Kamis, 27 Februari 2020

Sumedang, Bukan Hanya Tahu

Image result for ikon sumedang
Kota Sumedang (sumber : disparbnudpora.sumedangkab.go.id

Dalam setiap perjalanan pulang-pergi ke kampus Unsri yang jaraknya 32 KM dari kota tempat tinggalku, Palembang, mataku selalu disuguhi pemandangan yang serupa : tipikal lanskap kehijauan yang berasal dari lebak, rawa-rawa atau perkebunan warga sekitar Jalan Lintas Palembang-Kayuagung, sesekali dilatari beberapa deret ruko dan minimarket yang  biasanya menjual makanan ringan untuk menemani perjalananku. Dan salah satu makanan ringan tersebut, apalagi kalau bukan tahu Sumedang.

Semua orang tentu sudah mafhum dengan reputasi penganan gurih satu ini. Selain dijual pada gerai-gerai di pinggir jalan lintas provinsi, tahu Sumedang juga kerap dijajakan pedagang asongan di banyak terminal dan SPBU yang ada di sekitar Palembang. Aku pun heran, bagaimana bisa penganan sesederhana tahu bisa membawa nama Kabupaten Sumedang yang ada di seberang lautan sana ke Kota Palembang tempatku tinggal? Karena sejujurnya, jika bukan karena tahu Sumedang, mungkin aku tidak akan tahu apa dan dimana gerangan letak daerah yang bernama Sumedang ini.


Plang Kedai Tahu Sumedang di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. (sumber : foursquare)

Usut punya usut, Sumedang ternyata adalah nama salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Bicara soal Jawa Barat, pikiran semua orang biasanya akan langsung menuju Kota Bandung, Bogor atau Cirebon, bukan Sumedang. Padahal, siapa sangka, Kabupaten Sumedang ternyata merupakan salah satu wilayah administratif yang sudah lama ada di wilayah Jawa Barat, bahkan jauh lebih dulu dari Kota Bandung, sehingga ada banyak jejak sejarah peradaban Pasundan yang menarik untuk ditelusuri di Sumedang. Belum lagi ditambah keindahan alam dan potensi wisatanya yang berlimpah, maka sudah seharusnya Kabupaten Sumedang ini, sebagaimana yang ditargetkan oleh bupatinya, menjadi kabupaten yang maju dan lebih dikenal lewat sektor pariwisatanya.

Apa saja sebenarnya yang membuat kabupaten ini layak dikenal lebih jauh oleh masyarakat Indonesia? Kali ini aku merangkumnya ke dalam beberapa poin, mulai dari sejarah hingga potensi sektor pariwisatanya di masa kini.


Sejarah Singkat Kabupaten Sumedang

Sumedang memiliki sejarah yang tidak singkat. Pada mulanya, Sumedang merupakan sebuah kerajaan yang bernama Tembong Agung, didirikan oleh Prabu Guru Adji Putih yang hidup pada abad ke-14 Masehi di Citembong Girang, Kecamatan Ganeas, Sumedang. Pada gilirannya, Kerajaan Tembong Agung berganti nama menjadi Kerajaan Himbar Buana (secara etimologis berarti menerangi alam), lalu berubah lagi menjadi Sumedang Larang. Konon kata Sumedang berasal dari istilah yang diucapkan oleh Prabu Tadjimalela, penguasa pertama Kerajaan Sumedang Larang, yang berbunyi “Insun Medal”. Terdapat beberapa penafsiran lebih lanjut yang dilakukan beberapa pihak tentang makna Insun Medal. Museum Prabu Geusan Ulun, misalnya, menerjemahkan Insun Medal dari Insun Madangan yang berarti ‘daya terang’. Sementara itu, Prof. Anwas Adiwilaga, berpendapat bahwa Insun Medal berasal dari ‘Sudan Medang’ (Su: bagus dan Medang: sejenis kayu jati yang banyak tumbuh di Sumedang dulu) dan pengertian ini bersifat etimologi. Ada juga yang berpendapat bahwa Insun Medal berarti ‘sesuatu yang tidak ada tandingnya’. Manapun referensinya, Insun Medal kini diabadikan menjadi motto Pemerintah Kabupaten Sumedang.


Image result for insun medal
Logo Kabupaten Sumedang, dengan Motto Insun Medal (sumber : geocities.ws)
Kerajaan Sumedang Larang mencapai kejayaannya di masa kepemimpinan Prabu Geusan Ulun. Pada puncak kejayaannya, Sumedang Larang memiliki daerah kekuasaan yang membujur dari pantai selatan hingga ke pantai utara Pulau Jawa, serta membentang dari Cisadane di barat hingga Kali Brebes di timur. Pada masanya kemudian, Sumedang Larang menjadi anak kerajaan dari Kesultanan Cirebon, yang kemudian berada di bawah kendali Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Asimilasi budaya Sumedang Larang dan Mataram salah satunya bermuara pada perancangan pusat wilayah Sumedang yang mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya, seperti pembuatan alun-alun kota. Di sisi lain, masuknya pengaruh Mataram ke Sumedang menjadikan Sumedang sebagai salah satu pintu masuk penyebaran ajaran Islam di Bumi Pasundan, selain Cirebon dan Banten. Sumedang juga menjadi pusat pemerintahan yang sangat berpengaruh di Jawa Barat, sebelum akhirnya Kota Bandung dibangun pada abad ke-19 oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Wilayah Kabupaten Sumedang terdiri dari gugusan dataran tinggi, dengan Gunung Tampomas sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Sumedang. Sumedang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di sebelah utara, Kabupaten Majalengka di sebelah timur, Kabupaten Garut di selatan, serta Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang di sebelah barat. Sumedang juga dilintasi oleh Jalan Nasional Bandung-Cirebon, sehingga letaknya cukup strategis dan banyak dilalui oleh masyarakat. Kondisi tersebut cukup mendukung Sumedang untuk menjadi destinasi wisata bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang bermukim di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya.
WISATA SEJARAH DAN EDUKASI DI SUMEDANG

Lingga dan Alun-alun Sumedang

Lingga di Alun-alun Sumedang (sumber : travelblog.id)

Sumedang memiliki ciri khas kota kuno di Pulau Jawa, yaitu adanya alun-alun sebagai pusat kota yang dikelilingi Masjid Agung, rumah penjara dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun kota terdapat bangunan yang bernama Lingga, yaitu tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922 oleh Pangeran Siching dari Belanda yang dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeria Atmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Hingga saat ini, Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.

Kini, alun-alun Sumedang memainkan peran yang serupa dengan Kota Tua Jakarta atau Alun-alun Semarang, yaitu sebagai titik kumpul bagi masyarakat maupun turis yang menyambangi Kabupaten Sumedang. Di sekitar alun-alun Sumedang, siapapun bisa dengan mudah menemukan kuliner khas Sumedang, seperti Soto Bongko. Selain itu, alun-alun Sumedang juga dapat menjadi titik awal untuk mempelajari sejarah Sumedang bagi turis dari luar wilayah Sumedang, karena letaknya yang berada tepat di tengah Kabupaten Sumedang dan berdekatan dengan objek-objek bangunan bersejarah lainnya.

Museum Geusan Ulun

Museum Prabu Geusan Ulun pada awalnya dibentuk oleh Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), yaitu lembaga yang mengurus, memelihara dan mengelola barang-barang wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja yang dulu menjabat Bupati Sumedang pada periode 1882 –1919.


Image result for museum geusan ulun
Tampak salah satu bangunan Museum Prabu Geusan Ulun (sumber : situsbudaya.id)
Museum ini pada awalnya bernama Museum Wargi-YPS yang didirikan pada tahun 1973 dan hanya dibuka untuk kalangan para wargi, yaitu keturunan dan seketurunan leluhur Pangeran Sumedang saja. Pada tahun 1974, Seminar Sejarah Jawa Barat sempat digelar di Sumedang. Seminar yang dihadiri ahli-ahli sejarah Jawa Barat tersebut menjadi momentum bagi YPS dan wargi keturunan dan seketurunan leluhur Pangeran Sumedang untuk mengganti nama museum tersebut menjadi Museum Prabu Geusan Ulun, yang menggunakan nama raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang.
Hingga kini, Museum Prabu Geusan Ulun masih aktif beroperasi dan memamerkan berbagai jenis koleksi benda bersejarah mereka, meliputi koleksi objek-objek geologi, arkeologi, antropologi hingga filologi. Koleksi andalan Museum Prabu Geusan Ulun adalah Mahkota Binokasih dan Siger emas peninggalan langsung dari Raja Prabu Geusan Ulun yang berkuasa pada 1578 – 1601 masehi.



Image result for mahkota binokasih sumedang
Mahkota Binokasih Sanghyang Pake, salah satu koleksi andalan Museum Prabu Geusan Ulun (sumber : wikipedia)
Selain memajang inventaris peninggalam kerajaan Sumedang Larang, Museum Prabu Geusan Ulun juga berperan memelihara nilai budaya Sumedang lewat pengadaan pelatihan tari klasik, silat dan gamelan untuk anak-anak dan remaja setempat. Pihak museum juga rutin mengadakan Kirab Pusaka Leluhur Sumedang tiap tahunnya menjelang Bulan Maulud.


WISATA ALAM DI SUMEDANG
Bendungan Jatigede

Wacana pembangunan Bendungan Jatigede sebenarnya sudah ada sejak masa pendudukan Belanda di Sumedang. Rencana pembangunannya baru kembali menyeruak pada tahun 1963, tenggelam lagi, lalu muncul lagi pada tahun 2008, dimana bendungan ini akhirnya benar-benar mulai dibangun. Pembangunan bendungan ini menelan total dana mencapai US$ 467 juta.
Meski biaya pembangunannya amat mahal, bendungan dengan luas area 3035,34 hektar ini sukses menjadi bendungan terbesar kedua di Indonesia dan Asia Tenggara. Bendungan Jatigede menggenangi empat kecamatan di Sumedang, yaitu Kecamatan Jatigede, Kecamatan Jatinunggal, Kecamatan Wado dan Kecamatan Darmaraja, serta‎mampu mengairi lahan seluas 90.000 hektar, meliputi 24 kecamatan di Kabupaten Indramayu, Majalengka dan Cirebon. Bendungan Jatigede juga digunakan sebagai sarana penyediaan air baku, media pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 110 MW dan produksi listrik rata-rata 580 GWH/tahun dan sebagai pengontrol banjir di daerah sekitar sungai Cimanuk bagian hilir seluas 14.000 hektar.


Image result for bendungan jatigede
Bendungan Jatigede (sumber : Nufus Nita Hidayati/ANTARA)
Selain memiliki manfaat teknis, Waduk Jatigede juga menawarkan keindahan alam yang terbentuk akibat proses penggenangan. Puncak-puncak bukit, seperti Tanjung Duriat yang berada di area genangan berpadu dengan hamparan air menciptakan pemandangan yang indah. Keindahan latar tersebut menjadikan Bendungan Jatigede sebagai situs pariwisata potensial bagi Sumedang.

Bendungan Jatigede juga kerap menjadi lokasi penyelenggaraan HardFest Pesona Jatigede, festival budaya dan pariwisata tahunan yang diselenggarakan pemerintah setempat dan Disbudpar Jawa Barat untuk mempromosikan potensi pariwisata Sumedang bagi turis lokal maupun mancanegara. Tahun ini, HardFest secara khusus bertujuan mendukung kampanye promosi  Bendungan Jatigede sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) potensial Jawa Barat di masa mendatang. Jika Bendungan Jatigede berhasil menjadi KEK, maka ia akan menjadi KEK pertama yang dimiliki Provinsi Jawa Barat.

Perkebunan Teh di Sumedang Selatan

Mengingat topografi wilayahnya yang tinggi, tidak mengherankan jika Sumedang memiliki banyak kebun teh. Pemandangan hijau kebun teh salah satunya dapat dijumpai di wilayah perkebunan teh Margawindu, di Perbukitan Margawindu, Desa Citengah. Perkebunan teh peninggalan Belanda ini berada di sisi selatan pusat Kabupten Sumedang dan dapat dicapai dalam kisaran waktu tempuh hanya 45 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jalan menuju Perkebunan Margawindu juga melalui tempat wisata lain, seperti Wisata Air Cibingbin dan Air Terjun Cigorobog.


Image result for kebun teh margawindu
Pemandangan di Perkebunan Teh Margawindu (sumber : sumedangtandang.com)
Selain Margawindu, kebun teh lainnya di Sumedang juga dapat ditemui di wilayah Cibubut dan Cisoka, Sumedang Selatan. Sebagian besar kebun teh di Sumedang dimiliki dan dikelola oleh warga, sehingga tidak dibutuhkan tiket untuk masuk dan menikmati pemandangannya dari dekat. Kondisi tersebut juga dapat dijadikan alasan untuk menjalin interaksi antara turis dan warga setempat yang mengelola kebun teh tersebut.


Taman Hutan Raya Gunung Kunci

Jawa Barat memiliki tiga Taman Hutan Raya (Tahura), yakni Tahura Djuanda di Bandung, Tahura Pancoran Mas di Depok, serta Tahura Gunung Kunci dan Gunung Palasari di Sumedang. Tahura Gunung Kunci terletak berdampingan dengan Tahura Gunung Palasari dan hanya dipisahkan jalan raya. Meski disebut ‘gunung’, Tahura Gunung Kunci sebenarnya hanya berupa sebuah bukit kecil. Di dalam kawasan Gunung Kunci, terdapat bangunan bersejarah berwujud  sebuah benteng pertahanan yang dulunya dibangun Pemerintah Kolonial Belanda.

Image result for gunung kunci
Taman Hutan Raya Gunung Kunci, Sumedang (sumber : gpswisataindonesia.info)
Tahura Gunung Kunci sudah dijadikan objek wisata alam yang dikelola oleh Perum Perhutani sejak tahun 2004. Tahura dengan luas 3,67 hektar ini bersebelahan dengan kawasan Gunung Palasari yang luasnya 31,22 hektar. Konon, Belanda membangun benteng pertahanan di Gunung Kunci untuk mengawasi kegiatan pemerintahan pribumi, mengingat posisi benteng Gunung Kunci yang langsung menghadap ke arah alun-alun Sumedang dari puncak bukit.
Dalam catatan sejarah, benteng Gunung Kunci disebut Pandjoenan. Namun masyarakat sekitar mengenalnya sebagai Gunung Kunci. Mungkin merujuk pada simbol kunci dan tulisan G. Kuntji pada muka goa.

Hingga kini, gua tempat pertahanan yang ditinggalkan Belanda masih ada dan dapat dimasuki pengunjung Tahura Gunung Kunci. Namun sayang, kerusakan konstruksinya membuat bagian dalam gua tersebut menjadi gelap dan lembab. Warga setempat percaya kerusakan gua tersebut terjadi karena Belanda sengaja menghancurkannya saat penjajah Jepang menduduki Sumedang, namun ada versi cerita lain yang menyatakan bahwa gua tersebut rusak karena serangan Jepang.

Image result for gunung kunci
Pintu Masuk ke benteng yang ada di Gunung Kunci (sumber : radarcirebon.com)
Tahun 2019 lalu, beberapa investor sempat melirik potensi pengembangan Tahura Gunung Kunci menjadi situs wisata alam, karena terlepas dari keberadaan bentengnya, Gunung Kunci menawarkan pemandangan hijau yang asri dari puncak bukitnya. Peluang tersebut dapat diambil dan dimanfaatkan Pemkab Sumedang untuk mengembangkan objek wisata tahura yang lebih modern, namun tetap mempertahankan kealamian dan keasriannya.


Wisata Air Terjun (Curug)


Image result for air terjun cigorobog
Pemandangan Curug Cigorobog (sumber : qupas.id)
Kondisi geografis Sumedang yang dikepung dataran tinggi memberikan Sumedang banyak wisata alam yang spektakuler. Salah satunya adalah wisata curug atau air terjun. Terdapat setidaknya 10 wisata air terjun populer di seluruh Kabupaten Sumedang, antara lain Curug Cinulang, Curug Dipongkor, Curug Cigorobog, Curug Sabuk, Curug Ciputrawangi, Curug Gorobog, Curug Ciwalur, Curug Kencana, Curug Cihonje dan Curug Cigarugak.


Gunung Tampomas

Pada awalnya, Gunung Tampomas dikenal penduduk sekitar dengan nama Gunung Gede. Gunung Tampomas diulas di dalam naskah kuno Bujangga Manik yang ditulis pada abad ke-15. Nama ‘tampomas’ konon mulai digunakan sejak kejadian meletusnya gunung tersebut pada masa silam. Mengetahui bencana yang mungkin ditimbulkan letusan gunungnya, seorang pangeran dari Kerajaan Sumedang Larang menaiki puncak gunung tersebut dan menancapkan kujang emas miliknya di puncak gunung tersebut. Sejak saat itulah, nama ‘tampomas’ yang berarti ‘menerima emas’ digunakan untuk menyebut Gunung Tampomas.

Image result for gunung tampomas
Gunung Tampomas alias Gunung Gede (sumber : radarcirebon.com)

Selain itu, berbagai legenda klenik lainnya turut mewarnai kisah tentang Gunung Tampomas. Prabu Siliwangi, salah satu raja Kerajaan Pajajaran konon pernah melakukan pertapaan di Gunung Tampomas. Legenda tesebut kerap dikait-kaitkan warga sekitar dengan keberadaan beberapa situs bebatuan yang ada di Gunung Tampomas, seperti Batu Kasur yang dipercaya sebagai tempat beristirahat Prabu Siliwangi dalam bertapaannya.

Puncak Gunung Tampomas berada di ketinggian 1.684 meter di atas permukaan laut, menjadikannya dataran tertinggi yang ada di Kabupaten Sumedang. Terlepas dari segala kisah-kisah mistis yang menyertainya, Gunung Tampomas adalah destinasi wisata alam yang sayang sekali dilewatkan siapapun yang mengunjungi Sumedang, terutama turis yang menggemari olahraga hiking. Pemandangan Kota Sumedang dapat terlihat jelas dari puncak Gunung Tampomas. Kondisi hutannya yang masih asri dan udaranya yang bersih menawarkan alternatif baru dalam menikmati indahnya alam Sumedang.


WISATA KULINER DI SUMEDANG

Soto Bongko
Selain wisata alamnya yang mempesona, Sumedang juga diperkaya dengan keberadaan kuliner khasnya. Sebagaimana wilayah lain di Jawa, Sumedang pun memiliki soto khasnya sendiri yang dinamai Soto Bongko. Nama bongko sendiri berarti ‘gumpalan besar’, mengacu pada lontong berukuran jumbo yang menjadi komposisi utamanya. Secara umum, soto bongko yang dijual di Sumedang dibuat dari paduan lontong, tahu, taoge rebus, bawang goreng dan kuah kari kental yang gurih. Penikmat soto bongko juga dapat menambahkan kecap manis sesuai selera. Soto bongko yang dapat dengan mudah ditemui di sekitar alun-alun Sumedang dan Pasar Sumedang ini biasanya disajikan dengan kerupuk emping dan sambal sebagai pelengkap.


Image result for soto bongko sumedang
Soto Bongko khas Sumedang, dengan kupat tahu dan kuah kari kental (sumber : rancahpost.com)
Salah satu warung soto bongko yang ramai dikunjungi pembeli adalah warung Soto Bongko Rusnandar yang ada di Pasar Sumedang. Kepada pembelinya yang tidak suka kuah santan, Rusnandar juga menawarkan soto bongko dengan kuah kacang. Kuliner ini biasanya disantap sebagai sarapan, namun tidak jarang juga warga Sumedang menikmatinya untuk makan siang.

Kopi Sumedang
Sebagai wilayah dengan topografi dataran tinggi, tidak mengherankan jika Sumedang memiliki produk kopi arabikanya sendiri. Bahkan di masa lampau, kopi Sumedang sempat diekspor ke Negeri Kincir Angin, Belanda. Meski demikian, kini pamor kopi Sumedang tidak lagi mentereng. Penggemar kopi dari seluruh Indonesia lebih mengenal produk kopi Gayo dan Toraja. Bahkan banyak pengunjung Sumedang yang tidak mengetahui bahwa Sumedang memiliki komoditas kopi andalannya sendiri.
Image result for kopi sumedang
Ilustrasi kopi arabika Sumedang (sumber : trubus.id)
Tahun lalu, KBRI Pretoria bekerjasama dengan PT. Pupuk Kujang mendatangkan Kopi Geulis, UMKM dari Kota Sumedang untuk mengikuti salah satu pameran kopi dan cokelat terbesar di dunia yang sudah ketujuh kalinya diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan. Pameran ini setiap tahunnya berhasil menarik minat kurang lebih 30.000 pengunjung dan diikuti oleh lebih dari 230 peserta yang berasal dari industri hospitality, coffee maker manufacturer dan restoran. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan dalam  memperkenalkan kembali kopi Sumedang kepada pasar internasional. Selain itu, Kopi Geulis Kopi Sumedang juga memenangkan predikat gold untuk tingkat nasional pada Agroofood & Halal Expo 2019 di Senayan, Jakarta.

Tak dinyana, Kabupaten Sumedang sebenarnya adalah salah satu dari empat sentra penghasil kopi arabika di Jawa Barat sejak perkebunan kopi didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kota Sumedang juga berusaha mengejar ketertinggalan tersebut dengan membuka Jurusan Kopi di salah satu sekolah kejuruan di daerahnya, sekolah pertama dan percontohan di Indonesia.
Produksi kopi yang dihasilkan masyarakat Sumedang dalam setahun rata-rata tidak kurang dari 300 ton. Namun, 95% produksi kopi Sumedang dijual petani secara gelondongan ke luar daerah hingga mancanegara dengan harga Rp. 6500/kg (matang dari kebun). Harga jual tersebut berada jauh di bawah harga jual olahan roasting kopi tersebut yang dapat mencapai Rp. 200.000/kg.

Demi meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, kesejahteraan petani kopi dan kemajuan industri kopi Sumedang, pemerintah dapat mengambil langkah strategis, dimulai dengan pengenalan kembali kopi Sumedang bagi masyarakat Sumedang itu sendiri. Pengenalan tersebut dapat dilakukan dengan langkah-langkah awal yang sederhana, seperti mengganti produk kopi kemasan yang biasa diminum di lingkungan dinas dan pemerintahan Kabupten Sumedang dengan kopi arabika Sumedang yang diproduksi langsung oleh petani kopi Sumedang. Sementara di sisi hulu industri kopi, pemerintah dapat memfasilitasi petani kopi dalam mencari pasar yang sesuai, serta meningkatkan kapasitas mereka untuk dapat menjual produk kopi dalam kemasan dan cap dagangnya sendiri, sehingga nilai tambah produk kopi Sumedang dapat menjadi lebih tinggi.


Image result for kopi sumedang
Kopi Geulis, salah satu produk UMKM andalan Sumedang dalam pameran produk kopi dan cokelat di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2019 lalu (sumber : kastara.id)

Saat ini, sudah banyak pengusaha yang berusaha memperkenalkan kembali kopi Sumedang dengan membuka kedai kopi di wilayah Kabupaten Sumedang. Contohnya adalah Kedai Kopi 151 di Jalan Prabu Geusan Ulun No.151 dan Waroeng Kopi Boehoen di Jalan Mayor Abdurrahman nomor 138, Sumedang.

Tahu Sumedang
Kuliner Sumedang yang paling populer tentu saja adalah tahu Sumedang. Tahu goreng gurih yang biasa disajikan dengan sambal petis ini pada awalnya dijual oleh keluarga imigran Tiongkok di Sumedang di bawah naungan nama ‘Tahu Bungkeng’.


Image result for tahu bungkeng
Tahu sumedang goreng (sumber : ksmtour.com)
Sejarah kepopuleran Tahu Bungkeng dimulai sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1917.  Seorang warga keturunan Tionghoa, Ong Kino, pada mulanya mengolah tahu goreng untuk dinikmati bersama kerabat terdekatnya saja. Namun pada suatu ketika, saat Ong Kino sedang menggoreng tahu di depan rumahnya, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Soeria Atmadja kebetulan sedang berlalu di depan rumahnya dengan mengendarai sebuah dokar. Penasaran dengan apa yang dimasak Ong Kino, Sang Bupati pun berhenti di depan rumah Ong Kino dan mencicipi tahu buatannya. Sang Bupati, yang konon perkataannya bertuah dan kerap jadi kenyataan, ternyata menyukai penganan berbahan baku kedelai tersebut. Sang Bupati pun menyarankan agar Ong Kino menjual dan memasarkan tahu tersebut, karena menurut Sang Bupati, tahu tersebut pasti akan laku keras. Semenjak saat itu, Ong Kino mulai menjual tahu Sumedang dengan nama Tahu Bungkeng, dan dagangannya selalu ramai dirubung pengunjung.

Hingga kini,kedai Tahu Bungkeng masih beroperasi di Sumedang, tepatnya di Jalan Sebelas April No. 53, Kotakaler, Kecamatan Sumedang Utara. Usaha yang berusia lebih dari 100 tahun itu kini diteruskan oleh Suriadi, cucu dari Ong Kino. Meski kini ada banyak gerai tahu Sumedang lain yang berjualan di seluruh Sumedang dan Indonesia, Suriadi tidak ambil pusing. Ia dan usahanya hanya berfokus dalam menjaga keaslian dan kelezatan citarasa resep tahu yang diwariskan keluarga kakeknya. Suriadi pun kerap turun tangan dalam mengolah langsung dagangannya, mulai dari perendaman kedelai hingga proses penggorengan.


Image result for tahu bungkeng
Suasana di Kedai Tahu Bungkeng Sumedang yang tengah ramai dijunjungi pembeli (sumber : rajarasa.id)

Selain rasanya yang gurih, tekstur tahu Sumedang juga unik karena renyah di bagian luar, namun empuk di dalam. Keunikan lainnya juga terdapat dalam pengemasannya. Tahu Sumedang yang dijual dalam jumlah besar biasanya dikemas dalam wadah anyaman bambu yang bernama bongsang, semacam keranjang yang dapat menampung 25 hingga 100 buah tahu. Harganya pun terjangkau. Satu porsi tahu Sumedang yang berisi 20 tahu umumnya hanya dihargai Rp. 10.000.


Keindahan alam, keragaman kuliner dan dalamnya jejak sejarah yang ada di Sumedang menjadikan Kabupaten di Jawa Barat ini sebagai destinasi wisata potensial di masa mendatang, baik bagi turis lokal maupun mancanegara. Sudah saatnya semua orang melirik Sumedang, bukan hanya karena tahunya, tapi karena seluruh hal yang bisa ditawarkan Sumedang selain tahunya yang gurih dan menggoda. Karena sebagaimana tahu Sumedang itu sendiri, Kabupaten Sumedang seperti menunggu untuk dicicipi.



REFERENSI :

https://beritabaik.id/read?editorialSlug=gallery-foto&slug=1544662858660-pesona-keindahan-waduk-jatigede-sumedang

http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/276/222

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sumedang

https://jurnalbumi.com/blog/taman-hutan-raya-gunung-kunci/

https://kemlu.go.id/portal/id/read/495/berita/indonesia-perkenalkan-kopi-sumedang-dalam-pameran-kopi-cokelat-terbesar-di-afrika

http://sumedangtandang.com/sumedang/profil/sejarah.html

http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Profil%20Museum%20Prabu%20Geusan%20Ulun%20Sumedang.pdf

https://www.genpi.co/travel/7380/menguak-fakta-tersembunyi-gunung-tampomas

http://www.indramayujeh.com/berita-terbaru/sumedang-miliki-biji-kopi-terbaik/

https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/kuliner/15/11/13/nxqjwk365-sejarah-lahirnya-tahu-sumedang

https://www.wartakini.co/2016/12/sudut-indah-kota-sumedang-sang-insun-medal


Thresnawaty S., Euis. (2011). Sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Patanjala , Vo.3, No.1 : 154-168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar