Kota Sumedang (sumber : disparbnudpora.sumedangkab.go.id) |
Dalam setiap perjalanan pulang-pergi ke kampus Unsri yang jaraknya 32 KM dari kota tempat tinggalku, Palembang, mataku selalu disuguhi pemandangan yang serupa : tipikal lanskap kehijauan yang berasal dari lebak, rawa-rawa atau perkebunan warga sekitar Jalan Lintas Palembang-Kayuagung, sesekali dilatari beberapa deret ruko dan minimarket yang biasanya menjual makanan ringan untuk menemani perjalananku. Dan salah satu makanan ringan tersebut, apalagi kalau bukan tahu Sumedang.
Semua orang tentu sudah mafhum dengan
reputasi penganan gurih satu ini. Selain dijual pada gerai-gerai di pinggir
jalan lintas provinsi, tahu Sumedang juga kerap dijajakan pedagang asongan di
banyak terminal dan SPBU yang ada di sekitar Palembang. Aku pun heran,
bagaimana bisa penganan sesederhana tahu bisa membawa nama Kabupaten Sumedang
yang ada di seberang lautan sana ke Kota Palembang tempatku tinggal? Karena
sejujurnya, jika bukan karena tahu Sumedang, mungkin aku tidak akan tahu apa
dan dimana gerangan letak daerah yang bernama Sumedang ini.
Plang Kedai Tahu Sumedang di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. (sumber : foursquare) |
Usut punya usut, Sumedang ternyata
adalah nama salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Bicara soal Jawa
Barat, pikiran semua orang biasanya akan langsung menuju Kota Bandung, Bogor
atau Cirebon, bukan Sumedang. Padahal, siapa sangka, Kabupaten Sumedang
ternyata merupakan salah satu wilayah administratif yang sudah lama ada di
wilayah Jawa Barat, bahkan jauh lebih dulu dari Kota Bandung, sehingga ada
banyak jejak sejarah peradaban Pasundan yang menarik untuk ditelusuri di
Sumedang. Belum lagi ditambah keindahan alam dan potensi wisatanya yang
berlimpah, maka sudah seharusnya Kabupaten Sumedang ini, sebagaimana yang
ditargetkan oleh bupatinya, menjadi kabupaten yang maju dan lebih dikenal lewat
sektor pariwisatanya.
Apa saja sebenarnya yang membuat
kabupaten ini layak dikenal lebih jauh oleh masyarakat Indonesia? Kali ini aku merangkumnya ke dalam beberapa poin, mulai dari sejarah hingga potensi sektor
pariwisatanya di masa kini.
Sejarah
Singkat Kabupaten Sumedang
Sumedang memiliki sejarah
yang tidak singkat. Pada mulanya, Sumedang merupakan sebuah kerajaan yang
bernama Tembong Agung, didirikan oleh Prabu Guru Adji Putih yang hidup pada
abad ke-14 Masehi di Citembong
Girang, Kecamatan Ganeas, Sumedang. Pada gilirannya, Kerajaan Tembong Agung
berganti nama menjadi Kerajaan Himbar Buana (secara etimologis berarti menerangi
alam), lalu berubah lagi menjadi Sumedang Larang. Konon kata Sumedang berasal
dari istilah yang diucapkan oleh Prabu Tadjimalela, penguasa pertama Kerajaan
Sumedang Larang, yang berbunyi “Insun Medal”. Terdapat beberapa penafsiran
lebih lanjut yang dilakukan beberapa pihak tentang makna Insun Medal. Museum
Prabu Geusan Ulun, misalnya, menerjemahkan Insun Medal dari Insun Madangan yang
berarti ‘daya terang’. Sementara itu, Prof. Anwas Adiwilaga, berpendapat bahwa
Insun Medal berasal dari ‘Sudan Medang’ (Su: bagus dan Medang: sejenis kayu jati
yang banyak tumbuh di Sumedang dulu) dan pengertian ini bersifat etimologi. Ada
juga yang berpendapat bahwa Insun Medal berarti ‘sesuatu yang tidak ada
tandingnya’. Manapun referensinya, Insun Medal kini diabadikan menjadi motto
Pemerintah Kabupaten Sumedang.
Logo Kabupaten Sumedang, dengan Motto Insun Medal (sumber : geocities.ws) |
Kerajaan Sumedang Larang
mencapai kejayaannya di masa kepemimpinan Prabu Geusan Ulun. Pada puncak
kejayaannya, Sumedang Larang memiliki daerah kekuasaan yang membujur dari
pantai selatan hingga ke pantai utara Pulau Jawa, serta membentang dari Cisadane
di barat hingga Kali Brebes di timur. Pada
masanya kemudian, Sumedang Larang menjadi anak kerajaan dari Kesultanan
Cirebon, yang kemudian berada di bawah kendali Kesultanan Mataram yang dipimpin
oleh Sultan Agung. Asimilasi budaya Sumedang Larang dan Mataram salah satunya
bermuara pada perancangan pusat wilayah Sumedang yang mengikuti pola dasar
kota-kota Mataraman lainnya, seperti pembuatan alun-alun kota. Di sisi lain,
masuknya pengaruh Mataram ke Sumedang menjadikan Sumedang sebagai salah satu
pintu masuk penyebaran ajaran Islam di Bumi Pasundan, selain Cirebon dan Banten.
Sumedang juga menjadi pusat pemerintahan yang sangat berpengaruh di Jawa Barat,
sebelum akhirnya Kota Bandung dibangun pada abad ke-19 oleh Pemerintah Kolonial
Belanda.
Wilayah
Kabupaten Sumedang terdiri dari gugusan dataran tinggi, dengan Gunung Tampomas
sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Sumedang. Sumedang berbatasan dengan
Kabupaten Indramayu di sebelah utara, Kabupaten Majalengka di sebelah timur,
Kabupaten Garut di selatan, serta Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang di
sebelah barat. Sumedang juga dilintasi oleh Jalan Nasional Bandung-Cirebon,
sehingga letaknya cukup strategis dan banyak dilalui oleh masyarakat. Kondisi
tersebut cukup mendukung Sumedang untuk menjadi destinasi wisata bagi
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang bermukim di wilayah Jawa Barat
dan sekitarnya.
WISATA
SEJARAH DAN EDUKASI DI SUMEDANG
Lingga dan Alun-alun Sumedang
Lingga di Alun-alun Sumedang (sumber : travelblog.id) |
Sumedang memiliki ciri khas kota kuno di Pulau Jawa, yaitu adanya alun-alun sebagai pusat kota yang dikelilingi Masjid Agung, rumah penjara dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun kota terdapat bangunan yang bernama Lingga, yaitu tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922 oleh Pangeran Siching dari Belanda yang dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeria Atmadja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Hingga saat ini, Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Kini, alun-alun
Sumedang memainkan peran yang serupa dengan Kota Tua Jakarta atau Alun-alun
Semarang, yaitu sebagai titik kumpul bagi masyarakat maupun turis yang
menyambangi Kabupaten Sumedang. Di sekitar alun-alun Sumedang, siapapun bisa
dengan mudah menemukan kuliner khas Sumedang, seperti Soto Bongko. Selain itu,
alun-alun Sumedang juga dapat menjadi titik awal untuk mempelajari sejarah
Sumedang bagi turis dari luar wilayah Sumedang, karena letaknya yang berada
tepat di tengah Kabupaten Sumedang dan berdekatan dengan objek-objek bangunan bersejarah
lainnya.
Museum
Geusan Ulun
Museum Prabu Geusan Ulun pada awalnya
dibentuk oleh Yayasan Pangeran Sumedang (YPS), yaitu lembaga yang mengurus, memelihara
dan mengelola barang-barang wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja yang dulu
menjabat Bupati Sumedang pada periode 1882 –1919.
Tampak salah satu bangunan Museum Prabu Geusan Ulun (sumber : situsbudaya.id) |
Museum ini pada awalnya bernama Museum
Wargi-YPS yang didirikan pada tahun 1973 dan hanya dibuka untuk kalangan para
wargi, yaitu keturunan dan seketurunan leluhur Pangeran Sumedang saja. Pada tahun
1974, Seminar Sejarah Jawa Barat sempat digelar di Sumedang. Seminar yang
dihadiri ahli-ahli sejarah Jawa Barat tersebut menjadi momentum bagi YPS dan
wargi keturunan dan seketurunan leluhur Pangeran Sumedang untuk mengganti nama
museum tersebut menjadi Museum Prabu Geusan Ulun, yang menggunakan nama raja
terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang.
Hingga kini, Museum Prabu Geusan Ulun
masih aktif beroperasi dan memamerkan berbagai jenis koleksi benda bersejarah
mereka, meliputi koleksi objek-objek geologi, arkeologi, antropologi hingga
filologi. Koleksi andalan Museum Prabu Geusan Ulun adalah Mahkota Binokasih dan
Siger emas peninggalan langsung dari Raja Prabu Geusan Ulun yang berkuasa pada
1578 – 1601 masehi.
Mahkota Binokasih Sanghyang Pake, salah satu koleksi andalan Museum Prabu Geusan Ulun (sumber : wikipedia) |
Selain memajang inventaris peninggalam
kerajaan Sumedang Larang, Museum Prabu Geusan Ulun juga berperan memelihara
nilai budaya Sumedang lewat pengadaan pelatihan tari klasik, silat dan gamelan
untuk anak-anak dan remaja setempat. Pihak museum juga rutin mengadakan Kirab
Pusaka Leluhur Sumedang tiap tahunnya menjelang Bulan Maulud.
WISATA
ALAM DI SUMEDANG
Bendungan
Jatigede
Wacana pembangunan
Bendungan Jatigede sebenarnya
sudah ada sejak masa pendudukan Belanda di Sumedang. Rencana pembangunannya
baru kembali menyeruak pada tahun 1963, tenggelam lagi, lalu muncul lagi pada
tahun 2008, dimana bendungan ini akhirnya benar-benar mulai dibangun.
Pembangunan bendungan ini menelan total dana mencapai US$ 467 juta.
Meski biaya pembangunannya
amat mahal, bendungan dengan luas area 3035,34 hektar ini sukses menjadi
bendungan terbesar kedua di Indonesia dan Asia Tenggara. Bendungan Jatigede
menggenangi empat kecamatan di Sumedang, yaitu Kecamatan Jatigede, Kecamatan Jatinunggal,
Kecamatan Wado dan Kecamatan Darmaraja, sertamampu mengairi lahan seluas
90.000 hektar, meliputi 24 kecamatan di Kabupaten Indramayu, Majalengka dan
Cirebon. Bendungan Jatigede juga digunakan sebagai sarana penyediaan air baku, media
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 110 MW dan
produksi listrik rata-rata 580 GWH/tahun dan sebagai pengontrol banjir di
daerah sekitar sungai Cimanuk bagian hilir seluas 14.000 hektar.
Bendungan Jatigede (sumber : Nufus Nita Hidayati/ANTARA) |
Selain memiliki manfaat
teknis, Waduk Jatigede juga menawarkan keindahan alam yang terbentuk akibat
proses penggenangan. Puncak-puncak bukit, seperti Tanjung Duriat yang berada di
area genangan berpadu dengan hamparan air menciptakan pemandangan yang indah. Keindahan
latar tersebut menjadikan Bendungan Jatigede sebagai situs pariwisata potensial
bagi Sumedang.
Bendungan Jatigede juga
kerap menjadi lokasi penyelenggaraan HardFest Pesona Jatigede, festival budaya
dan pariwisata tahunan yang diselenggarakan pemerintah setempat dan Disbudpar
Jawa Barat untuk mempromosikan potensi pariwisata Sumedang bagi turis lokal
maupun mancanegara. Tahun ini, HardFest secara khusus bertujuan mendukung
kampanye promosi Bendungan Jatigede
sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) potensial Jawa Barat di masa mendatang.
Jika Bendungan Jatigede berhasil menjadi KEK, maka ia akan menjadi KEK pertama
yang dimiliki Provinsi Jawa Barat.
Perkebunan
Teh di Sumedang Selatan
Mengingat topografi wilayahnya yang
tinggi, tidak mengherankan jika Sumedang memiliki banyak kebun teh. Pemandangan
hijau kebun teh salah satunya dapat dijumpai di wilayah perkebunan teh
Margawindu, di Perbukitan Margawindu, Desa Citengah. Perkebunan teh peninggalan
Belanda ini berada di sisi selatan pusat Kabupten Sumedang dan dapat dicapai
dalam kisaran waktu tempuh hanya 45 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Jalan menuju Perkebunan Margawindu juga melalui tempat wisata lain, seperti
Wisata Air Cibingbin dan Air Terjun Cigorobog.
Pemandangan di Perkebunan Teh Margawindu (sumber : sumedangtandang.com) |
Selain Margawindu, kebun teh lainnya di
Sumedang juga dapat ditemui di wilayah Cibubut dan Cisoka, Sumedang Selatan. Sebagian
besar kebun teh di Sumedang dimiliki dan dikelola oleh warga, sehingga tidak
dibutuhkan tiket untuk masuk dan menikmati pemandangannya dari dekat. Kondisi
tersebut juga dapat dijadikan alasan untuk menjalin interaksi antara turis dan
warga setempat yang mengelola kebun teh tersebut.
Taman
Hutan Raya Gunung Kunci
Jawa Barat
memiliki tiga Taman Hutan Raya (Tahura), yakni Tahura Djuanda di Bandung, Tahura
Pancoran Mas di Depok, serta Tahura Gunung Kunci dan Gunung Palasari di
Sumedang. Tahura Gunung Kunci terletak berdampingan dengan Tahura Gunung
Palasari dan hanya dipisahkan jalan raya. Meski disebut ‘gunung’, Tahura Gunung
Kunci sebenarnya hanya berupa sebuah bukit kecil. Di dalam kawasan Gunung
Kunci, terdapat bangunan bersejarah berwujud sebuah benteng pertahanan yang dulunya
dibangun Pemerintah Kolonial Belanda.
Taman Hutan Raya Gunung Kunci, Sumedang (sumber : gpswisataindonesia.info) |
Tahura Gunung
Kunci sudah dijadikan objek wisata alam yang dikelola oleh Perum Perhutani
sejak tahun 2004. Tahura dengan luas 3,67 hektar ini bersebelahan dengan
kawasan Gunung Palasari yang luasnya 31,22 hektar. Konon, Belanda membangun
benteng pertahanan di Gunung Kunci untuk mengawasi kegiatan pemerintahan
pribumi, mengingat posisi benteng Gunung Kunci yang langsung menghadap ke arah
alun-alun Sumedang dari puncak bukit.
Dalam catatan
sejarah, benteng Gunung Kunci disebut Pandjoenan. Namun masyarakat sekitar
mengenalnya sebagai Gunung Kunci. Mungkin merujuk pada simbol kunci dan tulisan
G. Kuntji pada muka goa.
Hingga kini, gua
tempat pertahanan yang ditinggalkan Belanda masih ada dan dapat dimasuki
pengunjung Tahura Gunung Kunci. Namun sayang, kerusakan konstruksinya membuat
bagian dalam gua tersebut menjadi gelap dan lembab. Warga setempat percaya
kerusakan gua tersebut terjadi karena Belanda sengaja menghancurkannya saat
penjajah Jepang menduduki Sumedang, namun ada versi cerita lain yang menyatakan
bahwa gua tersebut rusak karena serangan Jepang.
Pintu Masuk ke benteng yang ada di Gunung Kunci (sumber : radarcirebon.com) |
Tahun 2019 lalu,
beberapa investor sempat melirik potensi pengembangan Tahura Gunung Kunci
menjadi situs wisata alam, karena terlepas dari keberadaan bentengnya, Gunung
Kunci menawarkan pemandangan hijau yang asri dari puncak bukitnya. Peluang
tersebut dapat diambil dan dimanfaatkan Pemkab Sumedang untuk mengembangkan
objek wisata tahura yang lebih modern, namun tetap mempertahankan kealamian dan
keasriannya.
Wisata Air Terjun (Curug)
Pemandangan Curug Cigorobog (sumber : qupas.id) |
Gunung Tampomas
Pada awalnya,
Gunung Tampomas dikenal penduduk sekitar dengan nama Gunung Gede. Gunung Tampomas diulas di dalam naskah
kuno Bujangga Manik yang ditulis pada abad ke-15. Nama ‘tampomas’ konon mulai
digunakan sejak kejadian meletusnya gunung tersebut pada masa silam. Mengetahui
bencana yang mungkin ditimbulkan letusan gunungnya, seorang pangeran dari
Kerajaan Sumedang Larang menaiki puncak gunung tersebut dan menancapkan kujang
emas miliknya di puncak gunung tersebut. Sejak saat itulah, nama ‘tampomas’
yang berarti ‘menerima emas’ digunakan untuk menyebut Gunung Tampomas.
Gunung Tampomas alias Gunung Gede (sumber : radarcirebon.com) |
Selain itu,
berbagai legenda klenik lainnya turut mewarnai kisah tentang Gunung Tampomas.
Prabu Siliwangi, salah satu raja Kerajaan Pajajaran konon pernah melakukan
pertapaan di Gunung Tampomas. Legenda tesebut kerap dikait-kaitkan warga
sekitar dengan keberadaan beberapa situs bebatuan yang ada di Gunung Tampomas,
seperti Batu Kasur yang dipercaya sebagai tempat beristirahat Prabu Siliwangi
dalam bertapaannya.
Puncak Gunung
Tampomas berada di ketinggian 1.684 meter di atas permukaan laut, menjadikannya
dataran tertinggi yang ada di Kabupaten Sumedang. Terlepas dari segala
kisah-kisah mistis yang menyertainya, Gunung Tampomas adalah destinasi wisata
alam yang sayang sekali dilewatkan siapapun yang mengunjungi Sumedang, terutama
turis yang menggemari olahraga hiking. Pemandangan Kota Sumedang dapat terlihat jelas dari puncak Gunung Tampomas.
Kondisi hutannya yang masih asri dan udaranya yang bersih menawarkan alternatif
baru dalam menikmati indahnya alam Sumedang.
WISATA
KULINER DI SUMEDANG
Soto Bongko
Selain
wisata alamnya yang mempesona, Sumedang juga diperkaya dengan keberadaan
kuliner khasnya. Sebagaimana wilayah lain di Jawa, Sumedang pun memiliki soto
khasnya sendiri yang dinamai Soto Bongko. Nama bongko sendiri berarti ‘gumpalan
besar’, mengacu pada lontong berukuran jumbo yang menjadi komposisi utamanya.
Secara umum, soto bongko yang dijual di Sumedang dibuat dari paduan lontong,
tahu, taoge rebus, bawang goreng dan kuah kari kental yang gurih. Penikmat soto
bongko juga dapat menambahkan kecap manis sesuai selera. Soto bongko yang dapat
dengan mudah ditemui di sekitar alun-alun Sumedang dan Pasar Sumedang ini biasanya
disajikan dengan kerupuk emping dan sambal sebagai pelengkap.
Soto Bongko khas Sumedang, dengan kupat tahu dan kuah kari kental (sumber : rancahpost.com) |
Salah
satu warung soto bongko yang ramai dikunjungi pembeli adalah warung Soto Bongko
Rusnandar yang ada di Pasar Sumedang. Kepada pembelinya yang tidak suka kuah
santan, Rusnandar juga menawarkan soto bongko dengan kuah kacang. Kuliner ini
biasanya disantap sebagai sarapan, namun tidak jarang juga warga Sumedang
menikmatinya untuk makan siang.
Kopi Sumedang
Sebagai wilayah
dengan topografi dataran tinggi, tidak mengherankan jika Sumedang memiliki
produk kopi arabikanya sendiri. Bahkan di masa lampau, kopi Sumedang sempat
diekspor ke Negeri Kincir Angin, Belanda. Meski demikian, kini pamor kopi
Sumedang tidak lagi mentereng. Penggemar kopi dari seluruh Indonesia lebih
mengenal produk kopi Gayo dan Toraja. Bahkan banyak pengunjung Sumedang yang
tidak mengetahui bahwa Sumedang memiliki komoditas kopi andalannya sendiri.
Ilustrasi kopi arabika Sumedang (sumber : trubus.id) |
Tak dinyana, Kabupaten Sumedang sebenarnya adalah salah satu dari empat sentra penghasil kopi arabika di Jawa Barat sejak perkebunan kopi didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kota Sumedang juga berusaha mengejar ketertinggalan tersebut dengan membuka Jurusan Kopi di salah satu sekolah kejuruan di daerahnya, sekolah pertama dan percontohan di Indonesia.
Produksi
kopi yang dihasilkan masyarakat Sumedang dalam setahun rata-rata tidak kurang
dari 300 ton. Namun, 95% produksi kopi Sumedang dijual petani secara
gelondongan ke luar daerah hingga mancanegara dengan harga Rp. 6500/kg (matang
dari kebun). Harga jual tersebut berada jauh di bawah harga jual olahan roasting kopi tersebut yang dapat
mencapai Rp. 200.000/kg.
Demi meningkatkan nilai tambah
komoditas kopi, kesejahteraan petani kopi dan kemajuan industri kopi Sumedang,
pemerintah dapat mengambil langkah strategis, dimulai dengan pengenalan kembali
kopi Sumedang bagi masyarakat Sumedang itu sendiri. Pengenalan tersebut dapat
dilakukan dengan langkah-langkah awal yang sederhana, seperti mengganti produk
kopi kemasan yang biasa diminum di lingkungan dinas dan pemerintahan Kabupten
Sumedang dengan kopi arabika Sumedang yang diproduksi langsung oleh petani kopi
Sumedang. Sementara di sisi hulu industri kopi, pemerintah dapat memfasilitasi
petani kopi dalam mencari pasar yang sesuai, serta meningkatkan kapasitas mereka
untuk dapat menjual produk kopi dalam kemasan dan cap dagangnya sendiri,
sehingga nilai tambah produk kopi Sumedang dapat menjadi lebih tinggi.
Kopi Geulis, salah satu produk UMKM andalan Sumedang dalam pameran produk kopi dan cokelat di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2019 lalu (sumber : kastara.id) |
Saat ini, sudah banyak
pengusaha yang berusaha memperkenalkan kembali kopi Sumedang dengan membuka
kedai kopi di wilayah Kabupaten Sumedang. Contohnya adalah Kedai Kopi 151 di
Jalan Prabu Geusan Ulun No.151 dan Waroeng Kopi Boehoen di Jalan Mayor Abdurrahman
nomor 138, Sumedang.
Tahu Sumedang
Kuliner
Sumedang yang paling populer tentu saja adalah tahu Sumedang. Tahu goreng gurih
yang biasa disajikan dengan sambal petis ini pada awalnya dijual oleh keluarga
imigran Tiongkok di Sumedang di bawah naungan nama ‘Tahu Bungkeng’.
Tahu sumedang goreng (sumber : ksmtour.com) |
Sejarah kepopuleran
Tahu Bungkeng dimulai sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun
1917. Seorang warga keturunan Tionghoa,
Ong Kino, pada mulanya mengolah tahu goreng untuk dinikmati bersama kerabat
terdekatnya saja. Namun pada suatu ketika, saat Ong Kino sedang menggoreng tahu
di depan rumahnya, Bupati Sumedang, Pangeran Aria Soeria Atmadja kebetulan
sedang berlalu di depan rumahnya dengan mengendarai sebuah dokar. Penasaran
dengan apa yang dimasak Ong Kino, Sang Bupati pun berhenti di depan rumah Ong
Kino dan mencicipi tahu buatannya. Sang Bupati, yang konon perkataannya bertuah
dan kerap jadi kenyataan, ternyata menyukai penganan berbahan baku kedelai
tersebut. Sang Bupati pun menyarankan agar Ong Kino menjual dan memasarkan tahu
tersebut, karena menurut Sang Bupati, tahu tersebut pasti akan laku keras.
Semenjak saat itu, Ong Kino mulai menjual tahu Sumedang dengan nama Tahu
Bungkeng, dan dagangannya selalu ramai dirubung pengunjung.
Hingga kini,kedai Tahu
Bungkeng masih beroperasi di Sumedang, tepatnya di Jalan Sebelas April No. 53, Kotakaler,
Kecamatan Sumedang Utara. Usaha yang berusia lebih dari 100 tahun itu kini
diteruskan oleh Suriadi, cucu dari Ong Kino. Meski kini ada banyak gerai tahu
Sumedang lain yang berjualan di seluruh Sumedang dan Indonesia, Suriadi tidak ambil
pusing. Ia dan usahanya hanya berfokus dalam menjaga keaslian dan kelezatan
citarasa resep tahu yang diwariskan keluarga kakeknya. Suriadi pun kerap turun
tangan dalam mengolah langsung dagangannya, mulai dari perendaman kedelai
hingga proses penggorengan.
Suasana di Kedai Tahu Bungkeng Sumedang yang tengah ramai dijunjungi pembeli (sumber : rajarasa.id) |
Selain rasanya yang
gurih, tekstur tahu Sumedang juga unik karena renyah di bagian luar, namun
empuk di dalam. Keunikan lainnya juga terdapat dalam pengemasannya. Tahu
Sumedang yang dijual dalam jumlah besar biasanya dikemas dalam wadah anyaman
bambu yang bernama bongsang, semacam keranjang yang dapat menampung 25 hingga
100 buah tahu. Harganya pun terjangkau. Satu porsi tahu Sumedang yang berisi 20
tahu umumnya hanya dihargai Rp. 10.000.
Keindahan alam, keragaman kuliner dan dalamnya jejak sejarah yang ada di Sumedang menjadikan Kabupaten di Jawa Barat ini sebagai destinasi wisata potensial di masa mendatang, baik bagi turis lokal maupun mancanegara. Sudah saatnya semua orang melirik Sumedang, bukan hanya karena tahunya, tapi karena seluruh hal yang bisa ditawarkan Sumedang selain tahunya yang gurih dan menggoda. Karena sebagaimana tahu Sumedang itu sendiri, Kabupaten Sumedang seperti menunggu untuk dicicipi.
REFERENSI :
https://beritabaik.id/read?editorialSlug=gallery-foto&slug=1544662858660-pesona-keindahan-waduk-jatigede-sumedang
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/276/222
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sumedang
https://jurnalbumi.com/blog/taman-hutan-raya-gunung-kunci/
https://kemlu.go.id/portal/id/read/495/berita/indonesia-perkenalkan-kopi-sumedang-dalam-pameran-kopi-cokelat-terbesar-di-afrika
http://sumedangtandang.com/sumedang/profil/sejarah.html
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Profil%20Museum%20Prabu%20Geusan%20Ulun%20Sumedang.pdf
https://www.genpi.co/travel/7380/menguak-fakta-tersembunyi-gunung-tampomas
http://www.indramayujeh.com/berita-terbaru/sumedang-miliki-biji-kopi-terbaik/
https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/kuliner/15/11/13/nxqjwk365-sejarah-lahirnya-tahu-sumedang
https://www.wartakini.co/2016/12/sudut-indah-kota-sumedang-sang-insun-medal
Thresnawaty S., Euis. (2011). Sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Patanjala , Vo.3, No.1 : 154-168
REFERENSI :
https://beritabaik.id/read?editorialSlug=gallery-foto&slug=1544662858660-pesona-keindahan-waduk-jatigede-sumedang
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/276/222
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sumedang
https://jurnalbumi.com/blog/taman-hutan-raya-gunung-kunci/
https://kemlu.go.id/portal/id/read/495/berita/indonesia-perkenalkan-kopi-sumedang-dalam-pameran-kopi-cokelat-terbesar-di-afrika
http://sumedangtandang.com/sumedang/profil/sejarah.html
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Profil%20Museum%20Prabu%20Geusan%20Ulun%20Sumedang.pdf
https://www.genpi.co/travel/7380/menguak-fakta-tersembunyi-gunung-tampomas
http://www.indramayujeh.com/berita-terbaru/sumedang-miliki-biji-kopi-terbaik/
https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/kuliner/15/11/13/nxqjwk365-sejarah-lahirnya-tahu-sumedang
https://www.wartakini.co/2016/12/sudut-indah-kota-sumedang-sang-insun-medal
Thresnawaty S., Euis. (2011). Sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Patanjala , Vo.3, No.1 : 154-168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar