Kamis, 05 Januari 2017

CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 2.0 (Bagian 1)


Aku lahir di kota, besar di kota.

Aku tidak punya dusun untuk dikunjungi ketika lebaran, dan tidak pernah sebelumnya terpikir untuk punya satu.

Apa pula pentingnya punya  kampung halaman, saat kau sendiri lahir dan besar di kota?
Bukankah perkotaan merupakan sentral gravitasi peradaban? Maka dengan lahir dan tinggal disini, tak banyak yang perlu aku cari lagi. Mengadu nasib hanya tinggal sebatas kemauan dan pilihan.

Bruk. Aku baru benar-benar insaf dari pemikiran seperti itu setelah duduk di bangku kuliah.

Kawan, ketahuilah, selain Palembang ada tiga kotamadya di Sumatera Selatan, ditambah 13 kabupaten.
Semuanya perlu dibangun dan disejahterakan.
Semuanya tengah menunggu untuk dibangun dan disejahterakan.

Lalu bagian mananya yang dramatis?
Ketahuilah, sebagian sarjana dan pemimpin berdarah Sumsel justru lahir dan didewasakan oleh alam dan kearifan lokal wilayah perkampungan, jauh dari riuh-gemuruh ibukota.
Semangat dan tekad untuk belajarlah yang mendorong mereka untuk terus bermetamorfosis.

Umpamakanlah seorang dusun menjalani kronologi hidup seperti ini :
SD di dusun
SMP di ibukota kecamatan
SMA di Ibukota Provinsi
Sarjana di luar pulau
Pascasarjana di luar negeri
Mengantarkan namanya sendiri ke tempat-tempat yang jauh, menancapkan taringnya di puncak-puncak yang tinggi, agar bisa berkenalan dengan orang asing hanya demi berkata : Saya asli Tulung Selapan.

Jika hidup ini soal berbangga-bangga, maka bukankah uraian di atas adalah kronologi yang paling ideal untuk disematkan dalam CV? Mobilitas sosial vertikal, kata orang.
Jikalau pun tidak, lalu bukankah empunya CV diatas adalah orang yang lebih berilmu? Karena ekshalasi hidupnya yang begitu dinamis, berbeda dengan orang yang lahir dan sebatas menetap saja di satu kota sepanjang hidupnya, macam aku.

Pffft.

Hal ini sempat (dan mungkin masih) mengganggu pikiranku.

Jika orang desa bisa menjadi lebih berilmu dengan belajar di kota, maka apakah orang kota pernah memikirkan yang sebaliknya : melengkapi kolom ilmu yang hilang dengan belajar dari desa?
Hmm. Mungkin tidak. Kecuali sebagian kecil secuil upil.

Sebatas untuk urusan asmara, kita memang tidak boleh melihat ke belakang.

Tapi untuk urusan satu ini? Mungkin melihat ke belakang justru akan memunculkan titik bifurkasi baru. An alternative thought.

Mungkin dengan melihat ke belakang, ke daerah-daerah di Sumsel yang lebih tertinggal, kita akan bisa menyadari banyak hal yang luput dari jangkauan mata kita. Sesuatu yang halus. Semacam semut-semut hitam yang mati terinjak di bawah sepatu kita tanpa kita sadari.

Mungkin justru hanya dengan melihat ke belakang, kesadaran yang baru dalam diri kita akan terbangkitkan. Kesadaran bahwa kita sendiri sudah terlalu ‘modern’, sehingga sering gagal memahami hal-hal yang sebenarnya sederhana. Hal-hal seperti kejujuran, ketulusan hati, serta pentingnya bersyukur untuk hal-hal yang kecil, yang indahnya, masih dimiliki dan dipelihara dengan apiknya oleh masyarakat pedesaan.

Mungkin dengan melihat ke belakang, kita bisa tahu betapa timpangnya pembangunan ekonomi di Sumsel.

Lalu tiba-tiba diri ini sudah mendaftar Voluntrip Sumsel 0.2.
Entahlah.
Mungkin jiwa ini sudah lelah karena terlalu kekota-kotaan.
Lelah tiap hari, dimanapun, selalu berhadapan dengan satu pernyataan Wak Alex yang mahligai lagi konkret : Palembang macet sampai 2017.


-----


Bus yang kami tumpangi merongrong nelangsa. Kami terlempar-lempar di tempat duduk masing-masing. Aku sendiri yang duduk di bangku tembak terkulai ke depan dan ke belakang saat kantuk menampari pelupuk mata. Ini persis perjalanan ke Indralaya, hanya saja lebih lama satu jam dan berlangsung di malam hari. Bagian lainnya yang berbeda (dan melegakan) adalah tidak ada kemacetan sepanjang jalan. Riuh kemacetan terakhir yang kami dengar ada di Jalan M.P. Mangkunegara, di depan Giant Kenten, dan itu sudah lebih dari satu jam yang lalu. Mungkin itu juga saat terakhir kami melihat gemerlap pelita untuk malam ini. Disini bahkan tidak ada lampu jalan. Yang menemani mesin bus mahasiswa ini dalam orkestranya hanyalah suara jangkrik di kejauhan, serta sosok-sosok gelap tinggi tak bergerak yang mengapit kami dari sisi kiri-kanan jalan.
Aku akhirnya bangun sempurna. Aku bangun karena penat dengan bangku yang tidak ada sandarannya ini. Sementara peserta lain yang gondrong di depanku (namanya Ilham, mahasiswa FH Unsri) sudah lama terjaga, mengambil beberapa gambar selama perjalanan. Ia dari bagian dokumentasi, katanya.

“Adek-adek, mohon perhatiannyo yo. Sekolah yang nak kito tuju ini ado di sebelah kiri jalan, sudah ado panitia yang nunggu disitu. Tapi berhubung sekolahnyo katek listrik, jadi mohon bantuannyo untuk ngeliati kalo-kalo sekolah itu lah telewat”, kata seseorang yang duduk di bangku depan (tak lama setelahnya, aku tahu namanya Bayu, panitia Voluntrip 0.2).

Maka setelah itu, ukhti-ukhti yang duduk di dekat jendela kiri pun ramai-ramai mengarahkan senter masing-masing ke arah kiri jalan. Sebagian penumpang lain memenuhi bus tersebut dengan bisik-bisik tak sedap. Jika diringkas, kurang lebih isinya adalah : Kito nginep di sekolah? Katek listrik? Cakmano ini Mamak?

Bus pun berhenti sejenak. Kak Reza, Ketum Dompet Dhuafa Volunteer Sumsel turun dari bus dan masuk jauh ke jalan setapak di sebelah kiri jalan, menuju sebuah bangunan yang berada jauh di tengah kegelapan. Kami pun was-was demi melihat bangunan tersebut—yang lebih mirip gubuk daripada sekolah, tanpa pencahayaan sama sekali. Beberapa saat kemudian dia kembali, lalu bilang itu bukan sekolah yang dituju. Kami lega.

Baik, mungkin aku perlu bercerita sedikit tentang sekolah ini. Kegiatan pertama kami di Voluntrip 0.2. kali ini adalah Program Kelas Inspirasi dan Lomba Anak-anak yang akan diselenggarakan besok, Sabtu 19 Desember 2016, bertepatan dengan hari pembagian rapor siswa-siswi SDN 03 Sumber Marga Telang, Desa Karang Anyar, Banyuasin. Hal yang baru kuketahui malam ini adalah ternyata kami akan menginap di SD tersebut, alih-alih di Balai Desa. Jumlah total kami lebih dari 60 orang dan menumpangi dua unit bus angkutan mahasiswa. Seharusnya sudah ada panitia yang berjaga dan siap menjemput kami di sekolah tersebut, namun nomor ponselnya tidak aktif saat dihubungi. Sekarang kami tersesat di tengah jalan menuju Pelabuhan Tanjung Siapi-api.

Bus kembali melaju, namun kali ini lebih pelan. Kini lebih banyak senter yang diarahkan ke pepohonan dan bebatangan yang menghalau sisi kiri jalan. Lalu bus yang kami tumpangi memutar jalan, kembali menyisir sisi jalan. Sempat berhenti beberapa saat untuk bertanya ke rumah penduduk yang dekat dengan jalan, sebelum akhirnya berputar lagi ke arah sebelumnya. Supir dan kondektur bus menggerutu. Kami juga.

Akhirnya sekolah yang kami tuju berhasil ditemukan. Aku menatap arlojiku.

Pukul 22.00.

Sudah waktunya gogoleran malas di atas kasur, jika ini di rumah. Tapi masih ada banyak tas dan bawaan penumpang lainnya yang perlu diturunkan dari atap bus. Masih banyak peserta lainnya yang belum kukenal dan perlu kuajak berkenalan jika waktunya memungkinkan. Masih ada satu mobil milik panitia yang terjerumus di jalan tanah dan perlu kami dorong bersama. Wah, masih ada malam yang panjang untuk dilewati. Tapi terlebih lagi, aku masih penasaran seperti apa sekolah yang akan kami huni malam ini.


-----


Diesel sudah dinyalakan. Kami duduk-duduk bersila di tengah lapangan upacara SDN 03 Sumber Marga Telang, di bawah siraman cahaya lampu emergency seukuran tiang gawang. Beberapa peserta juga sudah berebut mencolokkan charger ponsel di kabel terminal yang diulurkan panitia. Kami duduk dan mengobrol, menunggu entah apa yang belum datang. Seingatku tadi ada yang bilang sebagian panitia yang membawa perlengkapan acara belum tiba di lokasi.
Aku, Genta dan beberapa kolega baru kami yang lainnya kini duduk beralaskan tikar, beratapkan langit malam yang cerah, membayangkan bagaimana kami akan tidur malam ini. Aku sih oke jika harus tidur di bawah cuaca seperti ini. Tapi setelah ingat kalau ini musim hujan, aku pikir-pikir lagi.

Aku memandang berkeliling. Lapangan upacara tersebut sebenarnya hanya lapangan tanah biasa, dengan tiang bendera yang pendek di salah satu sisinya. Sementara lokal-lokal SD—yang sulit kukenali karena gelap—tersebut ternyata dibangun terpisah-pisah, tidak menyatu di satu gedung. Di luar bangunan buatan manusia tersebut, adalah rawa-rawa dan sungai yang mengepung komplek SD dari sisi selatan, barat dan utara. Aku getir demi membayangkan seandainya harus buang air besar di tengah malam. Aku tidak melihat toilet ataupun kakus dalam perjalanan kemari di sepanjang jalan setapak tadi. Haruskah aku boker langsung di sungai? Wah, akan jadi pengalaman pertama yang tak terlupakan. Tapi semoga saja tidak perlu terjadi.

Sembari menunggu panitia yang lain tiba, kami menyalakan api unggun untuk mengusir nyamuk dan bergantian pergi ke surau yang agak jauh dari sekolah. Letaknya ada di sisi jalan yang berbeda. Perlu berjalan sekitar 200 meter melalui jalan setapak dari tanah untuk mencapainya. Syukurnya, ada listrik dan toilet disana, walaupun kami tetap harus wudhu dengan air rawa karena antrean ke toilet yang segera membludak.

“Jadi teringet di Menwa dulu pas Diksar. Kami dibilangi : kalau nak tedok lemak, di rumah bae”, kata Genta, dalam obrolan kawanan lelaki kami yang isinya hanya 10 orang. Aku tertawa. Itu benar. Aku ingat tujuanku kemari. Jika keadaan seperti ini saja sudah membuatku ingin pulang, berarti aku salah tempat, atau malah salah jenis kelamin. Aku datang untuk mengumpulkan lebih banyak pengalaman menginap di desa, meski tidak gratis.

Sepulangnya dari masjid, kami kembali duduk di atas tikar di halaman sekolah. Namun kali ini kami ditemani salah seorang penduduk lokal. Aku lupa namanya—ampuni aku, Pak. Dia membantu menyalakan api unggun dan kini menemani kami ngobrol. Umurnya mungkin sudah hampr 60 tahun, namun garis wajah yang keras khas petani tergurat di wajahnya.

“Bapak kira tadi ada apa ramai-ramai, ternyata siswa-siswi dari sekolah ya”, sambut Bapak itu lega. God, aku sudah meniatkan diri untuk mengingat namanya, tapi tetap saja lupa -_- mulai sekarang sebut saja Pak Syamsul.

Pak Syamsul sumringah bukan kepalang. Aku awalnya kurang paham kenapa Pak Syamsul repot-repot keluar dari balik selimutnya untuk menyambut kami seorang diri, di tengah udara malam seperti ini. Namun demi mendengar ceritanya, tentang gedung sekolah yang sering dijadikan arena nyabu di malam hari oleh orang-orang luar desa, aku bersedia untuk mafhum. Ditambah dengan pemandangan jalan yang sepi dari manusia sejauh mata memandang, juga lampu jalan yang tak kunjung dibangun pemerintah, bisa kumengerti bahwa kedatangan kami beramai-ramai ini bisa jadi semacam hiburan kecil bagi Pak Syamsul, karena tidak terjadi setiap hari.

Maka di saat banyak peserta dan panitia sudah tenggelam oleh kantuk dan aktivitas bongkar muat perlengkapan dari mobil panitia—yang baru sampai beberapa waktu sebelumnya—aku dan Genta masih setia mengobrol dengan Pak Syamsul.

“Jadi manusia itu memang harus baik nak kepada semua orang, biar orang lain juga baik sama kita. Tidak bisa kita hidup sendirian di dunia ini”, ujar Pak Syamsul, menutup ceritanya tentang rombongan preman hulu ledak sengketa lahan di wilayah tersebut 15 tahun yang lalu. Di kisahnya, preman tersebut justru mundur bukan karena perlawanan dari masyarakat setempat, tapi karena keramahan Pak Syamsul dalam menyambut mereka. Dari empati, lahir rasa segan. Dari rasa segan, lahir rasa hormat. Demikianlah. Wallahu a’lam.

Di tengah penantian kami para peserta, obrolan semacam ini seharusnya sangat menghibur. Aku antusias bertanya pada Pak Syamsul, apakah ia bisa berbahasa Bugis seperti kebanyakan orang yang tinggal di Daerah Jalur?

“Bapak malah lebih bisa Bahasa Bugis daripada Bahasa Palembang”, jawabnya polos. Memang sudah bukan rahasia, banyak transmigran dari Sulawesi yang bertempat tinggal di sepanjang jalan menuju Tanjung Siapi-api. Beberapa bahkan sudah menetap lebih dari 40 tahun, berkeluarga, menelurkan generas kedua menuju generasi ketiga. Pak Syamsul sendiri bercerita tentang anaknya yang berjumlah 10 orang. Aku jadi teringat Tauhid, teman kuliahku yang juga dari Jalur. Dia anak bungsu dari 10 saudara. Aku sempat berpikir Pak Syamsul ini adalah bapaknya, ternyata bukan.
Aku lalu gantian bercerita tentang perjalananku ke Kendari beberapa bulan sebelum itu. Tentang Suku Bajo yang lahir, hidup dan mati di atas geladak kapal, hingga puluhan generasi. Pak Syamsul terperangah.

“Terakhir Bapak di Sulawesi waktu umur dua tahun. Sesudah itu tidak pernah lagi. Tidak ingat apa-apa. Hanya dengar cerita dari orang-orang”, tanggapnya.
Menjelang tengah malam, akhirnya aktivitas bongkar muat usai sudah. Panitia menggiring kami untuk beristirahat di kelas—yang tentu terpisah bagi ikhwan dan akhwat. Geng lelaki mengambil tempat di ruangan paling ujung, yang tak lain adalah ruang guru merangkap perpustakaan SD. Aku sempat kaget demi mendengar bahwa ruangan-ruangan tersebut tidak dikunci selepas pembelajaran selesai. Tidak ada gerendel, atau gembok, atau kunci, atau apapun. Cukup dengan memanjat jendela, kami bisa masuk, sebelum akhirnya menarik pintu kelas dari dalam agar terbuka.

Setelah mengambil tempat masing-masing di lantai ruangan, kami tak banyak buang waktu. Ovi dan seorang peserta lainnya membalurkan lotion anti nyamuk ke seluruh tubuh, sebelum membungkus diri dalam sarung dan jaket. Aku pun sama, sementara Genta berguling di sudut ruangan di dekatku, mengecek notifikasi terakhir di ponselnya. Ponselku sendiri? Sudah lama mati, itu pun aku tak peduli. Yang aku tahu, sinyal T**i sudah berubah simbol menjadi coret sejak kami melalui perbatasan Banyuasin. “Apa pula asyiknya bermain gadget setelah akhirnya jauh dari rumah?”, hiburku pada diri sendiri—yang sebenarnya, hanya malas berebut colokan dengan panitia dan peserta lain.
Aku membalik tubuh ringkih ini ke kiri dan ke kanan, berusaha keras mencari posisi yang paling nyaman untuk tidur. Mungkin akan cukup sulit jika aku tidak mengantuk berat.


-------


Jam empat pagi keesokan harinya, aku terbangun karena dua hal : alarm yang memang kusetel, lalu efek magis lotion nyamuk yang tidak lagi ajeg, sirna. Habis kaki dan tangan ini dilibas prajurit rawa-rawa itu. Beberapa saat menggaruk, aku akhirnya sadar bahwa bibir atasku bengkak—entah apa yang menggigitnya.

Aku hendak duduk dan mengumpulkan sukma. Namun di kejauhan, kudengan bunyi gemuruh dari langit. Dalam hitungan detik, bunyi itu diiringi tetesan air yang mengguyur. Hujan. Mampus, pikirku. Terbayang bagaimana air rawa dan sungai meluap, membanjiri jalan setapak kemarin menjadi licak tanah.

Bagaimana kita akan pergi ke masjid untuk sholat Shubuh?

Entahlah. Ini masih jam empat.

Kito jingokke bae”, batinku, lalu mencoba tidur—walau sudah mustahil.

(...bersambung)

Kondisi lapangan dan jalan setapak menuju bangunan utama SD



Tidak ada komentar:

Posting Komentar