Minggu, 04 Juni 2017

CATATAN VOLUNTRIP SUMSEL 0.2 (Bagian 3)




 
Gambar 1. Siluet dari sosok tak penting 
 
Singkat cerita, kami akhirnya mengompreng. Ini bukan pengalaman pertama buatku, tapi bagi ukhti-ukhti perkasa yang terus menjerit sedari awal perjalanan tadi, bisa ditebak ini pengalaman perdana mereka. Malah, bisa jadi yang tak terlupakan. Aku jadi teringat pengalaman pertamaku ngompreng bersama teman-teman EP. Tapi kali ini suasananya agak berbeda, karena mobil yang kami tumpangi adalah truk gandeng yang biasanya digunakan mengangkut kelapa sawit. Bayangkan sendiri betapa besarnya bak yang kami tumpangi, tinggi dindingnya saja lebih dari satu setengah meter.

Sesekali kami kelabakan mencari pegangan—yang sebenarnya tidak tersedia—saat truk tersebut berguncang liar. Jalan menuju pelabuhan memang tidak mulus. Beberapa bagian permukaan aspal sudah pecah berantakan, kembali bercampur dengan licak tanah, berubah menjadi kubangan besar-besar. Beberapa dari kami akhirnya dengan putus asa menempelkan tangan ke dinding bak yang licin, seolah itu membantu kami menyeimbangkan diri. Di atas kendaraan yang tidak stabil tersebut, duduk 
dan berdiri sama sulitnya.

Matahari sudah tenggelam beberapa menit lalu. Kak Hardi berhitung dengan keadaan, harap-harap cemas. Setelah Jarnawi mohon diri, secara tak langsung tanggung jawab keberlangsungan acara ini kembali pada panitia yang bertugas—yang sejak awal kukira, adalah Kak Hardi. Agenda kami malam ini adalah pengadaan layar tancep dan nontong bareng Final Piala AFF bersama warga Desa Karang Anyar di dusun seberang. Tapi truk kami bahkan belum sampai ke pelabuhan, dan masih ada anak Sungai Musi yang harus diseberangi. Aku sempat sungkan memikirkan, bagaimana lima puluh lebih peserta dan bawaannya yang berat-berat ini akan diangkut dengan perahu kayu, menyeberangi sungai di malam hari. Mungkinkah waktunya cukup?

Setelah satu jam lebih berjalan kaki, perjalanan dengan truk ini bagaikan naik buroq. Dua kali lipat jarak yang kami tempuh sebelumnya, pungkas hanya dalam waktu kurang dari setengah jam.
Kami akhirnya sampai di pelabuhan yang dimaksud. Rombongan Kak Reza yang membawa Land Rover dan barang-barang bawaan kami semua tampak tersadar dari lamunannya, Pasti lama sekali mereka sudah menanti.

Setelah mengamati beberapa lama, aku akhirnya mafhum bahwa tempat tersebut adalah pelabuhan barang, alih-alih manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa kami lihat di tempat tersebut selain rombongan panitia, peserta, sopir truk tadi serta seorang bapak-bapak yang menunggu di atas perahu kayu. Selain itu, hanya ada bongkahan batu kali, gunungan batu koral dan bangunan-bangunan operasional yang tidak dihuni.

Setelah berkumpul dan menerima arahan dari panitia, akhirnya kami beralih pandang ke angkutan kami yang berikutnya : perahu. Hanya ada satu perahu—yang dari tempatku berdiri tampak kecil sekali—, dan artinya kami harus diangkut dalam dua kloter. Aku, Dinda, Fatma dan Lulu memutuskan untuk menumpang di kloter kedua, sementara Genta yang entah sejak kapan kini sudah naik ke atas perahu, mengamankan kursi terdepan untuk menyaksikan Final Piala AFF di dusun tujuan kami.


Gambar 2. Menuju Karang Anyar
sumber :  hp-remembrall.livejournal.com


Perahu tersebut tak beratap, sehingga kami masih bisa menyaksikan wajah-wajah lelah penumpangnya menjauh dari tubir dermaga saat propeler perahu tersebut mulai mengayuh. Beberapa detik kemudian, hanya nyala lampu senter mereka yang tampak membelah Sungai Musi yang hitam, sebelum benar-benar hilang dalam kegelapan petang. Dramatis. Aku hampir membayangkan perjalanan pertama Harry Potter menuju Kastil Hogwarts.

Lalu sekarang bagaimana?

Kami duduk-duduk di atas hamparan koral dan ranting-ranting kayu, seperti orang piknik yang salah pilih tempat. Beberapa anak perempuan mulai mengeluarkan makanan ringan, sebagian yang lain membagikan lotion anti nyamuk. Amrina ingin pipis, maka Ilham—yang ternyata pacarnya—pergi berkeliling pelabuhan tersebut untuk mencari toilet. Hasilnya nihil. Tak ada toilet. Tak ada orang. Tak ada air bersih. Berarti juga tak ada musholah. Dari sanalah muncul persoalan baru : bagaimana caranya sholat maghrib? Aku dan kelompok kecilku ini akhirnya mulai gusar membicarakan hal itu, karena jika jarak tempuh perahu tersebut untuk tiba di seberang dan kembali kesini adalah 30 menit, maka kami baru akan tiba di desa seberang lewat dari jam setengah delapan, atau saat waktu maghrib habis.

Dermaga terlalu tinggi dari permukaan air sungai, dan mengambil wudhu di sungai di malam hari seperti ini juga kedengarannya bukan ide yang bagus. Setelah itu pun, kami masih akan bermasalah dengan lokasi sholat. Kami tak punya banyak pilihan.“Sudem dek, dijamak tuhlah berarti dengan Isya. Mending cak itu daripada dak sholat nian”, ujarku menyimpulkan, lalu mereka mengiyakan dengan murung.

Sembari menanti, tak banyak yang bisa dilakukan. Kami—yang sekarang ternyata lebih banyak laki-laki daripada perempuannya—hanya bercanda ringan dan mengobrol ngalor-ngidul, sebagian besar tentang prediksi hasil pertandingan Indonesia-Thailand malam ini. Aku sendiri tidak terlalu tertarik dengan pertandingan olahraga, tapi jika untuk menonton TV, harusnya ponsel M**o-ku bisa diandalkan saat ini jika baterainya tidak habis. Dan tentu saja baterainya sekarang habis, seperti selalu. Ck.

Kak Reza menggombali Dinda. Kami tertawa. Lalu kami menguap. Lalu menggaruk. Lalu bergosip. Lalu mengunyah dan menelan. Lalu Kak Reza menggombali Dinda lagi. Lalu kami tertawa lagi, lalu menguap lagi. Begitu terus, hingga suara mesin perahu terdengar di kejauhan dan kami semua berhenti.

Jarum panjang di arlojiku sudah melewati angka 12. Waktu maghrib sudah hampir habis. Aku bulatkan niat untuk menjamak sholat Maghrib-ku ke Isya. Tanpa buang banyak waktu, kami langsung mengangkut barang-barang pribadi dan perlengkapan acara ke atas perahu—yang ternyata lumayan besar setelah diamati lebih dekat. Aku pun naik belakangan, setelah Lulu, Fatma dan Dinda.

Biso berenang dak, dek?”, bisikku pada mereka dari balik pundak Dinda.
 “Idak kak. Kakak biso, kan?”, tanya Dinda berharap.
Aelah. Samo bae berarti”, lalu aku tertawa garing. “Bedoa baelah dek, hahaha”.

Aku meletakkan kedua tasku, lalu duduk di belakang mereka, di geladak bagian belakang. Perahu langsung berangkat setelah mesin dieselnya dipacu beberapa kali. Kini tibalah giliran kami untuk membelah kegelapan Sungai Musi.

Mengapa butuh waktu tempuh yang lama untuk sampai di seberang? Hal tersebut akhirnya terjelaskan bersama rongrong mesin perahu. Dusun yang kami tuju ternyata tidak terletak tepat di seberang kami, namun sedikit lebih jauh ke arah Barat. Dengan kata lain, kami bukan hanya menyeberang, tetapi juga menyusuri Sungai Musi. Ditambah faktor air yang sedang pasang, mungkin arus sungai juga turut andil dalam mempersulit perjalanan kami.

Fatma dan Dinda menatapi langit malam. Aku tertarik untuk mengikutinya, lalu kami pun terenyuh bersama. Kami tengah terapung di atas arus, di suatu sudut Sungai Musi yang sama sekali tidak populer, jika dibandingkan pemandangan Sungai Musi yang ada Jembatan Ampera-nya. Tapi jauh dari rentetan klakson dan gemerlap lampu kota, kami justru menemukan pemandangan lain yang lebih spektakuler. Kami sejatinya tengah pesiar di bawah atap hotel bintang sejuta, digiring suara mesin perahu dan nyanyian jangkrik di hutan di kejauhan. Ingin rasanya menunjuk-nunjuk gemintang di atas, memberi tahu adik-adikku ini rasi bintang yang mana yang namanya apa. Tapi soal astronomi, aku sama dungunya seperti berenang atau membawa sepeda, jadi biarlah begini. Biarlah kami mengagumi langit malam itu dalam ketidaktahuan kami akan semesta. Karena paham atau tidak pun, jutaan gemintang di atas kami tetaplah indah.

Beberapa peserta yang bosan pun menyinari permukaan air sungai. Salah seorang dari kami terkejut, lalu berteriak, mengheningkan peserta-peserta lain yang tengah mengobrol. Ia baru saja melihat buaya. Di tengah sungai berarus deras begini? Tapi ternyata saksi matanya lebih dari seorang.

Liat dak tadi barusan, kak?”, tanya Fatma kepada Lulu, terdengar takut. “Jelas nian, ngambang cak kayu”.

Beberapa bahkan bilang matanya berwarna merah, entahlah. Aku tak sempat lihat. Yang jelas, mereka yang tadinya asyik menyentuh-nyentuhkan kaki ke permukaan air sungai kini meringkuk ke dalam perahu.

Setelah cukup lama berselimut dalam kegelapan, akhirnya tampak beberapa titik cahaya di kejauhan. Kami sudah hampir sampai. Deru mesin perahu pun melambat, lalu perlahan berhenti. Bapak yang mengemudikan perahu melompat ke haluan dan mengeluarkan dayung panjang. Perahu kami merapat ke sebuah dermaga kecil dari beton yang sebagian permukaannya terendam air.

Meski bukan pertama kalinya naik perahu, tapi sejujurnya, saat berpindah dari perahu ke daratan bagiku selalu menakutkan. Sesekali perahu bergoyang karena tidak seimbang menanggung bobot penumpangnya yang berangsur turun. Walau duduk di belakang, aku berusaha tidak jadi yang terakhir meninggalkan perahu.

“Dek, tolong bawaki kardus itu”, pinta seorang panitia—yang tidak kuingat siapa—seraya menunjuk sebuah kardus besar yang tergeletak di dekat kakiku. Seingatku, isinya logistik. Ditambah tas punggung dan satu tas genggam, jelas bawaanku tidak ringan, tapi aku tak bisa menolak. Aku pun berusaha menggotongnya bersama Kak Taqrim—kalau tidak salah ingat—lalu perlahan membawanya keluar perahu yang bergoyang semakin tidak stabil.

BRUK

Tepat di langkah pertama, aku terjatuh—untungnya—ke depan. Beberapa peserta perempuan di belakangku berseru kaget. Sebelah kakiku tercebur ke air karena sandalku licin, tapi Kak Taqrim berhasil menjaga keseimbangan sehingga kardus tersebut tidak jatuh ke air. Tak bisa kubayangkan jika semuanya berantakan gara-gara aku ._. Aku pun buru-buru berdiri dan meneruskan menggotong kardus tersebut, entah kemana, asalkan jauh dari air.

Ya, akhirnya kami tiba di bagian lain dari Desa Karang Anyar! Karena pencahayaan yang masih minim dan baterai kamera fotografer kami yang habis, sayangnya tak ada dokumentasi resmi dari awal mengompreng hingga kami selesai menyeberang. Tapi yang terpenting adalah, akhirnya kami bersama merealisasikan kata ‘Trip’ dari ‘Voluntrip’, tajuk acara kami. Yang tersisa untuk dikerjakan sekarang adalah mempersiapkan diri untuk bagian lainnya, yaitu ‘volunteer’, esok hari. Tugasku dan rekan relawan Bersih-bersih Masjid baru saja akan dimulai.
 

Bersambung (lagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar