berkacamata. Aku tertawa semakin garing. Duh -_- sepertinya aku kebanyakan makan mecin.

Lalu kami membuka obrolan tentang Bo. Effects, BEM FE, Voluntrip, juga tentang darimana Fatma mengenalku.

“Iyolah, kakak kan Ketum Kinerja, taulah”, ujar Fatma. Lalu aku tersanjung. Baru kali ini kudengar Kinerja sepopuler itu di antara mahasiswa FE.

Melegakan. Ternyata bukan hanya aku dan Genta yang berasal dari FE Unsri di sini. Ditambah mereka berdua, masih ada satu orang lagi pengurus BEM bernama Lulu yang mengikuti Voluntrip.

Usai semua barang diangkut ke dapur baru kami, Kak Lala dari DMC (Disaster Management Centre) Dompet Dhuafa Sumsel segera melanjutkan memasak dengan hati yang kalut. Bayu megap-megap. Bagaimana dengan nasib agenda kami hari ini?

“Pernah dengar dari penduduk lokal, kalo hujannya deras, biasanya siswa tidak masuk sekolah”, katanya lemah. Melihat kondisi jalan yang becek dan tidak adanya tempat berteduh di sepanjang jalan ke sekolah, wajar jika mereka enggan bersekolah dalam cuaca seperti ini. Aku ikut merasa bersalah demi mendengar hal tersebut, walau bukan aku yang menurunkan hujan. Kami akhirnya hanya pasrah dan menunggu.

Hujan baru berubah jadi gerimis menjelang pukul delapan. Beberapa peserta yang tadi terjebak hujan di masjid kini sedikit demi sedikit, berduyun-duyun kembali ke gedung sekolah. Diantara barisan mereka, adalah salah satu sosok berseragam safari pramuka dengan kopiah tersongkok di kepala. 


Pak Guru dan Jarnawi, Ketupel Voluntrip 2.0

Dialah salah seorang pahlawan di SD ini, pak guru tercinta SDN 03 Sumber Marga Telang.
Bayu dan panitia lainnya menyalami tangan pak guru, segera setelah sepatu trackers-nya menginjak teras keramik gedung sekolah. Sejenak, secara konyol terlintas di pikiranku tentang SD Muhammadiyah di cerita Laskar Pelangi, dan sosok ini tak lain adalah Pak Harfan, kepala sekolah di SD tersebut. Namun ternyata bukan. Lega dan mengejutkan mendengar darinya, bahwa ia bukan kepala sekolah dan juga bukan satu-satunya guru di SDN 03 SMT. Sang Kepala Sekolah legendaris ternyata berdomisil di Palembang, dan kini pasti tengah mengendarai motor di tengah hujan demi tiba di lokasi pengabdiannya ini. Masya Allah.

Sementara itu di kejauhan, sudah nampak sosok-sosok mungil berseragam pramuka, berdiri ragu-ragu nun jauh di pinggir jalan beraspal. Merekalah putra-putri tunas harapan Kabupaten Banyuasin : siswa-siswi SDN 03 Sumber Marga Telang! Mereka tampak canggung, demi melihat sekumpulan laki-laki dan perempuan asing berdiri di teras sekolah favorit mereka. Bayu melambaikan tangan dan berteriak-teriak girang. “Dak apo-apo dek, kesinilah!”. Namun bisa kulihat mereka justru tampak makin ragu, menempelkan tubuh ke kaki orangtua mereka. Akhirnya peserta dan panitia pun beramai-ramai turun ke jalan setapak yang becek, menjemput mereka satu demi satu. Beberapa anak yang masih sangat kecil bahkan digendong ke sekolah oleh panitia dan peserta, sementara mereka yang cukup besar memilih berjalan sendiri—dengan bertelanjang kaki, sembari menyandang tas punggung dan sepasang sepatu yang diikat.


  
Siswa-siswi SDN 03 Sumber Muara Telang dalam perjalanan ke sekolah

Suasana suram beberapa waktu lalu sirna sudah, berganti haru. Lalu, haru berganti menjadi sibuk. Setelah anak-anak ini dikumpulkan, tugas kami yang sebenarnya baru dimulai. Beberapa peserta yang dulu mendaftar sebagai inspirator, kini mulai sibuk dengan alat peraga mereka masing-masing. Beberapa bahkan tampak kelabakan. Salah satu yang tampak kelabakan adalah Genta.

“Aku kemarin niatannyo nak ceramah, dho, tapi panitianyo bilang bukan cak itu kelas inspirasi. Harusnyo aku bantu buka pikiran anak-anak ini buat bercita-cita lebih tinggi, sekolah lebih jauh”, curhat Genta, yang sekarang menyusun ulang rencananya. Ia kebagian menjadi inspirator siswa kelas tiga, yang isinya tak lebih dari selusin murid. Aku hanya mengangguk-angguk sok paham. Untungnya aku kemarin mendaftar ke bagian ‘Bersih-Bersih Masjid’, yang aktivitasnya baru dimulai besok.

Sembari menunggu siswa-siswi yang masih terus berdatangan, kepala sekolah yang belum tiba, serta inspirator yang masih menyiapkan diri, semua siswa yang sudah datang akhirnya dikumpulkan di satu lokal kelas yang paling bagus untuk bermain games. Selaku inisiator adalah Kak Hardi, alumni Bina Darma angkatan 2010 dengan kemampuan komunikasinya yang—menurutku—paten sekali, terutama dengan anak-anak. Kemampuan bersosialisasi macam itu sering kali sukses membuatku iri. Tapi tak apa. Aku yang menganggur pun lalu melakukan yang disebut orang Palembang ‘nyari kepacakan’. Meminjam ponsel Genta, hilir-mudik kesana-sini, mengambil beberapa foto kegiatan. Begini-begini, aku tetap wartawan kampus. I’m gonna make a good writing from this event. Yiihaa.



Selang beberapa lama, tibalah kepala sekolah yang dinantikan. Dengan kumis melintang, kopiah hitam, seragam pramuka lengkap dan sepatu boots, macamnya bapak ini sudah niat sekali untuk mengajar di pedalaman Banyuasin. Kami menyalami tangannya, sembari ia mengellingi lokal kelas SD-nya yang salah satunya kini kami sulap sedemikian rupa menjadi dapur umum. Ia manggut-manggut, mengucapkan terima kasih pada kami yang sudah repot-repot melakukan semua ini.

“Kami turut senang jika ada orang-orang intelek seperti kalian yang sudi datang ke sekolah kami”, begitulah kurang lebih pesan kepala sekolah dengan khidmat. Kalimat itu menggema, memantul-mantul di dalam kepala Bayu. Alhamdulillah ia tahan untuk tidak menangis.

Usai cengkerama yang tidak seberapa lama, Pak Kepala Sekolah pun mulai mengambil alih kemudinya. Ia memberikan instruksi kepada panitia dan peserta inspirator terkait jumlah dan letak masing-masing lokal kelas. It’s necessary to tell, gedung SD tersebut tidak berada dalam satu kesatuan. Beberapa lokal kelas terpisah dari bangunan utama, tempat kami menginap semalam sebelumnya. Hanya bangunan utama sekolah tersebut yang memiliki jendela, pintu, lantai yang dikeramik dan tembok yang dicat. Sisa bangunan kelas yang lain beratapkan seng, bertembok batako, berlantai tanah dan tidak dilengkapi pintu maupun jendela. Aku terperangah saat menyaksikan langsung keadaan kelas tersebut. Di sebelah papan tulis, terdapat sebuah pintu—lubang seukuran pintu, tepatnya—yang mengarah langsung ke rawa-rawa di belakang sekolah. Bagaimana siswa-siswi SD disini dapat tahan belajar dalam kondisi seperti itu? Coba tanyakan pada keping papan dan bongkah batako di tembok kelas itu, merekalah saksi-saksinya.

Keadaan salah satu ruang kelas SDN 03 SMT

Setelah games Kak Hardi usai, semua siswa-siswi SDN 03 SMT dipecah menjadi beberapa kelompok sesuai kelas mereka masing-masing. Mereka lalu diarahkan ke kelas-kelas yang kosong untuk menerima penyampaian motivasi dari kakak-kakak inspirator. Aku sendiri masih pura-pura sibuk dengan kamera ponsel Genta, mengambil gambar kesana-kemari. Beberapa inspirator tampak  benar-benar ‘niat’ dalam menghidupkan suasana kelasnya. Di sebelah ruang kelas tiga yang diisi oleh Genta, sekelompok ukhti bercerita tentang ‘macam-macam profesi’ dengan menggunakan boneka tangan dan panggung kecil dari kotak kardus. Anak-anak SD yang polos itu pun menyaksikan dengan takzim.

Kelas Inspirasi baru usai menjelang pukul sebelas siang, ditutup dengan penempelan kertas bertuliskan impian anak-anak tersebut di backdrop Voluntrip 2.0.


Semoga semua impian baik kalian jadi kenyataan ya, dek

- - - - - - -


Menjelang siang, barulah dilakukan penyampaian kata sambutan formal oleh Jarnawi (Ketua Pelaksana Voluntrip 2.0), Kak Reza (Ketum DDV Sumsel) dan Kepala Sekolah SDN 03 SMT. Setelahnya, semua juara dari tiap kelas di SDN 03 SMT pun dipanggil satu per satu ke depan tiang bendera dengan menggunakan pengeras suara TOA, untuk menerima bingkisan hadiah dari panitia dan peserta Voluntrip 0.2.

 

Kami berdiri melingkari semua murid dan wali murid yang turut hadir di lapangan tanah tersebut. Meski sederhana, namun ritual pembagian hadiah juara kelas tersebut tentunya berlangsung menyenangkan. Semua orang senang. Bahkan mamang-mamang penjual eskrim dan roti yang kini ikut hadir mendengarkan sambutan kepala sekolah.

Di semua generasi, pembagian rapor dan hadiah juara kelas adalah hari yang paling ditunggu. Semacam seremoni kecil untuk melepas anak-anak, sebelum mereka semua dengan liar menghabiskan waktu libur dua minggu tanpa perlu menatap buku pelajaran, hanya bermain saja. Eh, itu sih pikiranku saat seumuran mereka. Tapi sepertinya tetap relevan hingga masa kini.

Usai semua kata sambutan, siswa-siswi SDN 03 SMT masih ‘belum diizinkan’ pulang. Mereka harus mengikuti berbagai lomba anak-anak yang sudah kami siapkan, seperti lomba memasukkan paku ke dalam botol, balap kelereng, estafet air dan lain sebagainya. Dinda sendiri menjadi penanggung jawab lomba estafer air, yang lapaknya ternyata kurang diminati dibandingkan perlombaan yang lain. “Wuu, dak laku”, guyonku. Lalu Dinda menggerutu, tapi belum menyerah dengan usahanya menarik perhatian adik-adik.


Dinda dan Estafet Air yang akhirnya laku keras '0')/

Agenda Voluntrip di hari pertama, diluar dugaan, ternyata berjalan dengan sangat lancar. Tak ada keluhan dari peserta, selain tentang letak kakus yang jauh dan perut yang keroncongan. Selain itu, semua tugas kami lakukan dengan senang hati. Termasuk Kak Lala, yang sedari pagi tadi tak lepas dari dapur, dibantu beberapa rekan Voluntrip. Sarapan kami akhirnya siap menjelang pukul 12 siang. Beberapa orang yang merasa sarapannya sangat terlambat urung menggerutu, karena mulut mereka sudah lebih dulu dipenuhi bihun tumis. Kami mengantre makan dan berbagi tempat duduk yang sangat terbatas, persis penghuni Lembaga Permasyarakatan. But that was all fun. Buktinya, kami masih bisa makan sambil tertawa. Sejatinya, inilah alasan utama acara ini dinamai Voluntrip, menurutku.

Aku mengingat-ingat kembali rundown acara Voluntrip yang dibagikan panitia pada saat technical meeting lalu. Seharusnya kami berangkat meninggalkan sekolah ini pukul dua siang, lalu berpindah ke lokasi kedua, yaitu bagian lain Desa Karang Anyar di seberang Sungai Musi. Aku melongo menatap arloji. Sudah lewat pukul dua saat kami selesai membersihkan sekolah dan lapangannya. Panitia akhirnya menggenapkan jadwal keberangkatan menjadi pukul empat sore, ba’da ashar.

Aku sudah menduga kami akan menuju ke lokasi berikutnya dengan perahu. Tapi darimana kami akan menaikinya? Dermaga yang paling dekat dari sekolah ini empat kilometer jauhnya, itu yang kudengar. Aku sempat mengira kami akan diangkut beberapa kali dengan mobil panitia, tapi ada kabar buruk.

Mobil sikoknyo mogok, dak biso distarter gara-gara lampunyo dak dimatii dari semalem. Jadi sekarang tinggal ado mobil pick-up buat ngangkut barang kito”, demikianlah info yang kami dapat dari Jarnawi, Ketua Pelaksana Voluntrip 2.0. Kabar buruk lainnya, Jarnawi tak akan bisa ikut mengiringi kami ke desa di seberang karena besoknya sudah harus berangkat ke Yogyakarta dalam rangka PKL jurusannya.

Meski demikian, sebagian peserta nampaknya tidak terlalu memikirkan bagaimana kelanjutan cerita kami hari itu. Kami hanya beramai-ramai menggotong tas dan koper untuk diletakkan di tengah lapangan, sebelum menaikannya ke atas bak mobil. Setelah semua barang diangkut dan mobil berangkat ke dermaga—yang katanya—terdekat, kami lalu berjalan kaki meninggalkan sekolah. Kali ini, aku menggabungkan diri dengan Genta, Fatma, Dinda dan Lulu.

“Bagaimana dek Voluntrip ini? Nambah item dak kulit kamu?“, kataku memecah hening, mengingat sejak siang tadi cuaca mendung sudah berganti menjadi terik.

“Asli kak”, jawab Fatma dan Dinda hampir bersamaan, lalu tertawa. “Nak diputihi lagi lamo pasti”.
Setelah semuanya sampai di jalan beraspal, Kak Hardi yang ikut berjalan paling belakang mulai memberi aba-aba.

“Pelabuhan yang kito tuju lumayan jauh, sekitar tigo kilometer dari sini. Soal transportasi lagi diijoke samo panitia. Tapi daripada cuma nunggu, mending kito bejalan kaki bae ke lokasinyo, biar menghemat waktu. Cakmano galo-galo?”

Dari segenap rombongan yang sebagian besar diisi perempuan, tidak ada yang mengeluh atau hendak protes. Mungkin mereka malah menganggap ini bagian lain dari Voluntrip yang harus mereka lewati. Bagian yang menyenangkan, malah. Aku pun oke dengan rencana itu.

Maka sore itu, kami melepas sisa tenaga yang kami punya dalam perjalanan baru yang panjang. Beberapa dari kami menyempatkan diri menoleh ke bangunan SDN 03 Sumber Marga Telang untuk terakhir kalinya hari itu, dalam tema siraman cahaya matahari sore yang dramatis. Beberapa bahkan melambai dan berpamitan konyol, seolah bangunan itu adalah makhluk hidup. Namun mengingat bahwa gedung itu tak lagi akan dikunjungi manusia dalam dua minggu ke depan, perasaan kesepian yang hampa tiba-tiba menyelimutiku.

Sampai jumpa SDN 03 Sumber Marga Telang. Semoga kali berikutnya kami kesini, keadaanmu jauh lebih baik, agar lebih banyak lagi siswa yang dapat belajar dibawah naungan atapmu.


(Bersambung . . . . )



By the way, jarak sebenarnya dari sekolah ke dermaga adalah 10 kilometer. Itu yang tidak kami tahu.

Kamis, 05 Januari 2017

CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 2.0 (Bagian 1)


Aku lahir di kota, besar di kota.

Aku tidak punya dusun untuk dikunjungi ketika lebaran, dan tidak pernah sebelumnya terpikir untuk punya satu.

Apa pula pentingnya punya  kampung halaman, saat kau sendiri lahir dan besar di kota?
Bukankah perkotaan merupakan sentral gravitasi peradaban? Maka dengan lahir dan tinggal disini, tak banyak yang perlu aku cari lagi. Mengadu nasib hanya tinggal sebatas kemauan dan pilihan.

Bruk. Aku baru benar-benar insaf dari pemikiran seperti itu setelah duduk di bangku kuliah.

Kawan, ketahuilah, selain Palembang ada tiga kotamadya di Sumatera Selatan, ditambah 13 kabupaten.
Semuanya perlu dibangun dan disejahterakan.
Semuanya tengah menunggu untuk dibangun dan disejahterakan.

Lalu bagian mananya yang dramatis?
Ketahuilah, sebagian sarjana dan pemimpin berdarah Sumsel justru lahir dan didewasakan oleh alam dan kearifan lokal wilayah perkampungan, jauh dari riuh-gemuruh ibukota.
Semangat dan tekad untuk belajarlah yang mendorong mereka untuk terus bermetamorfosis.

Umpamakanlah seorang dusun menjalani kronologi hidup seperti ini :
SD di dusun
SMP di ibukota kecamatan
SMA di Ibukota Provinsi
Sarjana di luar pulau
Pascasarjana di luar negeri
Mengantarkan namanya sendiri ke tempat-tempat yang jauh, menancapkan taringnya di puncak-puncak yang tinggi, agar bisa berkenalan dengan orang asing hanya demi berkata : Saya asli Tulung Selapan.

Jika hidup ini soal berbangga-bangga, maka bukankah uraian di atas adalah kronologi yang paling ideal untuk disematkan dalam CV? Mobilitas sosial vertikal, kata orang.
Jikalau pun tidak, lalu bukankah empunya CV diatas adalah orang yang lebih berilmu? Karena ekshalasi hidupnya yang begitu dinamis, berbeda dengan orang yang lahir dan sebatas menetap saja di satu kota sepanjang hidupnya, macam aku.

Pffft.

Hal ini sempat (dan mungkin masih) mengganggu pikiranku.

Jika orang desa bisa menjadi lebih berilmu dengan belajar di kota, maka apakah orang kota pernah memikirkan yang sebaliknya : melengkapi kolom ilmu yang hilang dengan belajar dari desa?
Hmm. Mungkin tidak. Kecuali sebagian kecil secuil upil.

Sebatas untuk urusan asmara, kita memang tidak boleh melihat ke belakang.

Tapi untuk urusan satu ini? Mungkin melihat ke belakang justru akan memunculkan titik bifurkasi baru. An alternative thought.

Mungkin dengan melihat ke belakang, ke daerah-daerah di Sumsel yang lebih tertinggal, kita akan bisa menyadari banyak hal yang luput dari jangkauan mata kita. Sesuatu yang halus. Semacam semut-semut hitam yang mati terinjak di bawah sepatu kita tanpa kita sadari.

Mungkin justru hanya dengan melihat ke belakang, kesadaran yang baru dalam diri kita akan terbangkitkan. Kesadaran bahwa kita sendiri sudah terlalu ‘modern’, sehingga sering gagal memahami hal-hal yang sebenarnya sederhana. Hal-hal seperti kejujuran, ketulusan hati, serta pentingnya bersyukur untuk hal-hal yang kecil, yang indahnya, masih dimiliki dan dipelihara dengan apiknya oleh masyarakat pedesaan.

Mungkin dengan melihat ke belakang, kita bisa tahu betapa timpangnya pembangunan ekonomi di Sumsel.

Lalu tiba-tiba diri ini sudah mendaftar Voluntrip Sumsel 0.2.
Entahlah.
Mungkin jiwa ini sudah lelah karena terlalu kekota-kotaan.
Lelah tiap hari, dimanapun, selalu berhadapan dengan satu pernyataan Wak Alex yang mahligai lagi konkret : Palembang macet sampai 2017.


-----


Bus yang kami tumpangi merongrong nelangsa. Kami terlempar-lempar di tempat duduk masing-masing. Aku sendiri yang duduk di bangku tembak terkulai ke depan dan ke belakang saat kantuk menampari pelupuk mata. Ini persis perjalanan ke Indralaya, hanya saja lebih lama satu jam dan berlangsung di malam hari. Bagian lainnya yang berbeda (dan melegakan) adalah tidak ada kemacetan sepanjang jalan. Riuh kemacetan terakhir yang kami dengar ada di Jalan M.P. Mangkunegara, di depan Giant Kenten, dan itu sudah lebih dari satu jam yang lalu. Mungkin itu juga saat terakhir kami melihat gemerlap pelita untuk malam ini. Disini bahkan tidak ada lampu jalan. Yang menemani mesin bus mahasiswa ini dalam orkestranya hanyalah suara jangkrik di kejauhan, serta sosok-sosok gelap tinggi tak bergerak yang mengapit kami dari sisi kiri-kanan jalan.
Aku akhirnya bangun sempurna. Aku bangun karena penat dengan bangku yang tidak ada sandarannya ini. Sementara peserta lain yang gondrong di depanku (namanya Ilham, mahasiswa FH Unsri) sudah lama terjaga, mengambil beberapa gambar selama perjalanan. Ia dari bagian dokumentasi, katanya.

“Adek-adek, mohon perhatiannyo yo. Sekolah yang nak kito tuju ini ado di sebelah kiri jalan, sudah ado panitia yang nunggu disitu. Tapi berhubung sekolahnyo katek listrik, jadi mohon bantuannyo untuk ngeliati kalo-kalo sekolah itu lah telewat”, kata seseorang yang duduk di bangku depan (tak lama setelahnya, aku tahu namanya Bayu, panitia Voluntrip 0.2).

Maka setelah itu, ukhti-ukhti yang duduk di dekat jendela kiri pun ramai-ramai mengarahkan senter masing-masing ke arah kiri jalan. Sebagian penumpang lain memenuhi bus tersebut dengan bisik-bisik tak sedap. Jika diringkas, kurang lebih isinya adalah : Kito nginep di sekolah? Katek listrik? Cakmano ini Mamak?

Bus pun berhenti sejenak. Kak Reza, Ketum Dompet Dhuafa Volunteer Sumsel turun dari bus dan masuk jauh ke jalan setapak di sebelah kiri jalan, menuju sebuah bangunan yang berada jauh di tengah kegelapan. Kami pun was-was demi melihat bangunan tersebut—yang lebih mirip gubuk daripada sekolah, tanpa pencahayaan sama sekali. Beberapa saat kemudian dia kembali, lalu bilang itu bukan sekolah yang dituju. Kami lega.

Baik, mungkin aku perlu bercerita sedikit tentang sekolah ini. Kegiatan pertama kami di Voluntrip 0.2. kali ini adalah Program Kelas Inspirasi dan Lomba Anak-anak yang akan diselenggarakan besok, Sabtu 19 Desember 2016, bertepatan dengan hari pembagian rapor siswa-siswi SDN 03 Sumber Marga Telang, Desa Karang Anyar, Banyuasin. Hal yang baru kuketahui malam ini adalah ternyata kami akan menginap di SD tersebut, alih-alih di Balai Desa. Jumlah total kami lebih dari 60 orang dan menumpangi dua unit bus angkutan mahasiswa. Seharusnya sudah ada panitia yang berjaga dan siap menjemput kami di sekolah tersebut, namun nomor ponselnya tidak aktif saat dihubungi. Sekarang kami tersesat di tengah jalan menuju Pelabuhan Tanjung Siapi-api.

Bus kembali melaju, namun kali ini lebih pelan. Kini lebih banyak senter yang diarahkan ke pepohonan dan bebatangan yang menghalau sisi kiri jalan. Lalu bus yang kami tumpangi memutar jalan, kembali menyisir sisi jalan. Sempat berhenti beberapa saat untuk bertanya ke rumah penduduk yang dekat dengan jalan, sebelum akhirnya berputar lagi ke arah sebelumnya. Supir dan kondektur bus menggerutu. Kami juga.

Akhirnya sekolah yang kami tuju berhasil ditemukan. Aku menatap arlojiku.

Pukul 22.00.

Sudah waktunya gogoleran malas di atas kasur, jika ini di rumah. Tapi masih ada banyak tas dan bawaan penumpang lainnya yang perlu diturunkan dari atap bus. Masih banyak peserta lainnya yang belum kukenal dan perlu kuajak berkenalan jika waktunya memungkinkan. Masih ada satu mobil milik panitia yang terjerumus di jalan tanah dan perlu kami dorong bersama. Wah, masih ada malam yang panjang untuk dilewati. Tapi terlebih lagi, aku masih penasaran seperti apa sekolah yang akan kami huni malam ini.


-----


Diesel sudah dinyalakan. Kami duduk-duduk bersila di tengah lapangan upacara SDN 03 Sumber Marga Telang, di bawah siraman cahaya lampu emergency seukuran tiang gawang. Beberapa peserta juga sudah berebut mencolokkan charger ponsel di kabel terminal yang diulurkan panitia. Kami duduk dan mengobrol, menunggu entah apa yang belum datang. Seingatku tadi ada yang bilang sebagian panitia yang membawa perlengkapan acara belum tiba di lokasi.
Aku, Genta dan beberapa kolega baru kami yang lainnya kini duduk beralaskan tikar, beratapkan langit malam yang cerah, membayangkan bagaimana kami akan tidur malam ini. Aku sih oke jika harus tidur di bawah cuaca seperti ini. Tapi setelah ingat kalau ini musim hujan, aku pikir-pikir lagi.

Aku memandang berkeliling. Lapangan upacara tersebut sebenarnya hanya lapangan tanah biasa, dengan tiang bendera yang pendek di salah satu sisinya. Sementara lokal-lokal SD—yang sulit kukenali karena gelap—tersebut ternyata dibangun terpisah-pisah, tidak menyatu di satu gedung. Di luar bangunan buatan manusia tersebut, adalah rawa-rawa dan sungai yang mengepung komplek SD dari sisi selatan, barat dan utara. Aku getir demi membayangkan seandainya harus buang air besar di tengah malam. Aku tidak melihat toilet ataupun kakus dalam perjalanan kemari di sepanjang jalan setapak tadi. Haruskah aku boker langsung di sungai? Wah, akan jadi pengalaman pertama yang tak terlupakan. Tapi semoga saja tidak perlu terjadi.

Sembari menunggu panitia yang lain tiba, kami menyalakan api unggun untuk mengusir nyamuk dan bergantian pergi ke surau yang agak jauh dari sekolah. Letaknya ada di sisi jalan yang berbeda. Perlu berjalan sekitar 200 meter melalui jalan setapak dari tanah untuk mencapainya. Syukurnya, ada listrik dan toilet disana, walaupun kami tetap harus wudhu dengan air rawa karena antrean ke toilet yang segera membludak.

“Jadi teringet di Menwa dulu pas Diksar. Kami dibilangi : kalau nak tedok lemak, di rumah bae”, kata Genta, dalam obrolan kawanan lelaki kami yang isinya hanya 10 orang. Aku tertawa. Itu benar. Aku ingat tujuanku kemari. Jika keadaan seperti ini saja sudah membuatku ingin pulang, berarti aku salah tempat, atau malah salah jenis kelamin. Aku datang untuk mengumpulkan lebih banyak pengalaman menginap di desa, meski tidak gratis.

Sepulangnya dari masjid, kami kembali duduk di atas tikar di halaman sekolah. Namun kali ini kami ditemani salah seorang penduduk lokal. Aku lupa namanya—ampuni aku, Pak. Dia membantu menyalakan api unggun dan kini menemani kami ngobrol. Umurnya mungkin sudah hampr 60 tahun, namun garis wajah yang keras khas petani tergurat di wajahnya.

“Bapak kira tadi ada apa ramai-ramai, ternyata siswa-siswi dari sekolah ya”, sambut Bapak itu lega. God, aku sudah meniatkan diri untuk mengingat namanya, tapi tetap saja lupa -_- mulai sekarang sebut saja Pak Syamsul.

Pak Syamsul sumringah bukan kepalang. Aku awalnya kurang paham kenapa Pak Syamsul repot-repot keluar dari balik selimutnya untuk menyambut kami seorang diri, di tengah udara malam seperti ini. Namun demi mendengar ceritanya, tentang gedung sekolah yang sering dijadikan arena nyabu di malam hari oleh orang-orang luar desa, aku bersedia untuk mafhum. Ditambah dengan pemandangan jalan yang sepi dari manusia sejauh mata memandang, juga lampu jalan yang tak kunjung dibangun pemerintah, bisa kumengerti bahwa kedatangan kami beramai-ramai ini bisa jadi semacam hiburan kecil bagi Pak Syamsul, karena tidak terjadi setiap hari.

Maka di saat banyak peserta dan panitia sudah tenggelam oleh kantuk dan aktivitas bongkar muat perlengkapan dari mobil panitia—yang baru sampai beberapa waktu sebelumnya—aku dan Genta masih setia mengobrol dengan Pak Syamsul.

“Jadi manusia itu memang harus baik nak kepada semua orang, biar orang lain juga baik sama kita. Tidak bisa kita hidup sendirian di dunia ini”, ujar Pak Syamsul, menutup ceritanya tentang rombongan preman hulu ledak sengketa lahan di wilayah tersebut 15 tahun yang lalu. Di kisahnya, preman tersebut justru mundur bukan karena perlawanan dari masyarakat setempat, tapi karena keramahan Pak Syamsul dalam menyambut mereka. Dari empati, lahir rasa segan. Dari rasa segan, lahir rasa hormat. Demikianlah. Wallahu a’lam.

Di tengah penantian kami para peserta, obrolan semacam ini seharusnya sangat menghibur. Aku antusias bertanya pada Pak Syamsul, apakah ia bisa berbahasa Bugis seperti kebanyakan orang yang tinggal di Daerah Jalur?

“Bapak malah lebih bisa Bahasa Bugis daripada Bahasa Palembang”, jawabnya polos. Memang sudah bukan rahasia, banyak transmigran dari Sulawesi yang bertempat tinggal di sepanjang jalan menuju Tanjung Siapi-api. Beberapa bahkan sudah menetap lebih dari 40 tahun, berkeluarga, menelurkan generas kedua menuju generasi ketiga. Pak Syamsul sendiri bercerita tentang anaknya yang berjumlah 10 orang. Aku jadi teringat Tauhid, teman kuliahku yang juga dari Jalur. Dia anak bungsu dari 10 saudara. Aku sempat berpikir Pak Syamsul ini adalah bapaknya, ternyata bukan.
Aku lalu gantian bercerita tentang perjalananku ke Kendari beberapa bulan sebelum itu. Tentang Suku Bajo yang lahir, hidup dan mati di atas geladak kapal, hingga puluhan generasi. Pak Syamsul terperangah.

“Terakhir Bapak di Sulawesi waktu umur dua tahun. Sesudah itu tidak pernah lagi. Tidak ingat apa-apa. Hanya dengar cerita dari orang-orang”, tanggapnya.
Menjelang tengah malam, akhirnya aktivitas bongkar muat usai sudah. Panitia menggiring kami untuk beristirahat di kelas—yang tentu terpisah bagi ikhwan dan akhwat. Geng lelaki mengambil tempat di ruangan paling ujung, yang tak lain adalah ruang guru merangkap perpustakaan SD. Aku sempat kaget demi mendengar bahwa ruangan-ruangan tersebut tidak dikunci selepas pembelajaran selesai. Tidak ada gerendel, atau gembok, atau kunci, atau apapun. Cukup dengan memanjat jendela, kami bisa masuk, sebelum akhirnya menarik pintu kelas dari dalam agar terbuka.

Setelah mengambil tempat masing-masing di lantai ruangan, kami tak banyak buang waktu. Ovi dan seorang peserta lainnya membalurkan lotion anti nyamuk ke seluruh tubuh, sebelum membungkus diri dalam sarung dan jaket. Aku pun sama, sementara Genta berguling di sudut ruangan di dekatku, mengecek notifikasi terakhir di ponselnya. Ponselku sendiri? Sudah lama mati, itu pun aku tak peduli. Yang aku tahu, sinyal T**i sudah berubah simbol menjadi coret sejak kami melalui perbatasan Banyuasin. “Apa pula asyiknya bermain gadget setelah akhirnya jauh dari rumah?”, hiburku pada diri sendiri—yang sebenarnya, hanya malas berebut colokan dengan panitia dan peserta lain.
Aku membalik tubuh ringkih ini ke kiri dan ke kanan, berusaha keras mencari posisi yang paling nyaman untuk tidur. Mungkin akan cukup sulit jika aku tidak mengantuk berat.


-------


Jam empat pagi keesokan harinya, aku terbangun karena dua hal : alarm yang memang kusetel, lalu efek magis lotion nyamuk yang tidak lagi ajeg, sirna. Habis kaki dan tangan ini dilibas prajurit rawa-rawa itu. Beberapa saat menggaruk, aku akhirnya sadar bahwa bibir atasku bengkak—entah apa yang menggigitnya.

Aku hendak duduk dan mengumpulkan sukma. Namun di kejauhan, kudengan bunyi gemuruh dari langit. Dalam hitungan detik, bunyi itu diiringi tetesan air yang mengguyur. Hujan. Mampus, pikirku. Terbayang bagaimana air rawa dan sungai meluap, membanjiri jalan setapak kemarin menjadi licak tanah.

Bagaimana kita akan pergi ke masjid untuk sholat Shubuh?

Entahlah. Ini masih jam empat.

Kito jingokke bae”, batinku, lalu mencoba tidur—walau sudah mustahil.

(...bersambung)

Kondisi lapangan dan jalan setapak menuju bangunan utama SD