Aku memiliki banyak pengalaman menyenangkan dan tidak
menyenangkan terkait nilai akademik. Kedua jenis pengalaman tersebut bermuara
pada satu kesimpulan : nilai yang tercetak di atas selembar kertas sama sekali
tidak bisa dipercaya!
Di bangku SMP, aku siswa yang sama sekali tidak menonjol
secara akademik. Hasil UN SMP-ku bahkan mencengangkan : nilai totalku dari 4
pelajaran hanya 28,00! Jika nilai itu saja cukup untuk mengukur kecerdasan,
maka bayangkan betapa tololnya aku dibanding teman-temanku yang lain (yang
dipersenjatai kunci jawaban UN).
Memasuki bangku SMA, roda nasib pun berputar. Dalam ujian
saringan masuk sekolahku, aku menduduki peringkat kedua. Itu berarti nilaiku memuncaki
nilai 278 siswa lainnya di sekolahku, beserta ratusan siswa lainnya yang tidak
lolos ujian saringan. Mata semua orang tertuju padaku, seolah-olah aku adalah
orang jenius yang selama ini tidak mereka sadari keberadaannya. Konyol sekali.
Padahal baru beberapa bulan sebelumnya aku jadi siswa paling tolol karena
masalah yang sama, yaitu nilai. Maka bukannya bangga, aku justru mulai curiga
dengan nasib yang menungguku di bangku SMA.
Kecurigaanku terbukti. Memasuki tahun ajaran pertama, roda
nasib kembali berputar tanpa ampun. Aku gagal maning. Dua semester
berturut-turut peringkat raporku terjun bebas ke Lubang Tartarus, jauh
tertinggal dari teman-teman ‘kelas unggulan’-ku yang lainnya. Dan pandangan
semua orang lagi-lagi berubah. Dari
dianggap bibit unggul, aku kini dianggap bibit gagal. Bapakku bahkan sampai
tidak menegurku beberapa minggu saat tahu anaknya masuk Jurusan IPS. Aku
nelangsa.
Tapi lagi-lagi, roda nasib itu terus saja berputar tanpa
peduli. Aku menutup tahun terakhirku di SMA dengan sesuatu yang bahkan tidak pernah kubayangkan
sama sekali : aku memperoleh nilai UN IPS terbaik tingkat Madrasah Aliyah di
seluruh Sumsel. Sejak hari itu, semua orang menatapku dengan cara yang berbeda.
Mereka yakin sekali bahwa orang yang paling cerdas di antara mereka kini tengah
berdiri di hadapan mereka, dan di suatu tempat di masa depan, orang ini akan
membawa faedah kepada semua yang berteman dengannya.
Tahi kucing.
Aku tidak akan tertipu lagi.
Aku yakin sekali bahwa roda nasib akan kembali berputar di
masa kuliahku dan kembali membantingku ke bawah. Mungkin dengan sangat keras.
Dan siapa yang (tidak) sangka, ternyata itu terjadi sekarang
saat aku sedang berhadapan dengan skripsi. IPK-ku cum laude, tapi masa kuliahku melebihi lima tahun karena skripsiku
yang sempat mangkrak. Tidak bisa kuhitung banyaknya orang-orang yang mengataiku
dari belakang (tapi ketahuan). Tidak sedikit juga dari mereka yang setiap
berjumpa akan bertanya “Kenapo kau nih dak lulus-lulus? Padahal dulu pinterlah
kau dari aku”, seolah balap-balapan tamat ini menunjukkan siapa yang paling
paripurna kecerdasannya. Astaga. Bisa-bisanya mereka merasa superior, sementara
mereka sendiri juga masih pengangguran saat menanyakan kenapa skripsiku tak
kunjung kholas.
Akhirnya aku mafhum bagaimana nasib dan permainan
roda-rodaannya bekerja. Selama ini semua orang bisa dengan sangat enteng
berkata “Nasib itu seperti roda. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah”,
tapi sama sekali keliru memaknainya lahir batin. Sama seperti nilai-nilai bagus
yang pernah kuperoleh seumur hidupku, tanpa dimaknai dengan bijak, perumpamaan
tersebut hanyalah perumpamaan.
Kita seringkali lalai menyadari bahwa kondisi ‘atas’ dan
‘bawah’ tersebut sebenarnya adalah kemenangan dan kekalahan yang dipergilirkan
di antara semua orang sepaaaaaanjang hidupnya. Kita lebih suka berputus asa
saat roda konyol ini menempatkan kita di bawah, lalu merasa jumawa saat roda
ini dengan ogah-ogahan mengangkat kita ke atas. Dan yang paling konyol adalah,
kita seringkali merasa terkunci dalam kondisi fana tersebut dan merasa semuanya
tidak akan berubah.
Padahal jauh di luar nasib dan putaran rodanya, ada kekuatan
Maha Besar yang bukan hanya kuasa menggerakan roda tersebut, namun juga
segalanya. Kabar baiknya : pemilik kekuatan pemutar roda itu selalu tahu kapan waktu terbaik untuk
menempatkan semua orang di atas atau di bawah.
Maka dari sana, kutarik kesimpulan keduaku : nilai mungkin
bisa menunjukkan siapa yang pintar, tapi tidak bisa menunjukkan siapa yang
paling pintar. Begitu pula dengan pengalaman organisasi, soft skill, hard
skill, kecepatan tamat kuliah, kecepatan mendapat pekerjaan, nominal gaji dan
kualitas-kualitas lainnya yang sering kita percaya sebagai parameter keberhasilan, tidak selalu bisa
menunjukkan siapa yang paling segalanya.
Keberhasilan sebenarnya adalah ketika kita bisa bersikap
dengan tepat dalam segala keadaan, baik ketika berada di bawah maupun di atas.
Lalu kenapa aku belum tamat-tamat juga?
Bisa jadi karena aku memang belum pantas diberhasilkan. Atau
mungkin, roda tersebut patah setelah membantingku ke bawah. Butuh waktu untuk
memperbaikinya.
Sabar ya netijen. Jangan nanya soal skripsi melulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar