CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 2.0 (Bagian 1)
Aku lahir di kota, besar di kota.
Aku tidak punya dusun untuk dikunjungi ketika lebaran, dan
tidak pernah sebelumnya terpikir untuk punya satu.
Apa pula pentingnya punya
kampung halaman, saat kau sendiri lahir dan besar di kota?
Bukankah perkotaan merupakan sentral gravitasi peradaban? Maka dengan lahir dan tinggal disini, tak banyak yang perlu aku cari lagi. Mengadu nasib hanya tinggal sebatas kemauan dan pilihan.
Bukankah perkotaan merupakan sentral gravitasi peradaban? Maka dengan lahir dan tinggal disini, tak banyak yang perlu aku cari lagi. Mengadu nasib hanya tinggal sebatas kemauan dan pilihan.
Bruk. Aku baru benar-benar insaf dari pemikiran seperti itu
setelah duduk di bangku kuliah.
Kawan, ketahuilah, selain Palembang ada tiga kotamadya di
Sumatera Selatan, ditambah 13 kabupaten.
Semuanya perlu dibangun dan disejahterakan.
Semuanya tengah menunggu untuk dibangun dan disejahterakan.
Semuanya tengah menunggu untuk dibangun dan disejahterakan.
Lalu bagian mananya yang dramatis?
Ketahuilah, sebagian sarjana dan pemimpin berdarah Sumsel justru lahir dan
didewasakan oleh alam dan kearifan lokal wilayah perkampungan, jauh dari
riuh-gemuruh ibukota.
Semangat dan tekad untuk belajarlah yang mendorong mereka untuk terus bermetamorfosis.
Semangat dan tekad untuk belajarlah yang mendorong mereka untuk terus bermetamorfosis.
Umpamakanlah seorang dusun menjalani kronologi hidup seperti
ini :
SD di dusun
SMP di ibukota kecamatan
SMA di Ibukota Provinsi
Sarjana di luar pulau
Pascasarjana di luar negeri
Mengantarkan namanya sendiri ke tempat-tempat yang jauh, menancapkan taringnya di puncak-puncak yang tinggi, agar bisa berkenalan dengan orang asing hanya demi berkata : Saya asli Tulung Selapan.
Jika hidup ini soal berbangga-bangga, maka bukankah uraian di atas adalah kronologi yang paling ideal untuk disematkan dalam CV? Mobilitas sosial vertikal, kata orang.
Jikalau pun tidak, lalu bukankah empunya CV diatas adalah orang yang lebih berilmu? Karena ekshalasi hidupnya yang begitu dinamis, berbeda dengan orang yang lahir dan sebatas menetap saja di satu kota sepanjang hidupnya, macam aku.
SD di dusun
SMP di ibukota kecamatan
SMA di Ibukota Provinsi
Sarjana di luar pulau
Pascasarjana di luar negeri
Mengantarkan namanya sendiri ke tempat-tempat yang jauh, menancapkan taringnya di puncak-puncak yang tinggi, agar bisa berkenalan dengan orang asing hanya demi berkata : Saya asli Tulung Selapan.
Jika hidup ini soal berbangga-bangga, maka bukankah uraian di atas adalah kronologi yang paling ideal untuk disematkan dalam CV? Mobilitas sosial vertikal, kata orang.
Jikalau pun tidak, lalu bukankah empunya CV diatas adalah orang yang lebih berilmu? Karena ekshalasi hidupnya yang begitu dinamis, berbeda dengan orang yang lahir dan sebatas menetap saja di satu kota sepanjang hidupnya, macam aku.
Pffft.
Hal ini sempat (dan mungkin masih) mengganggu pikiranku.
Jika orang desa bisa menjadi lebih berilmu dengan belajar di
kota, maka apakah orang kota pernah memikirkan yang sebaliknya : melengkapi
kolom ilmu yang hilang dengan belajar dari desa?
Hmm. Mungkin tidak. Kecuali sebagian kecil secuil upil.
Sebatas untuk urusan asmara, kita memang tidak boleh melihat
ke belakang.
Tapi untuk urusan satu ini? Mungkin melihat ke belakang
justru akan memunculkan titik bifurkasi baru. An alternative thought.
Mungkin dengan melihat ke belakang, ke daerah-daerah di
Sumsel yang lebih tertinggal, kita akan bisa menyadari banyak hal yang luput
dari jangkauan mata kita. Sesuatu yang halus. Semacam semut-semut hitam yang
mati terinjak di bawah sepatu kita tanpa kita sadari.
Mungkin justru hanya dengan melihat ke belakang, kesadaran
yang baru dalam diri kita akan terbangkitkan. Kesadaran bahwa kita sendiri
sudah terlalu ‘modern’, sehingga sering gagal memahami hal-hal yang sebenarnya
sederhana. Hal-hal seperti kejujuran, ketulusan hati, serta pentingnya bersyukur
untuk hal-hal yang kecil, yang indahnya, masih dimiliki dan dipelihara dengan
apiknya oleh masyarakat pedesaan.
Mungkin dengan melihat ke belakang, kita bisa tahu betapa
timpangnya pembangunan ekonomi di Sumsel.
Lalu tiba-tiba diri ini sudah
mendaftar Voluntrip Sumsel 0.2.
Entahlah.
Mungkin jiwa ini sudah lelah karena terlalu kekota-kotaan.
Lelah tiap hari, dimanapun, selalu berhadapan dengan satu pernyataan Wak Alex yang mahligai lagi konkret : Palembang macet sampai 2017.
Entahlah.
Mungkin jiwa ini sudah lelah karena terlalu kekota-kotaan.
Lelah tiap hari, dimanapun, selalu berhadapan dengan satu pernyataan Wak Alex yang mahligai lagi konkret : Palembang macet sampai 2017.
-----
Bus yang kami tumpangi merongrong nelangsa. Kami
terlempar-lempar di tempat duduk masing-masing. Aku sendiri yang duduk di
bangku tembak terkulai ke depan dan ke belakang saat kantuk menampari pelupuk
mata. Ini persis perjalanan ke Indralaya, hanya saja lebih lama satu jam dan
berlangsung di malam hari. Bagian lainnya yang berbeda (dan melegakan) adalah
tidak ada kemacetan sepanjang jalan. Riuh kemacetan terakhir yang kami dengar
ada di Jalan M.P. Mangkunegara, di depan Giant Kenten, dan itu sudah lebih dari
satu jam yang lalu. Mungkin itu juga saat terakhir kami melihat gemerlap pelita
untuk malam ini. Disini bahkan tidak ada lampu jalan. Yang menemani mesin bus
mahasiswa ini dalam orkestranya hanyalah suara jangkrik di kejauhan, serta
sosok-sosok gelap tinggi tak bergerak yang mengapit kami dari sisi kiri-kanan
jalan.
Aku akhirnya bangun sempurna. Aku bangun karena penat dengan
bangku yang tidak ada sandarannya ini. Sementara peserta lain yang gondrong di
depanku (namanya Ilham, mahasiswa FH Unsri) sudah lama terjaga, mengambil
beberapa gambar selama perjalanan. Ia dari bagian dokumentasi, katanya.
“Adek-adek, mohon perhatiannyo yo. Sekolah yang nak kito
tuju ini ado di sebelah kiri jalan, sudah ado panitia yang nunggu disitu. Tapi
berhubung sekolahnyo katek listrik, jadi mohon bantuannyo untuk ngeliati
kalo-kalo sekolah itu lah telewat”, kata seseorang yang duduk di bangku depan
(tak lama setelahnya, aku tahu namanya Bayu, panitia Voluntrip 0.2).
Maka setelah itu, ukhti-ukhti yang duduk di dekat jendela
kiri pun ramai-ramai mengarahkan senter masing-masing ke arah kiri jalan.
Sebagian penumpang lain memenuhi bus tersebut dengan bisik-bisik tak sedap.
Jika diringkas, kurang lebih isinya adalah : Kito nginep di sekolah? Katek
listrik? Cakmano ini Mamak?
Bus pun berhenti sejenak. Kak Reza, Ketum Dompet Dhuafa Volunteer
Sumsel turun dari bus dan masuk jauh ke jalan setapak di sebelah kiri jalan,
menuju sebuah bangunan yang berada jauh di tengah kegelapan. Kami pun was-was
demi melihat bangunan tersebut—yang lebih mirip gubuk daripada sekolah, tanpa
pencahayaan sama sekali. Beberapa saat kemudian dia kembali, lalu bilang itu
bukan sekolah yang dituju. Kami lega.
Baik, mungkin aku perlu bercerita sedikit tentang sekolah
ini. Kegiatan pertama kami di Voluntrip 0.2. kali ini adalah Program Kelas
Inspirasi dan Lomba Anak-anak yang akan diselenggarakan besok, Sabtu 19
Desember 2016, bertepatan dengan hari pembagian rapor siswa-siswi SDN 03 Sumber
Marga Telang, Desa Karang Anyar, Banyuasin. Hal yang baru kuketahui malam ini
adalah ternyata kami akan menginap di SD tersebut, alih-alih di Balai Desa.
Jumlah total kami lebih dari 60 orang dan menumpangi dua unit bus angkutan
mahasiswa. Seharusnya sudah ada panitia yang berjaga dan siap menjemput kami di
sekolah tersebut, namun nomor ponselnya tidak aktif saat dihubungi. Sekarang
kami tersesat di tengah jalan menuju Pelabuhan Tanjung Siapi-api.
Bus kembali melaju, namun kali ini lebih pelan. Kini lebih
banyak senter yang diarahkan ke pepohonan dan bebatangan yang menghalau sisi
kiri jalan. Lalu bus yang kami tumpangi memutar jalan, kembali menyisir sisi
jalan. Sempat berhenti beberapa saat untuk bertanya ke rumah penduduk yang
dekat dengan jalan, sebelum akhirnya berputar lagi ke arah sebelumnya. Supir
dan kondektur bus menggerutu. Kami juga.
Akhirnya sekolah yang kami tuju berhasil ditemukan. Aku
menatap arlojiku.
Pukul 22.00.
Sudah waktunya gogoleran malas
di atas kasur, jika ini di rumah. Tapi masih ada banyak tas dan bawaan
penumpang lainnya yang perlu diturunkan dari atap bus. Masih banyak peserta
lainnya yang belum kukenal dan perlu kuajak berkenalan jika waktunya
memungkinkan. Masih ada satu mobil milik panitia yang terjerumus di jalan tanah
dan perlu kami dorong bersama. Wah, masih ada malam yang panjang untuk
dilewati. Tapi terlebih lagi, aku masih penasaran seperti apa sekolah yang akan
kami huni malam ini.
-----
Diesel sudah dinyalakan. Kami duduk-duduk bersila di tengah
lapangan upacara SDN 03 Sumber Marga Telang, di bawah siraman cahaya lampu emergency seukuran tiang gawang.
Beberapa peserta juga sudah berebut mencolokkan charger ponsel di kabel terminal yang diulurkan panitia. Kami duduk
dan mengobrol, menunggu entah apa yang belum datang. Seingatku tadi ada yang
bilang sebagian panitia yang membawa perlengkapan acara belum tiba di lokasi.
Aku, Genta dan beberapa kolega baru kami yang lainnya kini
duduk beralaskan tikar, beratapkan langit malam yang cerah, membayangkan
bagaimana kami akan tidur malam ini. Aku sih oke jika harus tidur di bawah
cuaca seperti ini. Tapi setelah ingat kalau ini musim hujan, aku pikir-pikir
lagi.
Aku memandang berkeliling. Lapangan upacara tersebut
sebenarnya hanya lapangan tanah biasa, dengan tiang bendera yang pendek di
salah satu sisinya. Sementara lokal-lokal SD—yang sulit kukenali karena
gelap—tersebut ternyata dibangun terpisah-pisah, tidak menyatu di satu gedung.
Di luar bangunan buatan manusia tersebut, adalah rawa-rawa dan sungai yang
mengepung komplek SD dari sisi selatan, barat dan utara. Aku getir demi
membayangkan seandainya harus buang air besar di tengah malam. Aku tidak
melihat toilet ataupun kakus dalam perjalanan kemari di sepanjang jalan setapak
tadi. Haruskah aku boker langsung di sungai? Wah, akan jadi pengalaman pertama
yang tak terlupakan. Tapi semoga saja tidak perlu terjadi.
Sembari menunggu panitia yang lain tiba, kami menyalakan api
unggun untuk mengusir nyamuk dan bergantian pergi ke surau yang agak jauh dari
sekolah. Letaknya ada di sisi jalan yang berbeda. Perlu berjalan sekitar 200
meter melalui jalan setapak dari tanah untuk mencapainya. Syukurnya, ada
listrik dan toilet disana, walaupun kami tetap harus wudhu dengan air rawa
karena antrean ke toilet yang segera membludak.
“Jadi teringet di Menwa dulu pas
Diksar. Kami dibilangi : kalau nak tedok lemak, di rumah bae”, kata Genta,
dalam obrolan kawanan lelaki kami yang isinya hanya 10 orang. Aku tertawa. Itu
benar. Aku ingat tujuanku kemari. Jika keadaan seperti ini saja sudah membuatku
ingin pulang, berarti aku salah tempat, atau malah salah jenis kelamin. Aku
datang untuk mengumpulkan lebih banyak pengalaman menginap di desa, meski tidak
gratis.
Sepulangnya dari masjid, kami kembali duduk di atas tikar di
halaman sekolah. Namun kali ini kami ditemani salah seorang penduduk lokal. Aku
lupa namanya—ampuni aku, Pak. Dia membantu menyalakan api unggun dan kini
menemani kami ngobrol. Umurnya mungkin sudah hampr 60 tahun, namun garis wajah
yang keras khas petani tergurat di wajahnya.
“Bapak kira tadi ada apa ramai-ramai, ternyata siswa-siswi
dari sekolah ya”, sambut Bapak itu lega. God,
aku sudah meniatkan diri untuk mengingat namanya, tapi tetap saja lupa -_-
mulai sekarang sebut saja Pak Syamsul.
Pak Syamsul sumringah bukan kepalang. Aku awalnya kurang
paham kenapa Pak Syamsul repot-repot keluar dari balik selimutnya untuk
menyambut kami seorang diri, di tengah udara malam seperti ini. Namun demi
mendengar ceritanya, tentang gedung sekolah yang sering dijadikan arena nyabu
di malam hari oleh orang-orang luar desa, aku bersedia untuk mafhum. Ditambah
dengan pemandangan jalan yang sepi dari manusia sejauh mata memandang, juga
lampu jalan yang tak kunjung dibangun pemerintah, bisa kumengerti bahwa
kedatangan kami beramai-ramai ini bisa jadi semacam hiburan kecil bagi Pak
Syamsul, karena tidak terjadi setiap hari.
Maka di saat banyak peserta dan panitia sudah tenggelam oleh
kantuk dan aktivitas bongkar muat perlengkapan dari mobil panitia—yang baru
sampai beberapa waktu sebelumnya—aku dan Genta masih setia mengobrol dengan Pak
Syamsul.
“Jadi manusia itu memang harus baik nak kepada semua orang,
biar orang lain juga baik sama kita. Tidak bisa kita hidup sendirian di dunia
ini”, ujar Pak Syamsul, menutup ceritanya tentang rombongan preman hulu ledak
sengketa lahan di wilayah tersebut 15 tahun yang lalu. Di kisahnya, preman
tersebut justru mundur bukan karena perlawanan dari masyarakat setempat, tapi
karena keramahan Pak Syamsul dalam menyambut mereka. Dari empati, lahir rasa
segan. Dari rasa segan, lahir rasa hormat. Demikianlah. Wallahu a’lam.
Di tengah penantian kami para peserta, obrolan semacam ini
seharusnya sangat menghibur. Aku antusias bertanya pada Pak Syamsul, apakah ia
bisa berbahasa Bugis seperti kebanyakan orang yang tinggal di Daerah Jalur?
“Bapak malah lebih bisa Bahasa Bugis daripada Bahasa
Palembang”, jawabnya polos. Memang sudah bukan rahasia, banyak transmigran dari
Sulawesi yang bertempat tinggal di sepanjang jalan menuju Tanjung Siapi-api.
Beberapa bahkan sudah menetap lebih dari 40 tahun, berkeluarga, menelurkan generas
kedua menuju generasi ketiga. Pak Syamsul sendiri bercerita tentang anaknya
yang berjumlah 10 orang. Aku jadi teringat Tauhid, teman kuliahku yang juga
dari Jalur. Dia anak bungsu dari 10 saudara. Aku sempat berpikir Pak Syamsul
ini adalah bapaknya, ternyata bukan.
Aku lalu gantian bercerita tentang perjalananku ke Kendari
beberapa bulan sebelum itu. Tentang Suku Bajo yang lahir, hidup dan mati di
atas geladak kapal, hingga puluhan generasi. Pak Syamsul terperangah.
“Terakhir Bapak di Sulawesi waktu umur dua tahun. Sesudah
itu tidak pernah lagi. Tidak ingat apa-apa. Hanya dengar cerita dari orang-orang”,
tanggapnya.
Menjelang tengah malam, akhirnya aktivitas bongkar muat usai
sudah. Panitia menggiring kami untuk beristirahat di kelas—yang tentu terpisah
bagi ikhwan dan akhwat. Geng lelaki mengambil tempat di ruangan paling ujung,
yang tak lain adalah ruang guru merangkap perpustakaan SD. Aku sempat kaget
demi mendengar bahwa ruangan-ruangan tersebut tidak dikunci selepas
pembelajaran selesai. Tidak ada gerendel, atau gembok, atau kunci, atau apapun.
Cukup dengan memanjat jendela, kami bisa masuk, sebelum akhirnya menarik pintu
kelas dari dalam agar terbuka.
Setelah mengambil tempat masing-masing di lantai ruangan,
kami tak banyak buang waktu. Ovi dan seorang peserta lainnya membalurkan lotion anti nyamuk ke seluruh tubuh,
sebelum membungkus diri dalam sarung dan jaket. Aku pun sama, sementara Genta
berguling di sudut ruangan di dekatku, mengecek notifikasi terakhir di
ponselnya. Ponselku sendiri? Sudah lama mati, itu pun aku tak peduli. Yang aku
tahu, sinyal T**i sudah berubah simbol menjadi coret sejak kami melalui
perbatasan Banyuasin. “Apa pula asyiknya bermain gadget setelah akhirnya jauh
dari rumah?”, hiburku pada diri sendiri—yang sebenarnya, hanya malas berebut
colokan dengan panitia dan peserta lain.
Aku membalik tubuh ringkih ini
ke kiri dan ke kanan, berusaha keras mencari posisi yang paling nyaman untuk tidur.
Mungkin akan cukup sulit jika aku tidak mengantuk berat.
-------
Jam empat pagi keesokan harinya, aku terbangun karena dua
hal : alarm yang memang kusetel, lalu efek magis lotion nyamuk yang tidak lagi
ajeg, sirna. Habis kaki dan tangan ini dilibas prajurit rawa-rawa itu. Beberapa
saat menggaruk, aku akhirnya sadar bahwa bibir atasku bengkak—entah apa yang
menggigitnya.
Aku hendak duduk dan mengumpulkan sukma. Namun di kejauhan,
kudengan bunyi gemuruh dari langit. Dalam hitungan detik, bunyi itu diiringi
tetesan air yang mengguyur. Hujan. Mampus, pikirku. Terbayang bagaimana air
rawa dan sungai meluap, membanjiri jalan setapak kemarin menjadi licak tanah.
Bagaimana kita akan pergi ke masjid untuk sholat Shubuh?
Entahlah. Ini masih jam empat.
“Kito jingokke bae”, batinku,
lalu mencoba tidur—walau sudah mustahil.
(...bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar