Sabtu, 12 Januari 2019

RODA


Aku memiliki banyak pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan terkait nilai akademik. Kedua jenis pengalaman tersebut bermuara pada satu kesimpulan : nilai yang tercetak di atas selembar kertas sama sekali tidak bisa dipercaya!

Di bangku SMP, aku siswa yang sama sekali tidak menonjol secara akademik. Hasil UN SMP-ku bahkan mencengangkan : nilai totalku dari 4 pelajaran hanya 28,00! Jika nilai itu saja cukup untuk mengukur kecerdasan, maka bayangkan betapa tololnya aku dibanding teman-temanku yang lain (yang dipersenjatai kunci jawaban UN).

Memasuki bangku SMA, roda nasib pun berputar. Dalam ujian saringan masuk sekolahku, aku menduduki peringkat kedua. Itu berarti nilaiku memuncaki nilai 278 siswa lainnya di sekolahku, beserta ratusan siswa lainnya yang tidak lolos ujian saringan. Mata semua orang tertuju padaku, seolah-olah aku adalah orang jenius yang selama ini tidak mereka sadari keberadaannya. Konyol sekali. Padahal baru beberapa bulan sebelumnya aku jadi siswa paling tolol karena masalah yang sama, yaitu nilai. Maka bukannya bangga, aku justru mulai curiga dengan nasib yang menungguku di bangku SMA.

Kecurigaanku terbukti. Memasuki tahun ajaran pertama, roda nasib kembali berputar tanpa ampun. Aku gagal maning. Dua semester berturut-turut peringkat raporku terjun bebas ke Lubang Tartarus, jauh tertinggal dari teman-teman ‘kelas unggulan’-ku yang lainnya. Dan pandangan semua orang  lagi-lagi berubah. Dari dianggap bibit unggul, aku kini dianggap bibit gagal. Bapakku bahkan sampai tidak menegurku beberapa minggu saat tahu anaknya masuk Jurusan IPS. Aku nelangsa.

Tapi lagi-lagi, roda nasib itu terus saja berputar tanpa peduli. Aku menutup tahun terakhirku di SMA dengan sesuatu yang bahkan tidak pernah kubayangkan sama sekali : aku memperoleh nilai UN IPS terbaik tingkat Madrasah Aliyah di seluruh Sumsel. Sejak hari itu, semua orang menatapku dengan cara yang berbeda. Mereka yakin sekali bahwa orang yang paling cerdas di antara mereka kini tengah berdiri di hadapan mereka, dan di suatu tempat di masa depan, orang ini akan membawa faedah kepada semua yang berteman dengannya.

Tahi kucing.

Aku tidak akan tertipu lagi.

Aku yakin sekali bahwa roda nasib akan kembali berputar di masa kuliahku dan kembali membantingku ke bawah. Mungkin dengan sangat keras.

Dan siapa yang (tidak) sangka, ternyata itu terjadi sekarang saat aku sedang berhadapan dengan skripsi. IPK-ku cum laude, tapi masa kuliahku melebihi lima tahun karena skripsiku yang sempat mangkrak. Tidak bisa kuhitung banyaknya orang-orang yang mengataiku dari belakang (tapi ketahuan). Tidak sedikit juga dari mereka yang setiap berjumpa akan bertanya “Kenapo kau nih dak lulus-lulus? Padahal dulu pinterlah kau dari aku”, seolah balap-balapan tamat ini menunjukkan siapa yang paling paripurna kecerdasannya. Astaga. Bisa-bisanya mereka merasa superior, sementara mereka sendiri juga masih pengangguran saat menanyakan kenapa skripsiku tak kunjung kholas.

Akhirnya aku mafhum bagaimana nasib dan permainan roda-rodaannya bekerja. Selama ini semua orang bisa dengan sangat enteng berkata “Nasib itu seperti roda. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah”, tapi sama sekali keliru memaknainya lahir batin. Sama seperti nilai-nilai bagus yang pernah kuperoleh seumur hidupku, tanpa dimaknai dengan bijak, perumpamaan tersebut hanyalah perumpamaan.

Kita seringkali lalai menyadari bahwa kondisi ‘atas’ dan ‘bawah’ tersebut sebenarnya adalah kemenangan dan kekalahan yang dipergilirkan di antara semua orang sepaaaaaanjang hidupnya. Kita lebih suka berputus asa saat roda konyol ini menempatkan kita di bawah, lalu merasa jumawa saat roda ini dengan ogah-ogahan mengangkat kita ke atas. Dan yang paling konyol adalah, kita seringkali merasa terkunci dalam kondisi fana tersebut dan merasa semuanya tidak akan berubah.

Padahal jauh di luar nasib dan putaran rodanya, ada kekuatan Maha Besar yang bukan hanya kuasa menggerakan roda tersebut, namun juga segalanya. Kabar baiknya : pemilik kekuatan pemutar roda  itu selalu tahu kapan waktu terbaik untuk menempatkan semua orang di atas atau di bawah.

Maka dari sana, kutarik kesimpulan keduaku : nilai mungkin bisa menunjukkan siapa yang pintar, tapi tidak bisa menunjukkan siapa yang paling pintar. Begitu pula dengan pengalaman organisasi, soft skill, hard skill, kecepatan tamat kuliah, kecepatan mendapat pekerjaan, nominal gaji dan kualitas-kualitas lainnya yang sering kita percaya sebagai  parameter keberhasilan, tidak selalu bisa menunjukkan siapa yang paling segalanya.

Keberhasilan sebenarnya adalah ketika kita bisa bersikap dengan tepat dalam segala keadaan, baik ketika berada di bawah maupun di atas.

Lalu kenapa aku belum tamat-tamat juga?

Bisa jadi karena aku memang belum pantas diberhasilkan. Atau mungkin, roda tersebut patah setelah membantingku ke bawah. Butuh waktu untuk memperbaikinya.

Sabar ya netijen. Jangan nanya soal skripsi melulu.