But this story worths a minute in your life, so you gotta read
it.
Beberapa hari yang lalu aku melihat makhluk lucu satu ini
terlantar tak jauh dari rumahku, bersama dengan saudaranya yang berbulu kuning. Sudah bukan opini lagi jika tanah kosong satu ini menjadi tempat
favorit bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk membuang anak kucing. Seolah
anak kucing itu sampah dan tempat ini TPS-nya.
Aku punya perasaan, tapi aku juga bukan penyayang kucing.
Ini dilematik. Tapi akhirnya kuputuskan untuk membiarkan saja mereka berlarian
kesana-kemari mencari induk mereka—yang sebenarnya tidak ikut dibuang bersama
mereka. Saat itu aku hendak membiarkan alam melaksanakan seleksinya. Masalah
anak-anak kucing ini bisa bertahan atau tidak di alam liar, adalah bagian dari hukum
alam tak terelakkan yang sepenuhnya diatur Tuhan.
Syahdan, tak lama setelah kuketahui keberadaan mereka,
turunlah hujan yang sangat deras. Aku sedang membilas cucian di garasi, ketika
kudengar ngeongan anak kucing yang semakin nelangsa. Aku pasti sudah tidak
punya hati jika kubiarkan mereka di tengah hujan tersebut, maka aku mengambil
payung dan menyongsong suara mereka. Sayangnya, hanya satu anak kucing yang
bisa kutolong waktu itu. Si Kecil Hitam ini kemudian kunamai Mochi.
Aku mengeringkan seluruh tubuhnya dengan handuk dan tisu,
lalu menaruhnya di dalam sebuah kardus yang beralaskan kertas koran. Mochi sangat
lincah, tapi juga sangat kecil. Usianya mungkin belum genap tiga minggu.
Berhubung aku bukan pemungut anak kucing profesional, maka
aku hanya mengurusi Mochi semampuku. Aku menyuapinya susu formula dengan menggunakan
suntikan tinta printer—tanpa jarum, tentu saja. Dia tidak terlalu suka dan
selalu berpaling tiap kali aku suapi.
Sekali lagi, aku bukan pemungut anak kucing profesional.
Mochi mungkin tidak bisa tumbuh dengan baik jika aku yang merawatnya, sehingga
aku mencari orang yang hendak mengadopsi dan merawat Mochi dengan layak.
Syukurlah ada Bunda Kucing @dinaanggraini, yang siap menampung Mochi bersama
belasan—atau puluhan?—anak kucingnya yang lain. Paling tidak jika bersama dia,
Mochi punya banyak teman seangkatan yang bernasib serupa, Mochi tidak akan
kesepian.
Hal aneh mulai kusadari keesokan harinya. Aku menemukan luka
bolong di kaki kiri depannya, bagian tubuh yang sering ia kibas-kibaskan. Aku
tidak terlalu memperhatikan kakinya saat aku mengeringkan tubuh Mochi, tapi
sepertinya luka itu ia peroleh saat masih terlantar. Selain itu, bagian anusnya
tidak pernah kering meski selalu kulap dengan tisu dan kain handuk. Kupikir itu
hanya disebabkan Mochi belum bisa berdikari dalam hal perbokeran karena masih terlalu
kecil. Aku mencoba membantunya dengan tisu yang dibasahi air hangat, namun ia juga
tak kunjung boker. Huft.
Malamnya, Mochi makin jarang bergerak dan bersuara. Ini
sangat mencemaskan. Salah satu instagram
pecinta kucing yang kukontak menyarankanku membawanya ke @zero_animal_clinic,
karena klinik hewan satu ini menyediakan jasa pemeriksaan hewan gratis bagi kucing/
anjing liar yang ditemukan terlantar kurang dari tiga hari. Keesokan paginya,
aku pun membawa Mochi ke klinik tersebut dengan penuh rasa was-was.
Aku menjelaskan dengan singkat kepada dokter tentang apa
yang kutahu soal kondisi Mochi. Salah seorang dokter yang bertugas lalu
mengamati bagian anusnya, lalu berkata dengan cemas : “Di anusnya... ada
belatung”. Aku tercekat. Singkat cerita, belatung itu pun dikeluarkan dari sana.
Dan coba tebak ada berapa belatung? Tujuh ekor. Semuanya bersarang di liang
pembuangan Mochi yang sebenarnya kecil sekali. Aku sempat lemas, tapi juga lega
karena tindakanku membawa Mochi kesini ternyata sudah tepat. Mochi kemudian diberi
salep, vitamin dan suntikan obat.
Mochi yang tidak banyak bergerak setelah diperiksakan ke klinik
Setelah meregistrasikan Mochi, aku memperoleh penjelasan
singkat dari resepsionis. Program Rescue Kucing dan Anjing Liar tersebut
dilakukan untuk menekan jumlah kucing dan anjing terlantar di jalanan
Palembang. Setelah obat Mochi habis, aku harus kembali membawa Mochi ke klinik
tersebut agar Mochi bisa mendapat vaksin dan disterilkan. Obat dan salep Mochi
pun kuperoleh dengan gratis. Terpujilah mereka yang bekerja di Zero Animal
Clinic. Aku pun pulang dengan perasaan tenang, lalu kuserahkan Mochi pada Dina
untuk ia rawat.
Tapi ini bukan cerita berakhir bahagia. Belum 24 jam
setelahnya, Mochi mati. Iya. Setelah semua usaha dengan menghangatkan tubuhnya,
memberinya susu khusus anak kucing, meminumkannya obat dari klinik dan membalurkan
salep pada luka dan anusnya, Mochi tetap tidak bisa bertahan. Kuharap orang
yang membuangnya sekarang dapat membaca tulisan ini dan sadar dengan hasil
perbuatan tangannya. Semoga dia bisa tetap hidup dengan nyaman dan bahagia
setelah membaca ini.
Dan bagi siapa pun yang membaca ini, semoga mata kalian ikut
terbuka. Jika aku lebih cepat sadar dan paham bagaimana cara menyelamatkan
hewan malang seperti Mochi, mungkin Mochi bisa tertolong, bahkan mungkin saudara
berbulu kuningnya juga bisa tertolong.
Gagasan klinik hewan untuk mensterilkan kucing liar pada
awalnya memang terdengar kejam, tapi aku mulai paham. Bayangkan jika semua
kucing terlantar yang dibawa berobat ke klinik tersebut dapat disterilkan, maka
berapa banyak potensi kucing terlantar yang bisa dikurangi? Jika kalian merasa kontra
dengan gagasan ini, ada cara lain untuk memperbaiki keadaan, yaitu dengan memperluas
pandang kita masing-masing. Pertama-tama, JANGAN BUANG ANAK KUCING SEMBARANGAN!
Meski tidak ada surga bagi hewan yang mati, tapi Tuhan Maha
Adil. Mochi tidak perlu lagi merasa sakit, dan ceritanya akan jadi pelajaran
bagiku dan semua orang. Semoga kita semua tidak turut menanggung dosa karena membiarkan
Mochi-Mochi lainnya menderita di sekitar kita.
Hari itu merupakan hari ketiga sekaligus hari terakhir Festival Cap Go Meh di Kampung Kapitan. Aku sudah tak asing lagi dengan nama pemukiman Tionghoa satu ini. Aku pernah mengunjunginya saat masih kelas XI SMA—hampir genap tujuh tahun yang lalu—dan tidak banyak yang bisa kutemui disana, selain dua bubungan rumah unik berarsitektur cina-belanda dan sepetak lapangan kosong tak terurus di depannya. Bahkan sebuah kasur buras dengan gamblang tampak dijemur di beranda salah satu rumah. Apakah Kampung kapitan yang kutuju saat ini adalah tempat yang sama dengan tujuh tahun lalu? Dari beberapa foto ‘paling up’ yang kutemukan di instagram, sepertinya tidak. Kampung Kapitan sudah diresmikan menjadi cagar budaya pada tahun 2013 lalu, dan tentulah Pemkot Palembang telah banyak membenahinya.
Pemandangan Rumah Kapitan dari taman di depannya
Cap Go Meh sendiri pada intinya adalah puncak perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Secara harfiah, Cap Go Meh berarti ‘lima belas malam’, mengacu pada malam ke-15 setelah perayaan Imlek. Cap Go Meh sering pula diidentikkan dengan purnama pertama setelah tahun baru. Dan pada tahun 2018, hari terakhir Cap Go Meh jatuh pada tanggal 2 Maret, hari yang sama ketika aku berdiri di tubir dermaga Benteng Kuto Besak (BKB) dan menunggu sebuah perahu ketek merapat ke daratan.
Sebuah umbul-umbul tampak berkibar-kibar di atap perahu ketek tersebut. “Festival Cap Go Meh Kampung Kapitan”, begitu bunyinya, yang kurang lebih berarti, tidak perlu bayar jika naik perahu itu ke Kampung Kapitan.
Tak lama setelah ketek menempel di bibir dermaga, tiga orang siswi SMA meloncat keluar. “Rame dak dek di seberang?”, tanyaku tiba-tiba, membuat mereka yang tengah bercanda tiba-tiba terdiam. “Lumayanlah”, jawab salah seorang dari mereka. Syukurlah, pikirku. Aku hampir mengira bahwa aku terlambat datang, mengingat siang itu aku satu-satunya manusia yang hendak naik ketek menyeberang ke Kampung Kapitan.
Aku masuk ke perahu ketek yang tak seberapa besar tersebut. Diiringi beberapa tarikan mesin diesel oleh pemilik perahu, maka turbin perahu tersebut berputar, mendorong kami menjauh dari dermaga BKB.
Tentang Kampung Kapitan
Konon di masa Kesultanan Palembang Darussalam dulu, tidak semua masyarakat Kota Palembang diizinkan membangun tempat tinggal di atas darat. Hanya segelintir dari kaum berdarah pribumi yang berhak. Selain itu, adalah kaum-kaum proletar yang hanya diperbolehkan bermukim di atas rumah rakit. Salah satu darinya adalah kaum Tionghoa yang pada saat itu masih menjadi kaum pendatang.
Seiring waktu, kaum Tionghoa yang bermukim di atas rakit terus bertambah jumlahnya, hingga akhirnya mereka mulai merambah tepian Sungai Musi dan membangun rumah panggung. Rumah panggung tersebut kemudian terus bertambah jumlahnya hingga berkembang menjadi sebuah pemukiman. Pun demikian, tidak semua tionghoa pada masa itu mampu membangun rumah panggung. Menegakkan bubungan rumah panggung adalah bukti eksistensial seseorang dalam sebuah tatanan masyarakat, atau dalam kata lain merupakan simbol kekayaan yang tak terbendung. Salah satu tionghoa kaya yang mampu melakukannya pada masa itu adalah Mayor Tjoa Kie Tjuan.
Tanpa menerawang lewat google, sebenarnya tidak banyak hal yang aku ketahui tentang Mayor Tjoa Kie Tjuan ini. Ringkasnya, beliau adalah seorang tionghoa yang pertama kali ditunjuk pemerintah kolonial Belanda sebagai kepala administrasi kependudukan, khusus untuk warga keturunan tionghoa di Palembang. Penunjukkan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda tersebut menyusul runtuhnya Kesultanan Palembang Darussalam pada masa yang sama, yaitu pada tahun 1821-1825. Belanda mengukuhkan kampung tionghoa di Seberang Ulu yang kini dikenal dengan nama Kampung Kapitan demi mempermudah proses administrasi mereka dalam penarikan pajak dan pungutan lainnya dari masyarakat tionghoa. Kata Kapitan sendiri diambil dari nama pangkat yang dimiliki oleh pejabat tionghoa lain setelah Mayor Tjoa Kie Tjuan, yaitu Kapitan Tjoa Ham Lien. Di masa kini, pangkat kapitan tersebut kiranya serupa dengan pangkat kapten. Setidaknya terdapat tiga macam jabatan hierarkis yang mungkin dimiliki oleh pejabat tionghoa, yaitu : mayor, kapitan dan letnan. Nama Kampung Kapitan sendiri diambil dari nama seorang pejabat lain yang berkuasa setelah Mayor Tjoa Kie Tjuan, yaitu Kapitan Tjoa Ham Liem. Kegiatan Kapitan Tjoa Ham Liem dalam melayani masyarakatnya berpusat di rumah panggung utama yang ada di Kampung Kapitan.
Cantiknya Kampung Kapitan Kini
Benar rupanya, Kampung Kapitan sudah bermetamorfosis. Jika dulu hanya ada lapangan kosong tak terurus di depan Rumah Kapitan, maka kini sebuah taman kecil dan tugu dari batu telah hadir mempercantik kampung tersebut. Lagu berbahasa mandarin terdengar saat aku memasuki kompleks Kampung Kapitan, berkejaran dengan aroma hio yang menguar di udara. Puluhan lampion tergantung melintang di berbagai penjuru kampung. Sayangnya aku berkunjung di siang hari, sehingga tidak berkesempatan menyaksikan cantiknya nyala lampion-lampion tersebut. Selain lampion, pemilik Rumah Kapitan dan penyelenggara Festival Cap Go Meh di Kampung Kapitan turut memajang beberapa koleksi bersejarah dari leluhur pemilik rumah, seperti altar sembahyang, sepeda ontel tua, baju khas zaman kekaisaran Tiongkok dan sebuah becak cina (rickshaw) yang dijadikan latar selfie oleh pengunjung festival.
Berbagai stand makanan digelar selama festival. Bagian uniknya adalah, ternyata penyelenggara acara sudah menyiapkan alat pembayaran khusus untuk berbelanja di festival tersebut, berupa uang mainan yang disebut ‘uang kapitan’. Selama festival berlangsung, penjaja makanan di lokasi festival hanya akan menerima pembayaran dalam bentuk uang kapitan tersebut. Uang kapitan sendiri memiliki satuan yang serupa seperti uang rupiah biasa, mulai dari 5 hingga 100. Namun lagi-lagi, karena aku datang di hari terakhir festival, uang kapitan ini sudah tidak banyak dipakai lagi. Walhasil, aku bisa mendapatkan sebotol teh manis dengan membayar 5000 perak saja.
Ada Apa di Dalam Rumah Kapitan?
Puas mengelilingi bagian luarnya, aku pun melangkah masuk ke bagian dalam Rumah Kapitan. Setidaknya kini terdapat lima unit rumah berarsitektur serupa di dalam kompleks Kampung Kapitan, dengan dua diantaranya dijadikan sentral dalam festival ini. Dua rumah utama ini sungguh unik, karena selain bentuknya yang seolah dibuat serupa, keduanya tersambung lewat sebuah selasar kayu yang berfungsi seperti lorong penghubung. Dari jauh, kedua rumah tersebut seolah tampak seperti satu rumah. Usut punya usut, ternyata dulunya pernah berdiri satu rumah lagi yang serupa, sehingga total terdapat tiga rumah kembar yang berjejer, hanya saja rumah ketiga tersebut sudah lama dirobohkan.
Di beranda salah satu rumah, sebuah altar dan sepeda ontel terpajang. Beberapa baris kursi cantik disusun rapi di beranda dan ruang tamunya. Rumah satu ini sengaja dikhususkan untuk tamu-tamu istimewa dalam penutupan Festival Cap Go Meh di Kampung Kapitan tersebut sore harinya kemudian. Sementara di rumah satu lagi yang kayunya berwarna lebih gelap, beberapa meja disusun rapi di dekat pintu masuknya. Tadinya disana telah digelar cek kesehatan gratis bagi masyarakat setempat. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke rumah satu ini saja.
Rumah Kapitan mengingatkanku pada rumah Baba Ong Boen Tjit yang pernah kukunjungi beberapa waktu sebelumnya. Bedanya, Rumah Ong Boen Tjit berbentuk rumah panggung kayu yang berdiri persis di tepian sungai, sementara Rumah Kapitan berdiri di atas tanah yang lebih keras dan tembok lantai dasarnya dibangun dari batu bata. Jelas terdapat asimilasi arsitektur bangunan Belanda, Tionghoa dan Melayu pada Rumah Kapitan. Arsitektur Melayu Palembang tampak pada adanya kekijing (undakan) yang membagi ruangan-ruangan di dalam rumah menjadi beberapa segmen.
Di ruang tamu, terpajang beberapa foto hitam putih dan lukisan. Beberapa bingkai yang tergantung di tembok juga diisi dengan berbagai sertifikat penghargaan dan ucapan terima kasih. Salah satunya menyatakan bahwa Rumah Kapitan diresmikan sebagai cagar budaya sejak tahun 2013. Penghargaan lainnya diberikan oleh berbagai instansi dan lembaga pendidikan yang kerap melakukan kunjungan studi ke Kampung Kapitan setelah peresmian tersebut. Di salah satu sisi rumah juga terdapat infografis sejarah berdirinya Kampung Kapitan, disumbangkan oleh mahasiswa Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Sriwijaya. Kampung Kapitan dibentuk pada tahun 1825, tepat setelah Kesultanan Palembang Darussalam runtuh.
Masuk ke ruangan tengah, sebuah altar persembahan tergelar. Beberapa hio tampak belum lama ditancapkan, seolah berlomba cepat habis dengan lilin-lilin di sekitarnya. Di ruangan berikutnya, terdapat sebuah beranda lain dan ruangan terbuka di tengah rumah. Menurutku pribadi, bagian ini adalah yang paling eksentrik dari Rumah Kapitan, mengingat umur rumah tersebut sendiri sudah hampir mencapai 200 tahun dan model ruangan tersebut sebenarnya terbilang cukup modern—atau setidaknya, sangat familiar dengan desain rumah masa kini. Beranda tempatku berdiri berbentuk persegi panjang, mengitari sepetak lahan kosong tak beratap yang terletak di lantai dasar. Terdapat sepasang tangga di kanan-kiri beranda untuk turun kesana. Di seberang beranda tempatku berdiri, terdapat ruangan lain yang nampak seperti kamar dan ruang keluarga. Di sisi kiri beranda, terdapat dapur yang terbuka, ruang makan dan kamar mandi, sementara sisi di sisi kanan ada selasar kayu yang menghubungkan rumah tersebut dengan Rumah Kapitan lain di sebelahnya.
Di beranda inilah, aku berjumpa dengan Koh Eng Sui, pria ramah berusia 69 tahun yang mengurus rumah tersebut. Eng Sui adalah keturunan ke-14 dari Sang Kapitan itu sendiri. Eng Sui dengan antusias menceritakan berulang-ulang tentang detil dan sejarah Rumah Kapitan kepada tiap pengunjung yang tak henti berdatangan. Ketika ditanya sebanyak apa kira-kira jumlah keluarga Sang Kapitan hingga kini, ia menggambarkannya dengan sebuah analogi.
“Bayangin kereta penumpang jalur Palembang-Lampung, yang satu gerbong bisa muat sampai 60 orang. Nah, semua gerbongnya penuh dari pangkal sampai ujung. Dan itu yang mengisinya baru generasi ke-14 dan ke-15 saja”, tuturnya bersemangat.
Harapan Pasca Festival Cap Go Meh
Seiring dengan waktu, kapitan memang mulai kehilangan fungsi dan perannya dalam masyarakat Palembang. Struktur masyarakat menjadi semakin kompleks dan mengharuskan pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan berbagai reformasi dalam bidang administrasi publik, salah satunya adalah dengan menghapuskan jabatan-jabatan khusus yang berfokus pada ras tertentu.
Namun walau tak lagi aktif berfungsi sebagaimana mestinya, keberadaan Kampung Kapitan nyatanya tetap menancapkan pengaruh yang kuat dalam masyarakat Palembang, khususnya bagi komunitas tionghoa. Pasca kemerdekaan, umat Kong Hu Chu yang hendak melakukan sembahyang Cap Go Meh di Pulau Kemaro biasanya terlebih dahulu mengunjungi Kampung Kapitan. Namun lagi-lagi, tradisi tersebut lambat-laun juga ditinggalkan. Salah satu visi utama dari digelarnya Festival Cap go Meh di Kampung Kapitan adalah untuk menganulir hal tersebut.
Kunjungan turis ke Kampung Kapitan sebenarnya belum terlalu tinggi. Bahkan tidak semua warga Palembang yang bermukim di Seberang Ulu pernah berkunjung ke destinasi wisata bersejarah satu ini. Hal tersebutlah yang hendak diubah oleh Pemkot Palembang melalui Festival Cap Go Meh di Kampung Kapitan. Berbagai teknik promosi yang unik dilancarkan, dimulai dengan transportasi air gratis, uang kapitan, stand dan bazar makanan, kontes foto serta peminjaman pakaian khas Kerajaan Tiongkok. Salah satu hal yang diharapkan ke depannya selain peningkatan kunjungan turis, adalah semakin populernya lagi Kampung Kapitan di antara masyarakat Palembang.
(Artikel yang sama juga dimuat di situs srivijaya.id)