Mochi
Bukan, ini bukan 30 hari bercerita.
But this story worths a minute in your life, so you gotta read
it.
Beberapa hari yang lalu aku melihat makhluk lucu satu ini
terlantar tak jauh dari rumahku, bersama dengan saudaranya yang berbulu kuning. Sudah bukan opini lagi jika tanah kosong satu ini menjadi tempat
favorit bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk membuang anak kucing. Seolah
anak kucing itu sampah dan tempat ini TPS-nya.
Aku punya perasaan, tapi aku juga bukan penyayang kucing.
Ini dilematik. Tapi akhirnya kuputuskan untuk membiarkan saja mereka berlarian
kesana-kemari mencari induk mereka—yang sebenarnya tidak ikut dibuang bersama
mereka. Saat itu aku hendak membiarkan alam melaksanakan seleksinya. Masalah
anak-anak kucing ini bisa bertahan atau tidak di alam liar, adalah bagian dari hukum
alam tak terelakkan yang sepenuhnya diatur Tuhan.
Syahdan, tak lama setelah kuketahui keberadaan mereka,
turunlah hujan yang sangat deras. Aku sedang membilas cucian di garasi, ketika
kudengar ngeongan anak kucing yang semakin nelangsa. Aku pasti sudah tidak
punya hati jika kubiarkan mereka di tengah hujan tersebut, maka aku mengambil
payung dan menyongsong suara mereka. Sayangnya, hanya satu anak kucing yang
bisa kutolong waktu itu. Si Kecil Hitam ini kemudian kunamai Mochi.
Aku mengeringkan seluruh tubuhnya dengan handuk dan tisu,
lalu menaruhnya di dalam sebuah kardus yang beralaskan kertas koran. Mochi sangat
lincah, tapi juga sangat kecil. Usianya mungkin belum genap tiga minggu.
Berhubung aku bukan pemungut anak kucing profesional, maka
aku hanya mengurusi Mochi semampuku. Aku menyuapinya susu formula dengan menggunakan
suntikan tinta printer—tanpa jarum, tentu saja. Dia tidak terlalu suka dan
selalu berpaling tiap kali aku suapi.
Sekali lagi, aku bukan pemungut anak kucing profesional.
Mochi mungkin tidak bisa tumbuh dengan baik jika aku yang merawatnya, sehingga
aku mencari orang yang hendak mengadopsi dan merawat Mochi dengan layak.
Syukurlah ada Bunda Kucing @dinaanggraini, yang siap menampung Mochi bersama
belasan—atau puluhan?—anak kucingnya yang lain. Paling tidak jika bersama dia,
Mochi punya banyak teman seangkatan yang bernasib serupa, Mochi tidak akan
kesepian.
Hal aneh mulai kusadari keesokan harinya. Aku menemukan luka
bolong di kaki kiri depannya, bagian tubuh yang sering ia kibas-kibaskan. Aku
tidak terlalu memperhatikan kakinya saat aku mengeringkan tubuh Mochi, tapi
sepertinya luka itu ia peroleh saat masih terlantar. Selain itu, bagian anusnya
tidak pernah kering meski selalu kulap dengan tisu dan kain handuk. Kupikir itu
hanya disebabkan Mochi belum bisa berdikari dalam hal perbokeran karena masih terlalu
kecil. Aku mencoba membantunya dengan tisu yang dibasahi air hangat, namun ia juga
tak kunjung boker. Huft.
Malamnya, Mochi makin jarang bergerak dan bersuara. Ini
sangat mencemaskan. Salah satu instagram
pecinta kucing yang kukontak menyarankanku membawanya ke @zero_animal_clinic,
karena klinik hewan satu ini menyediakan jasa pemeriksaan hewan gratis bagi kucing/
anjing liar yang ditemukan terlantar kurang dari tiga hari. Keesokan paginya,
aku pun membawa Mochi ke klinik tersebut dengan penuh rasa was-was.
Aku menjelaskan dengan singkat kepada dokter tentang apa
yang kutahu soal kondisi Mochi. Salah seorang dokter yang bertugas lalu
mengamati bagian anusnya, lalu berkata dengan cemas : “Di anusnya... ada
belatung”. Aku tercekat. Singkat cerita, belatung itu pun dikeluarkan dari sana.
Dan coba tebak ada berapa belatung? Tujuh ekor. Semuanya bersarang di liang
pembuangan Mochi yang sebenarnya kecil sekali. Aku sempat lemas, tapi juga lega
karena tindakanku membawa Mochi kesini ternyata sudah tepat. Mochi kemudian diberi
salep, vitamin dan suntikan obat.
Mochi yang tidak banyak bergerak setelah diperiksakan ke klinik
Setelah meregistrasikan Mochi, aku memperoleh penjelasan
singkat dari resepsionis. Program Rescue Kucing dan Anjing Liar tersebut
dilakukan untuk menekan jumlah kucing dan anjing terlantar di jalanan
Palembang. Setelah obat Mochi habis, aku harus kembali membawa Mochi ke klinik
tersebut agar Mochi bisa mendapat vaksin dan disterilkan. Obat dan salep Mochi
pun kuperoleh dengan gratis. Terpujilah mereka yang bekerja di Zero Animal
Clinic. Aku pun pulang dengan perasaan tenang, lalu kuserahkan Mochi pada Dina
untuk ia rawat.
Tapi ini bukan cerita berakhir bahagia. Belum 24 jam
setelahnya, Mochi mati. Iya. Setelah semua usaha dengan menghangatkan tubuhnya,
memberinya susu khusus anak kucing, meminumkannya obat dari klinik dan membalurkan
salep pada luka dan anusnya, Mochi tetap tidak bisa bertahan. Kuharap orang
yang membuangnya sekarang dapat membaca tulisan ini dan sadar dengan hasil
perbuatan tangannya. Semoga dia bisa tetap hidup dengan nyaman dan bahagia
setelah membaca ini.
Dan bagi siapa pun yang membaca ini, semoga mata kalian ikut
terbuka. Jika aku lebih cepat sadar dan paham bagaimana cara menyelamatkan
hewan malang seperti Mochi, mungkin Mochi bisa tertolong, bahkan mungkin saudara
berbulu kuningnya juga bisa tertolong.
Gagasan klinik hewan untuk mensterilkan kucing liar pada
awalnya memang terdengar kejam, tapi aku mulai paham. Bayangkan jika semua
kucing terlantar yang dibawa berobat ke klinik tersebut dapat disterilkan, maka
berapa banyak potensi kucing terlantar yang bisa dikurangi? Jika kalian merasa kontra
dengan gagasan ini, ada cara lain untuk memperbaiki keadaan, yaitu dengan memperluas
pandang kita masing-masing. Pertama-tama, JANGAN BUANG ANAK KUCING SEMBARANGAN!
Meski tidak ada surga bagi hewan yang mati, tapi Tuhan Maha
Adil. Mochi tidak perlu lagi merasa sakit, dan ceritanya akan jadi pelajaran
bagiku dan semua orang. Semoga kita semua tidak turut menanggung dosa karena membiarkan
Mochi-Mochi lainnya menderita di sekitar kita.
Semangat dek. Tulisannya bagus. Menarik. :)
BalasHapus