Perjalanan saya hari itu mengingatkan saya pada kisah
Borno, si pengemudi perahu tradisional sepit dalam novel “Aku, Kau, dan Sepucuk
Angpau Merah” gubahan Tere-Liye. Meski secara pribadi saya kurang puas dengan
ending ceritanya yang ‘mengambang’, tapi harus saya akui ada beberapa elemen
dalam prosa tersebut yang melekat dengan jelas dalam kepala saya hingga saat
ini, bisa jadi karena kedekatannya dengan kehidupan saya—seorang warga
Palembang—sehari-hari. Elemen-elemen tersebut hadir dalam bentuk deru suara
mesin perahu, air sungai yang kecokelatan, gelombang air yang menyapu tubir
dermaga, juga aroma hio yang menguar dari balik tembok papan rumah panggung
kayu. Iyap! Kami tengah menyelami budaya hidup orang sungai. Bedanya, Borno
hidup di pinggiran Sungai Kapuas, sementara Ong Boen Tjit dan anak-cucunya
hidup di pinggiran Sungai Musi.
Nah, Siapa pula Si Ong Boen Tjit ini?
Saya pun turut memikirkan pertanyaan yang sama hingga
saya temukan jawabannya hari itu.
Berkat informasi dari seorang kolega, hari Ahad lalu
saya berangkat ke dermaga BKB (Benteng Kuto Besak) untuk menemukan jawaban
pertanyaan tersebut, di tengah siang hari yang, kalau meminjam istilah orang Palembang, panas bedengkang. Sesuai dengan yang
dijanjikan pengurus GenPI (Generasi Pesona Indonesia) Sumatera Selatan selaku penyelenggara
acara bertajuk ‘Pasar Baba Boen Tjit’ pada hari itu, maka sebuah perahu ketek
pun datang menghampiri kami di dermaga untuk mengantarkan kami dengan gratis ke
Rumah Ong Boen Tjit yang baru-baru ini sangat tersohor. Moda transportasi yang cuma-cuma
tersebut tentu direspon dengan antusias oleh calon pengunjung Pasar Baba Boen
Tjit.
Perjalanan menggunakan perahu ketek menuju Rumah Baba Boen Tjit di Kelurahan 3-4 Ilir. Kedatangan kami langsung disambut anak-anak penduduk sekitar
Perjalanan kami pun berlangsung singkat. Rasanya
baru lima menit saya duduk di perahu, dan tahu-tahu saja kami semua sudah
bertambat di sisi lain Sungai Musi. Kediaman Ong Boen Tjit ternyata tak terlalu
jauh jika ditempuh lewat jalur air.
Turun dari perahu ketek, saya segera menuju
alun-alun tempat diselenggarakannya Pasar Baba Boen Tjit. Sebuah tirai dari daun
nipah kering tergelar melintang di pintu masuk alun-alun, melambai-lambai ditiup
angin seolah menyambut kedatangan kami.
Alun-alun di depan rumah Ong Boen Tjit yang menjadi lokasi Pasar baba Boen Tjit
Beberapa stand penjual makanan tampak
berjejer di satu sisi, menawarkan berbagai jajanan khas Palembang, mulai dari
penganan ringan seperti kue kumbu, bluder, kemplang dan pempek panggang hingga ke kudapan berat seperti lakso,
celimpungan dan pempek kapal selam. Di sudut lain tampak sebuah panggung kecil,
sementara dihadapannya telah disusun beberapa meja dan kursi berukuran kecil
khusus untuk pengunjung yang akan mengikuti rangkaian kegiatan Pasar Baba Boen
Tjit hingga petang hari nanti.
Sebagai pembukaan, Pasar Baba Boen Tjit menyuguhkan
pentas seni tari, drama dan musik untuk menghibur para pengunjung. Para penari
dari Sanggar Seni Elok Emas dengan piawai membuka acara hari itu dengan menampilkan
Tari Peranakan, ditutup dengan riuh tepuk tangan penonton. Usai tarian,
pengunjung kembali dihibur dengan penampilan musik M-MKR Band dari UIN Raden
Fatah Palembang, lalu diakhiri dengan pementasan drama “Legenda Antu Banyu”
oleh Tim Drama Stisipol Candradimuka Palembang.
Penampilan Tari Peranakan oleh Sanggar Seni Elok Emas
Namun bagi saya, semua rangkaian hiburan tersebut adalah
sekedar appetizer penggelitik perut
sebelum saya mengenyangkan diri dengan hidangan utamanya : the legendary house of Ong Boen Tjit itself!
Sekilas dari seberang alun-alun, rumah Ong Boen Tjit
nampak tak berbeda dari rumah papan milik warga Palembang pada umumnya. Suasana
berbeda saya rasakan saat saya melangkahkan kaki ke teras rumahnya. Sepasang
plang kayu dengan ukiran emas huruf mandarin tampak menggantung vertikal di
kedua sisi pintu masuk rumah. Puluhan pengunjung Pasar Baba Boen Tjit nampak tak henti-hentinya
keluar-masuk pintu. Segera setelah suasana di dalam rumah cukup lengang,
barulah saya dapat masuk dan mengamati keantikan hunian Tionghoa yang berusia
tiga abad tersebut dengan lebih seksama.
Tampak dalam kediaman keluarga Ong Boen Tjit. Dari kiri ke kanan : (1) Pintu masuk ke ruang tengah; (2) altar peribadatan; (3) foto salah satu keturunan Ong Eng Tuan
Pada ruang tamunya yang luas, berbagai foto hitam
putih tampak tergantung dengan anggun di beberapa sisi. Salah satu foto
tersebut bertuliskan ‘Ong Eng Tuan, Saudagar Pedagang Hasil Bumi’. Selidik
punya selidik, nama Ong Boen Tjit yang menjadi cikal bakal tajuk acara Pasar
Baba Boen Tjit hari itu ternyata adalah nama anak bungsu dari Ong Eng Tuan yang
meneruskan usaha keluarganya. Ong Boen Tjit memiliki seorang kakak perempuan
bernama Ong Kui Nio dan seorang kakak laki-laki
bernama Ong Boen Kim, sementara keturunannya yang menghuni dan merawat rumah
besar tersebut saat ini merupakan keturunan generasi ke-8 Ong Boen Tjit.
Tiga bersaudara keturunan Ong Eng Tuan. Dari kiri ke kanan :(1) Ong Kui Nio; (2) Ong Boen Kim; (3) Ong Boen Tjit
Sebagaimana rumah limas—model rumah masyarakat Palembang
dahulu kala—arsitektur Rumah Ong Boen Tjit sendiri tak terlepas dari pengaruh
budaya Melayu Palembang. Bagian dalam rumah Ong Boen Tjit nampak terbagi dalam
beberapa sekat ruangan yang memiliki tingkatan (kijing), menyerupai sistem bengkalis dalam rumah limas. Di masa
lampau, masyarakat Palembang terkenal menjunjung tinggi kehormatan dan derajat
sosial dalam bermasyarakat, sehingga ruangan tempat berkumpul dalam sebuah
rumah pun ditentukan berdasarkan derajat dan kedudukan seorang tamu.
Meski fungsi sekat ruangan pada rumah Ong Boen Tjit
mungkin tidak sama dengan rumah limas, namun terdapat beberapa kemiripan di
antara keduanya. Contohnya seperti pada bagian teras yang dalam budaya
Palembang disebut Pagar Tenggalung, berfungsi sebagai beranda dan tempat
bercengkerama dengan masyarakat sekitar yang berlalu lalang. Rumah Ong Boen
Tjit pun memiliki teras serupa yang dikelilingi pagar. Bagian lain yang serupa
adalah ruang tamu rumah Ong Boen Tjit yang pada rumah limas biasa disebut jogan, tempat berkumpulnya tamu
laki-laki—atau sebagian orang juga percaya sebagai tempat berkumpulnya tamu
dari golongan Kiagus. Perbedaan yang mencolok baru tampak saat memasuki tingkat
ruangan ketiga, tempat tergelarnya sebuah altar peribadatan keluarga Ong Boen
Tjit. Selain di ruangan tengah, sebuah altar lain juga terdapat di ruangan
terakhir yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Dupa yang sebelumnya
dinyalakan menyebarkan aroma harum ke segala penjuru ruangan.
Altar peribadatan keluarga Baba Ong Boen Tjit, lengkap dengan sesajian
buah-buahan dan dupa yang menyala
buah-buahan dan dupa yang menyala
Tiga abad yang lalu, tepatnya pada masa Kesultanan
Palembang Darussalam, tata letak pemukiman Kota Palembang diatur sedemikian
rupa berdasarkan etnis, status sosial dan pekerjaan masyarakat Palembang pada
masa itu. Etnis tionghoa yang pada masa tersebut masih merupakan salah satu
etnis pendatang di Palembang mendapatkan tempat bermukim di pesisir Sungai
Musi, jauh di luar Keraton Kuto Gawang yang merupakan pusat pemerintahan
Palembang. Hal tersebut menyebabkan banyaknya orang tionghoa yang bermukim di
atas rakit. Kenyataan bahwa rumah keluarga Ong Boen Tjit telah berdiri sejak
saat itu sendiri merupakan sebuah keajaiban! Kemampuan keluarga saudagar
tersebut untuk mendirikan rumah panggung permanen yang besar tentu
mengindikasikan bahwa kekayaan keluarganya tidak main-main. Bahkan konon,
kekayaan Ong Boen Tjit begitu melimpah sehingga cukup untuk menghidupi
keturunannya sampai generasi ketujuh.
Setelah puas berkeliling dan mengamati isi rumah Ong Boen Tjit dari dekat, saya pun keluar rumah dan berkeliling alun-alun. Ada hal lain yang berhasil menarik perhatian saya, yaitu peragaan langsung pembuatan perabot dari anyaman daun nipah oleh ibu-ibu setempat. Sama seperti rumah Ong Boen Tjit, kerajinan dari daun nipah tersebut ternyata memiliki nilai historis tersendiri.
“Lah 20
tahun ngegaweke ini. Ilmunyo kami dapet turun-temurun”, ujar Mak Ilun,
salah seorang ibu-ibu pengrajin yang bermukim di wilayah 4 Ulu. “Sampe sekarang kami ngisi (menyetor) barang ke Pasar 16 (Ilir), Pasar Cinde, Pasar Pal
5”, tambahnya seraya terus menganyam. Selain Mak Ilun, masih banyak lagi ibu-ibu
di wilayah 4 Ulu yang bekerja sampingan sebagai pengrajin anyaman daun nipah.
Dari kiri ke kanan : (1) Mak Ilun; (2) Ibu-ibu pengrajin daun nipah dengan hasil pekerjaannya; (3) tampah yang siap dipasarkan
Hasil produksi yang berupa bakul, piring kayu,
tampah (nampan kayu) dan keranjang buah yang cantik dijual dengan harga
berkisar dari 10.000 hingga 15.000 rupiah tergantung jenisnya. Bahan baku daun
nipah sendiri dibeli dari daerah Jalur, Banyuasin. Inisiatif untuk menganyam
daun nipah menjadi bentuk kerajinan bangkit puluhan tahun lalu saat banyaknya
pelepah pohon nipah yang dibuang. “Dulu uong
pake (daun nipah) untuk buat lintingan rokok. Pas lah idak lagi, banyak
daun nipah tebuang. Daripada dibuang lemak ibu-ibu disini buat kerajinan, biso dapet duit”, kisah Mak Ilun. Bukan sekedar
terampil, ibu-ibu setempat mampu menyelesaikan anyaman daun nipah dengan sangat
cepat. Tak sampai satu jam, sebuah keranjang buah tuntas dikerjakan Mak Ilun.
Tak selesai sampai disitu, perhatian saya para
pengunjung kembali tersedot saat Chef Kukuh Jayadi melakukan peragaan memasak
pindang. Dengan didampingi asistennya dan seorang artis cantik, Dinda Kirana, Chef
Kukuh sukses menyajikan empat macam pindang menjelang sore hari itu : pindang
patin, pindang udang, pindang telur gabus dan pindang baung. “Masak udang
jangan kelamaan. Kalau terlalu matang nanti dia jadi terlalu kenyal, kayak
karet”, tipsnya seraya mengaduk isi panci. Usai peragaan memasak, pindang-pindang
tersebut dibagikan pada hadirin acara dan warga sekitar. Soal rasa? Jangan ditanya. Cukup untuk memanjakan lidah--walau porsinya kecil.
Chef Kukuh tengah menuangkan udang ke nampan untuk dibagikan ke pengunjung. Soal rasa masakannya? Hmm, sangat kurang (banyak)
Sumarni Bayu Anita, Ketua Pelaksana Pasar Baba Boen
Tjit turut menyampaikan beberapa harapannya selagi rangkaian acara berlangsung.
“Harapan kami ke depannya Rumah Baba Boen Tjit ini dapat menjadi destinasi
wisata baru bagi masyarakat Kota Palembang”, ungkapnya. Sementara ketika
ditanya kendala apa yang paling besar dalam penyelenggaraan Pasar Baba Boen
Tjit, Mbak Sumarni menyatakan bahwa kesulitannya terdapat pada jarak. “Karena
peserta harus menyeberangi sungai untuk tiba di lokasi acara”, ujarnya. Rumah
Baba Boen Tjit sendiri beralamat lengkap di Lorong Saudagar Yucing No. 55 RT.
050 RW. 002 Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1. Alamat tersebut memungkinkan
untuk dicapai dengan perjalanan darat,
namun letaknya yang cukup jauh dari jalan raya dan tidak dapat dicapai kendaraan
roda empat membuat Rumah Ong Boen Tjit jarang dikunjungi wisatawan. “Semoga
untuk seterusnya program ini dapat menjadi agenda tahunan GenPi Palembang”,
ujar Mbak Marlina.
Sebagai seorang turis lokal, untuk saat ini yang bisa saya lakukan hanyalah meng-amin-kan harapan rekan-rekan GenPI dalam menjadikan Rumah Ong Boen
Tjit destinasi wisata baru, serta membantu menyebarkan tentang nilai jual Rumah Ong Boen Tjit melalui media sosial saya.
Sejatinya, masih banyak sekali
hal yang perlu dibenahi bersama-sama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar agar Rumah Ong Boen
Tjit dapat menjadi tujuan wisata pilihan warga Palembang. Beberapa aspek yang
perlu dibenahi tersebut berkaitan dengan ketersediaan transportasi air dan
dermaga perahu khusus untuk turis, kebersihan lokasi wisata dan ketersediaan
pemandu wisata yang dapat menjabarkan informasi sejarah Rumah Ong Boen Tjit
secara valid. Selain dukungan teknis, pemerintah juga perlu menyertai
penyempurnaan objek wisata baru tersebut dengan strategi-strategi yang ampuh
untuk menarik minat berkunjung warga lokal.
Perjalanan pulang menyusuri Sungai Musi di penghujung hari
Daftar Istilah :
- Bengkalis : Sistem pembagian bagian-bagian dalam rumah limas, rumah tradisional masyarakat Palembang.
- Bluder : Sejenis roti dengan tekstur lembut dan sedikit berminyak. Awalnya merupakan penganan Eropa yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia, seperti kue lekker dan kue kaastangels.
- Hio : Dupa; salah satu media peribadatan penganut Konghucu yang biasanya dibakar dan dipajang di meja altar. Memiliki aroma harum yang khas.
- Kemplang : Sejenis kerupuk ikan. Pada dasarnya berbahan dasar sama dengan adonan pempek, hanya saja digepengkan dan dipanggang di atas bara api sehingga ukurannya mengembang.
- Kijing : Tingkatan-tingkatan ruangan dalam rumah limas.
- Kumbu : Penganan khas Palembang berbahan dasar santan dan kacang merah atau kacang hijau
- Laksan, Lakso, Celimpungan : Berbagai jenis pempek kuah yang ada di Palembang. Perbedaannya terdapat pada bentuk adonan dan warna serta rasa kuahnya masing-masing.
- Panas Bedengkang : Istilah yang sering digunakan orang Palembang untuk menggambarkan suasana panas terik matahari di siang hari.
- Perahu Ketek : Perahu kayu tradisional masyarakat Palembang. Umumnya kini perahu ketek ditenagai mesin diesel kecil sebagai pemutar turbinnya.
- Perahu Sepit : Sebutan orang Kalimantan, khususnya yang bermukim di pesisir Sungai Kapuas untuk perahu sejenis ketek
- Tampah : Nampan tradisional dari anyaman kayu atau pelepah nipah
Referensi :
terpinggirkan_588230b3559373640bbb3e8d
http://www.gosumatra.com/rumah-limas-sumatera-selatan/
https://halallifestyle.id/tourism/ramaikan-atraksi-pinggir-sungai-musi-genpi-sumsel-gelar-pasar-baba-boentjit
https://www.kompasiana.com/sumarnibayuanita/kampung-kapitan-sejarah-palembang-yang-terpinggirkan_588230b3559373640bbb3e8d
Semua
gambar yang dimuat di tulisan ini merupakan hasil dokumentasi pribadi penulis