My senior once said : if you're about to write a short story, make an empty space in its title. Ignore it until you finish the story. Make your title the summary of your writing.
And until i finished writing this, i don't know what title i should give. Maybe you can help?
-----
Aku tidak pernah
benar-benar menangkap arti sebenarnya dari konsistensi berkarya, bahkan jika Bu
Syafaah sekalipun yang menjelaskannya. Aku tidak menyimak pelajaran ini dari
awal. Atau bahkan, aku malah tak pernah ada di dalam kelas ini sejak awal. Yang
tengah duduk disana sekarang hanyalah sebongkah jasad mirip Argus—tapi bukan
Argus, yang selalu menunduk diam, mematut-matut meja ketika Bu Syafaah berkata
“Ada pertanyaan?”
Marvin lain cerita. Dia
hanya duduk 20 senti dariku, tapi aku paham betul bahwa kami berasal dari buku
dongeng yang berbeda. Dia adalah Pangeran Perancis dalam cerita Cinderella,
sementara aku adalah Tukang Jagal Paruh-waktu yang urung membunuh Putih Salju
karena tidak tega, si karakter yang terlupakan.
Marvin. Si tampan
berwibawa, berbodi tegap, bersuara dalam, berhati mulia. Aku harap aku bisa
bilang ‘berotak kosong’, tapi kabar buruk. Otaknya seperti spons, yang bahkan
masih cukup kering meski jam belajar kami diperpanjang sampai pukul 4 sore. Dia
juga jago Bahasa Inggris. Dia mungkin terminasi sebenarnya dari ‘anak IPS yang
harusnya masuk IPA’. Entahlah.
Kenyataan bahwa kami
duduk sebangku seolah menggambarkan sesuatu yang teramat kontras, seperti
penampakan ketan hitam dalam rendaman kuah santan. Itu kata orang, tapi aku tak
pernah sepakat. Kami sebenarnya mirip. Ibarat tanaman jagung yang hanya berbeda
varietas. Marvin jagung berbongkol besar, aku jagung gagal panen. Dia
benar-benar proyeksi diriku dalam berbagai bidang, termasuk menulis dan
melukis. Tapi dia juga jauh lebih baik. Glek.
Lalu dalam perjalanan
pulang dari sekolah, aku tahu sesuatu lainnya yang ‘kembar’ tentang kami.
“Gus,
ada yang mau aku omongin,” suara dalamnya membuka obrolan sore itu.
“Apa?” tanyaku, sambil
berharap keras bahwa itu bukan “aku ini homo, lho.”
“Aku suka seseorang”
Tuh, kan! Aku
berjengit, siap-siap mencari batu yang agak besar di pinggir jalan.
“Menurutmu Anita itu gimana orangnya?”
Aku menatapnya lama. Hampir
melongo. Setengah tak percaya. Anita?
“Gus? Kudenger kalian temenan dari SMP?”
Ini tentang orang yang
tiap malam aku lamunkan sebelum tidur, yang aku imajinasikan percakapan
dengannya, yang aku pernah melakukan hal-hal alay karenanya. Orang yang pernah aku mimpikan 7 malam
berturut-turut, cinta monyet zaman SMP yang masih subur hingga sekarang. Aku
harusnya bisa mengatakan A hingga Z, Sabang hingga Merauke, bumi hingga langit
tentang Anita. Tapi semuanya hilang karena pertanyaan enteng seperti “Anita itu gimana orangnya?” dilontarkan oleh seorang Marvin. Bukankah memang
selalu begitu?
“Item manis. Cantik, sih. Rajin sholat. Pinter juga, hehe.” Aku juga tak tahu apa fungsinya ‘hehe’ yang
canggung itu, jangan tanya.
“Banyak nggak ya orang yang ngebet sama dia?”
Kamu lagi bicara sama
salah satunya sekarang, woi!
Lalu
perjalanan pulang itu menjadi highway to
the hell. Setibanya di jalan raya, aku langsung memberhentikan sebuah bus
kota. Aku lalu naik dengan buru-buru, juga berpamitan dengan terburu-buru.
Dongeng itu nyata adanya sekarang.
Aku mengenal Anita ketika
kelas VIII SMP. Aku duduk tepat di belakangnya. Aku dapat mengamati dengan
lekat dirinya, lambaian rambutnya yang ia biarkan tergerai. Menghirup aroma
shampo yang ia pakai tadi pagi. Mendengar setiap obrolannya dengan Nur, teman
sebangkunya. Aku hanya tak pernah menyentuhnya, belum berani. Belum pernah
bisa. Belum cukup ‘bujang’ untuk menganggap bersentuhan dengan bukan muhrim itu
wajar-wajar saja.
Anita orang yang sangat
menyenangkan, menenangkan. Begitu pendiam, walau dengan suara merdunya,
representasi dari kerendahan hatinya sebagai anak sulung. Setiap inci dirinya
membawakan cinta, dan aku selalu meraupnya banyak-banyak. Iya. Aku jatuh cinta.
Aku mencintai setiap bagian dirinya yang semakin kutahu dari hari ke hari,
selama tiga tahun (termasuk fakta bahwa ia tak pandai memasak, yang entah
mengapa tetap terdengar manis bagiku).
Aku tak pernah
menceritakan tentang Anita kepada siapapun, kecuali dua orang. Almarhumah Ibu,
melalui fotonya di samping dipanku, lalu diriku sendiri. Ayahku? Jika aku perlu
bercerita padanya, itu akan jadi hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia
ini. Yang ayahku pedulikan hanyalah nomor-nomor ajaib dan tafsir mimpinya yang
(ia selalu percaya) berkaitan. Disamping itu, hanyalah dana alternatif untuk
menyokong kegiatan haramnya, ketika tuhan menghukumnya secara finansial.
Penghujung April, UN usai. Ingar-bingar
tentang SKS dan kunci jawaban juga usai. Siswa-siswi kelas XII berkumpul acak
di lapangan upacara sekolah, melepas balon ramai-ramai. Balon merah untuk IPS,
biru untuk IPA. Aku sendiri melepas balon berwarna ungu, entah apa artinya.
Kami membawa sendiri balon kami masing-masing dari rumah, dan aku tidak
menyiapkannya jauh-jauh hari. Hanya balon ungu yang bisa kutemukan di warung
dekat rumah tadi pagi, sebelum kuisi dengan helium yang disiapkan anak OSIS.
Siswa
kelas XII tertawa bersama, ber-tongsis ria, membuat acara perpisahan maju satu
bulan lebih cepat. Aku menjauhkan diri dari rombongan yang menarikku untuk
berfoto bersama. Semua kegirangan ini sebenarnya bukan milikku. Aku diam-diam
melirik kembali layar poselku dengan mata sipit, membaca pesan beracun beberapa
hari yang lalu.
Aku mau nembak Anita pas hari pelepasan balon nanti. Ada saran?
Aku tertegun beberapa saat sebelum membalasnya, waswas dengan apa yang aku sendiri lakukan.
White tulip. She really loves it.
Anita memang
suka tulip putih, no lie. Tapi dimana
Marvin mungkin bisa mendapatkannya? Aku sangsi akan hal itu, tapi juga cemas.
Bagaimana jika dia bisa betulan memberikannya? Dia kan Marvin. Apa yang tidak
bisa ia dapatkan? Hatiku tergelitik demi
membayangkan kegagalannya, tapi juga nyilu.
Aku
menatap cakrawala, mencari balon ungu yang malang itu. Sudah sebesar biji
kedelai jauh diatas sana. Jangankan digapai, dikenali saja sulit. Tiga tahun
membalik halaman demi halaman hidup dari chapter
yang berjudul ‘SMA’ akan diakhiri dengan sebuah kenyataan bahwa cerita tersebut
akan segera tamat dalam beberapa halaman lagi dan aku masih belum bisa
menentukan apakah ini akhir yang bahagia atau tidak.
Aku
tak bisa mengenali lagi balon ungu yang malang itu, saat ia melebur dengan
ratusan balon lainnya, melanglang buana. Semuanya tampak begitu sama : kecil,
jauh dan sepele. Ah, tapi kenapa pula dipusingkan? Memang untuk itulah
balon-balon itu dibuat, ditakdirkan. Dikembangkan untuk dilepaskan. Terbang
untuk pergi dan tidak kembali lagi. Sama seperti kami yang sebentar lagi akan
terbang dari SMA ini, demi diterpa gelombang kehidupan baru yang lebih keras,
sementara SMA ini akan melupakan kami tak lama lagi. Besok-besok aku juga akan lupa
tentang kehidupan SMA ini, yang kata Andrea Hirata adalah ‘tiga tahun karunia
dari Tuhan’. Segera. Kuharap.
Lihatlah!
Marvin dan Anita sedang berfoto ria di dekat tiang bendera bersama anak-anak English Club lainnya. Aku? Aku juga
bagian dari English Club. Tapi bukan
bagian dari mereka. Saat itu juga aku merasa bagaikan semut kecil yang merayap
berbaris di bawah rerumputan lapangan bola, mengangkut remah-remah biskuat.
Kecil, jauh dan sepele.
Gambar : koleksi pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar