Senin, 26 September 2016

Untitled (Short Story)


My senior once said : if you're about to write a short story, make an empty space in its title. Ignore it until you finish the story. Make your title the summary of your writing.

And until i finished writing this, i don't know what title i should give. Maybe you can help?

-----

Aku tidak pernah benar-benar menangkap arti sebenarnya dari konsistensi berkarya, bahkan jika Bu Syafaah sekalipun yang menjelaskannya. Aku tidak menyimak pelajaran ini dari awal. Atau bahkan, aku malah tak pernah ada di dalam kelas ini sejak awal. Yang tengah duduk disana sekarang hanyalah sebongkah jasad mirip Argus—tapi bukan Argus, yang selalu menunduk diam, mematut-matut meja ketika Bu Syafaah berkata “Ada pertanyaan?”

Marvin lain cerita. Dia hanya duduk 20 senti dariku, tapi aku paham betul bahwa kami berasal dari buku dongeng yang berbeda. Dia adalah Pangeran Perancis dalam cerita Cinderella, sementara aku adalah Tukang Jagal Paruh-waktu yang urung membunuh Putih Salju karena tidak tega, si karakter yang terlupakan.

Marvin. Si tampan berwibawa, berbodi tegap, bersuara dalam, berhati mulia. Aku harap aku bisa bilang ‘berotak kosong’, tapi kabar buruk. Otaknya seperti spons, yang bahkan masih cukup kering meski jam belajar kami diperpanjang sampai pukul 4 sore. Dia juga jago Bahasa Inggris. Dia mungkin terminasi sebenarnya dari ‘anak IPS yang harusnya masuk IPA’. Entahlah.

Kenyataan bahwa kami duduk sebangku seolah menggambarkan sesuatu yang teramat kontras, seperti penampakan ketan hitam dalam rendaman kuah santan. Itu kata orang, tapi aku tak pernah sepakat. Kami sebenarnya mirip. Ibarat tanaman jagung yang hanya berbeda varietas. Marvin jagung berbongkol besar, aku jagung gagal panen. Dia benar-benar proyeksi diriku dalam berbagai bidang, termasuk menulis dan melukis. Tapi dia juga jauh lebih baik. Glek.

Lalu dalam perjalanan pulang dari sekolah, aku tahu sesuatu lainnya yang ‘kembar’ tentang kami.

            “Gus, ada yang mau aku omongin,” suara dalamnya membuka obrolan sore itu.

“Apa?” tanyaku, sambil berharap keras bahwa itu bukan “aku ini homo, lho.”

“Aku suka seseorang”

Tuh, kan! Aku berjengit, siap-siap mencari batu yang agak besar di pinggir jalan.

“Menurutmu Anita itu gimana orangnya?”

Aku menatapnya lama. Hampir melongo. Setengah tak percaya. Anita?

“Gus? Kudenger kalian temenan dari SMP?”

Ini tentang orang yang tiap malam aku lamunkan sebelum tidur, yang aku imajinasikan percakapan dengannya, yang aku pernah melakukan hal-hal alay karenanya. Orang yang pernah aku mimpikan 7 malam berturut-turut, cinta monyet zaman SMP yang masih subur hingga sekarang. Aku harusnya bisa mengatakan A hingga Z, Sabang hingga Merauke, bumi hingga langit tentang Anita. Tapi semuanya hilang karena pertanyaan enteng seperti  “Anita itu gimana orangnya?” dilontarkan oleh seorang Marvin. Bukankah memang selalu begitu?

Item manis. Cantik, sih. Rajin sholat. Pinter juga, hehe.” Aku juga tak tahu apa fungsinya ‘hehe’ yang canggung itu, jangan tanya.

“Banyak nggak ya orang yang ngebet sama dia?”

Kamu lagi bicara sama salah satunya sekarang, woi!

Lalu perjalanan pulang itu menjadi highway to the hell. Setibanya di jalan raya, aku langsung memberhentikan sebuah bus kota. Aku lalu naik dengan buru-buru, juga berpamitan dengan terburu-buru. Dongeng itu nyata adanya sekarang.


Aku mengenal Anita ketika kelas VIII SMP. Aku duduk tepat di belakangnya. Aku dapat mengamati dengan lekat dirinya, lambaian rambutnya yang ia biarkan tergerai. Menghirup aroma shampo yang ia pakai tadi pagi. Mendengar setiap obrolannya dengan Nur, teman sebangkunya. Aku hanya tak pernah menyentuhnya, belum berani. Belum pernah bisa. Belum cukup ‘bujang’ untuk menganggap bersentuhan dengan bukan muhrim itu wajar-wajar saja.

Anita orang yang sangat menyenangkan, menenangkan. Begitu pendiam, walau dengan suara merdunya, representasi dari kerendahan hatinya sebagai anak sulung. Setiap inci dirinya membawakan cinta, dan aku selalu meraupnya banyak-banyak. Iya. Aku jatuh cinta. Aku mencintai setiap bagian dirinya yang semakin kutahu dari hari ke hari, selama tiga tahun (termasuk fakta bahwa ia tak pandai memasak, yang entah mengapa tetap terdengar manis bagiku).

Aku tak pernah menceritakan tentang Anita kepada siapapun, kecuali dua orang. Almarhumah Ibu, melalui fotonya di samping dipanku, lalu diriku sendiri. Ayahku? Jika aku perlu bercerita padanya, itu akan jadi hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia ini. Yang ayahku pedulikan hanyalah nomor-nomor ajaib dan tafsir mimpinya yang (ia selalu percaya) berkaitan. Disamping itu, hanyalah dana alternatif untuk menyokong kegiatan haramnya, ketika tuhan menghukumnya secara finansial.

Penghujung April, UN usai. Ingar-bingar tentang SKS dan kunci jawaban juga usai. Siswa-siswi kelas XII berkumpul acak di lapangan upacara sekolah, melepas balon ramai-ramai. Balon merah untuk IPS, biru untuk IPA. Aku sendiri melepas balon berwarna ungu, entah apa artinya. Kami membawa sendiri balon kami masing-masing dari rumah, dan aku tidak menyiapkannya jauh-jauh hari. Hanya balon ungu yang bisa kutemukan di warung dekat rumah tadi pagi, sebelum kuisi dengan helium yang disiapkan anak OSIS.

Siswa kelas XII tertawa bersama, ber-tongsis ria, membuat acara perpisahan maju satu bulan lebih cepat. Aku menjauhkan diri dari rombongan yang menarikku untuk berfoto bersama. Semua kegirangan ini sebenarnya bukan milikku. Aku diam-diam melirik kembali layar poselku dengan mata sipit, membaca pesan beracun beberapa hari yang lalu.

Aku mau nembak Anita pas hari pelepasan balon nanti. Ada saran?

            Aku tertegun beberapa saat sebelum membalasnya, waswas dengan apa yang aku sendiri lakukan.

            White tulip. She really loves it.

            Anita memang suka tulip putih, no lie. Tapi dimana Marvin mungkin bisa mendapatkannya? Aku sangsi akan hal itu, tapi juga cemas. Bagaimana jika dia bisa betulan memberikannya? Dia kan Marvin. Apa yang tidak bisa ia dapatkan?  Hatiku tergelitik demi membayangkan kegagalannya, tapi juga nyilu.


Aku menatap cakrawala, mencari balon ungu yang malang itu. Sudah sebesar biji kedelai jauh diatas sana. Jangankan digapai, dikenali saja sulit. Tiga tahun membalik halaman demi halaman hidup dari chapter yang berjudul ‘SMA’ akan diakhiri dengan sebuah kenyataan bahwa cerita tersebut akan segera tamat dalam beberapa halaman lagi dan aku masih belum bisa menentukan apakah ini akhir yang bahagia atau tidak.

Aku tak bisa mengenali lagi balon ungu yang malang itu, saat ia melebur dengan ratusan balon lainnya, melanglang buana. Semuanya tampak begitu sama : kecil, jauh dan sepele. Ah, tapi kenapa pula dipusingkan? Memang untuk itulah balon-balon itu dibuat, ditakdirkan. Dikembangkan untuk dilepaskan. Terbang untuk pergi dan tidak kembali lagi. Sama seperti kami yang sebentar lagi akan terbang dari SMA ini, demi diterpa gelombang kehidupan baru yang lebih keras, sementara SMA ini akan melupakan kami tak lama lagi. Besok-besok aku juga akan lupa tentang kehidupan SMA ini, yang kata Andrea Hirata adalah ‘tiga tahun karunia dari Tuhan’. Segera. Kuharap.

Lihatlah! Marvin dan Anita sedang berfoto ria di dekat tiang bendera bersama anak-anak English Club lainnya. Aku? Aku juga bagian dari English Club. Tapi bukan bagian dari mereka. Saat itu juga aku merasa bagaikan semut kecil yang merayap berbaris di bawah rerumputan lapangan bola, mengangkut remah-remah biskuat. Kecil, jauh dan sepele.

Gambar : koleksi pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar