Gambar 1. Siluet dari sosok tak penting
Singkat cerita, kami akhirnya mengompreng. Ini bukan pengalaman pertama buatku, tapi bagi ukhti-ukhti perkasa yang terus menjerit
sedari awal perjalanan tadi, bisa ditebak ini pengalaman perdana mereka. Malah,
bisa jadi yang tak terlupakan. Aku jadi teringat pengalaman pertamaku ngompreng
bersama teman-teman EP. Tapi kali ini suasananya agak berbeda, karena mobil
yang kami tumpangi adalah truk gandeng yang biasanya digunakan mengangkut
kelapa sawit. Bayangkan sendiri betapa besarnya bak yang kami tumpangi, tinggi
dindingnya saja lebih dari satu setengah meter.
Sesekali kami kelabakan mencari pegangan—yang sebenarnya
tidak tersedia—saat truk tersebut berguncang liar. Jalan menuju pelabuhan
memang tidak mulus. Beberapa bagian permukaan aspal sudah pecah berantakan,
kembali bercampur dengan licak tanah, berubah menjadi kubangan besar-besar.
Beberapa dari kami akhirnya dengan putus asa menempelkan tangan ke dinding bak
yang licin, seolah itu membantu kami menyeimbangkan diri. Di atas kendaraan
yang tidak stabil tersebut, duduk
dan berdiri sama sulitnya.
Matahari sudah tenggelam beberapa menit lalu. Kak Hardi berhitung
dengan keadaan, harap-harap cemas. Setelah Jarnawi mohon diri, secara tak
langsung tanggung jawab keberlangsungan acara ini kembali pada panitia yang
bertugas—yang sejak awal kukira, adalah Kak Hardi. Agenda kami malam ini adalah
pengadaan layar tancep dan nontong bareng Final Piala AFF bersama warga Desa
Karang Anyar di dusun seberang. Tapi truk kami bahkan belum sampai ke pelabuhan,
dan masih ada anak Sungai Musi yang harus diseberangi. Aku sempat sungkan
memikirkan, bagaimana lima puluh lebih peserta dan bawaannya yang berat-berat
ini akan diangkut dengan perahu kayu, menyeberangi sungai di malam hari.
Mungkinkah waktunya cukup?
Setelah satu jam lebih berjalan kaki, perjalanan dengan truk
ini bagaikan naik buroq. Dua kali
lipat jarak yang kami tempuh sebelumnya, pungkas hanya dalam waktu kurang dari
setengah jam.
Kami akhirnya sampai di pelabuhan yang dimaksud. Rombongan
Kak Reza yang membawa Land Rover dan
barang-barang bawaan kami semua tampak tersadar dari lamunannya, Pasti lama
sekali mereka sudah menanti.
Setelah mengamati beberapa lama, aku akhirnya mafhum bahwa
tempat tersebut adalah pelabuhan barang, alih-alih manusia. Tidak ada seorang
pun yang bisa kami lihat di tempat tersebut selain rombongan panitia, peserta,
sopir truk tadi serta seorang bapak-bapak yang menunggu di atas perahu kayu.
Selain itu, hanya ada bongkahan batu kali, gunungan batu koral dan
bangunan-bangunan operasional yang tidak dihuni.
Setelah berkumpul dan menerima arahan dari panitia, akhirnya
kami beralih pandang ke angkutan kami yang berikutnya : perahu. Hanya ada satu
perahu—yang dari tempatku berdiri tampak kecil sekali—, dan artinya kami harus
diangkut dalam dua kloter. Aku, Dinda, Fatma dan Lulu memutuskan untuk
menumpang di kloter kedua, sementara Genta yang entah sejak kapan kini sudah
naik ke atas perahu, mengamankan kursi terdepan untuk menyaksikan Final Piala
AFF di dusun tujuan kami.
Gambar 2. Menuju Karang Anyar
sumber : hp-remembrall.livejournal.com
Perahu tersebut tak beratap, sehingga kami masih bisa
menyaksikan wajah-wajah lelah penumpangnya menjauh dari tubir dermaga saat propeler perahu tersebut mulai mengayuh.
Beberapa detik kemudian, hanya nyala lampu senter mereka yang tampak membelah
Sungai Musi yang hitam, sebelum benar-benar hilang dalam kegelapan petang.
Dramatis. Aku hampir membayangkan perjalanan pertama Harry Potter menuju Kastil
Hogwarts.
Lalu sekarang bagaimana?
Kami duduk-duduk di atas hamparan koral dan ranting-ranting
kayu, seperti orang piknik yang salah pilih tempat. Beberapa anak perempuan
mulai mengeluarkan makanan ringan, sebagian yang lain membagikan lotion anti nyamuk. Amrina ingin pipis,
maka Ilham—yang ternyata pacarnya—pergi berkeliling pelabuhan tersebut untuk
mencari toilet. Hasilnya nihil. Tak ada toilet. Tak ada orang. Tak ada air
bersih. Berarti juga tak ada musholah. Dari sanalah muncul persoalan baru :
bagaimana caranya sholat maghrib? Aku dan kelompok kecilku ini akhirnya mulai
gusar membicarakan hal itu, karena jika jarak tempuh perahu tersebut untuk tiba
di seberang dan kembali kesini adalah 30 menit, maka kami baru akan tiba di
desa seberang lewat dari jam setengah delapan, atau saat waktu maghrib habis.
Dermaga terlalu tinggi dari permukaan air sungai, dan
mengambil wudhu di sungai di malam hari seperti ini juga kedengarannya bukan
ide yang bagus. Setelah itu pun, kami masih akan bermasalah dengan lokasi
sholat. Kami tak punya banyak pilihan.“Sudem
dek, dijamak tuhlah berarti
dengan Isya. Mending cak itu daripada
dak sholat nian”, ujarku menyimpulkan, lalu mereka mengiyakan dengan murung.
Sembari menanti, tak banyak yang bisa dilakukan. Kami—yang sekarang
ternyata lebih banyak laki-laki daripada perempuannya—hanya bercanda ringan dan
mengobrol ngalor-ngidul, sebagian besar tentang prediksi hasil pertandingan
Indonesia-Thailand malam ini. Aku sendiri tidak terlalu tertarik dengan
pertandingan olahraga, tapi jika untuk menonton TV, harusnya ponsel M**o-ku
bisa diandalkan saat ini jika baterainya tidak habis. Dan tentu saja baterainya
sekarang habis, seperti selalu. Ck.
Kak Reza menggombali Dinda. Kami tertawa. Lalu kami menguap.
Lalu menggaruk. Lalu bergosip. Lalu mengunyah dan menelan. Lalu Kak Reza
menggombali Dinda lagi. Lalu kami tertawa lagi, lalu menguap lagi. Begitu
terus, hingga suara mesin perahu terdengar di kejauhan dan kami semua berhenti.
Jarum panjang di arlojiku sudah melewati angka 12. Waktu
maghrib sudah hampir habis. Aku bulatkan niat untuk menjamak sholat Maghrib-ku
ke Isya. Tanpa buang banyak waktu, kami langsung mengangkut barang-barang
pribadi dan perlengkapan acara ke atas perahu—yang ternyata lumayan besar
setelah diamati lebih dekat. Aku pun naik belakangan, setelah Lulu, Fatma dan
Dinda.
“Biso berenang dak, dek?”, bisikku pada mereka dari
balik pundak Dinda.
“Idak kak. Kakak biso, kan?”, tanya Dinda berharap.
“Aelah. Samo bae
berarti”, lalu aku tertawa garing. “Bedoa
baelah dek, hahaha”.
Aku meletakkan kedua tasku, lalu duduk di belakang mereka,
di geladak bagian belakang. Perahu langsung berangkat setelah mesin dieselnya
dipacu beberapa kali. Kini tibalah giliran kami untuk membelah kegelapan Sungai
Musi.
Mengapa butuh waktu tempuh yang lama untuk sampai di
seberang? Hal tersebut akhirnya terjelaskan bersama rongrong mesin perahu.
Dusun yang kami tuju ternyata tidak terletak tepat di seberang kami, namun
sedikit lebih jauh ke arah Barat. Dengan kata lain, kami bukan hanya menyeberang,
tetapi juga menyusuri Sungai Musi. Ditambah faktor air yang sedang pasang,
mungkin arus sungai juga turut andil dalam mempersulit perjalanan kami.
Fatma dan Dinda menatapi langit malam. Aku tertarik untuk
mengikutinya, lalu kami pun terenyuh bersama. Kami tengah terapung di atas
arus, di suatu sudut Sungai Musi yang sama sekali tidak populer, jika
dibandingkan pemandangan Sungai Musi yang ada Jembatan Ampera-nya. Tapi jauh
dari rentetan klakson dan gemerlap lampu kota, kami justru menemukan
pemandangan lain yang lebih spektakuler. Kami sejatinya tengah pesiar di bawah
atap hotel bintang sejuta, digiring suara mesin perahu dan nyanyian jangkrik di
hutan di kejauhan. Ingin rasanya menunjuk-nunjuk gemintang di atas, memberi
tahu adik-adikku ini rasi bintang yang mana yang namanya apa. Tapi soal
astronomi, aku sama dungunya seperti berenang atau membawa sepeda, jadi biarlah
begini. Biarlah kami mengagumi langit malam itu dalam ketidaktahuan kami akan
semesta. Karena paham atau tidak pun, jutaan gemintang di atas kami tetaplah
indah.
Beberapa peserta yang bosan pun menyinari permukaan air
sungai. Salah seorang dari kami terkejut, lalu berteriak, mengheningkan
peserta-peserta lain yang tengah mengobrol. Ia baru saja melihat buaya. Di
tengah sungai berarus deras begini? Tapi ternyata saksi matanya lebih dari
seorang.
“Liat dak tadi
barusan, kak?”, tanya Fatma kepada Lulu, terdengar takut. “Jelas nian, ngambang cak kayu”.
Beberapa bahkan bilang matanya berwarna merah, entahlah. Aku
tak sempat lihat. Yang jelas, mereka yang tadinya asyik menyentuh-nyentuhkan
kaki ke permukaan air sungai kini meringkuk ke dalam perahu.
Setelah cukup lama berselimut dalam kegelapan, akhirnya tampak
beberapa titik cahaya di kejauhan. Kami sudah hampir sampai. Deru mesin perahu
pun melambat, lalu perlahan berhenti. Bapak yang mengemudikan perahu melompat
ke haluan dan mengeluarkan dayung panjang. Perahu kami merapat ke sebuah
dermaga kecil dari beton yang sebagian permukaannya terendam air.
Meski bukan pertama kalinya naik perahu, tapi sejujurnya,
saat berpindah dari perahu ke daratan bagiku selalu menakutkan. Sesekali perahu
bergoyang karena tidak seimbang menanggung bobot penumpangnya yang berangsur
turun. Walau duduk di belakang, aku berusaha tidak jadi yang terakhir
meninggalkan perahu.
“Dek, tolong bawaki kardus itu”,
pinta seorang panitia—yang tidak kuingat siapa—seraya menunjuk sebuah kardus
besar yang tergeletak di dekat kakiku. Seingatku, isinya logistik. Ditambah tas
punggung dan satu tas genggam, jelas bawaanku tidak ringan, tapi aku tak bisa
menolak. Aku pun berusaha menggotongnya bersama Kak Taqrim—kalau tidak salah
ingat—lalu perlahan membawanya keluar perahu yang bergoyang semakin tidak
stabil.
BRUK
Tepat di langkah pertama, aku
terjatuh—untungnya—ke depan. Beberapa peserta perempuan di belakangku berseru
kaget. Sebelah kakiku tercebur ke air karena sandalku licin, tapi Kak Taqrim
berhasil menjaga keseimbangan sehingga kardus tersebut tidak jatuh ke air. Tak
bisa kubayangkan jika semuanya berantakan gara-gara aku ._. Aku pun buru-buru
berdiri dan meneruskan menggotong kardus tersebut, entah kemana, asalkan jauh
dari air.
Ya, akhirnya kami tiba di bagian lain dari Desa Karang
Anyar! Karena pencahayaan yang masih minim dan baterai kamera fotografer kami
yang habis, sayangnya tak ada dokumentasi resmi dari awal mengompreng hingga
kami selesai menyeberang. Tapi yang terpenting adalah, akhirnya kami bersama
merealisasikan kata ‘Trip’ dari ‘Voluntrip’, tajuk acara kami. Yang tersisa
untuk dikerjakan sekarang adalah mempersiapkan diri untuk bagian lainnya, yaitu
‘volunteer’, esok hari. Tugasku dan rekan relawan Bersih-bersih Masjid baru
saja akan dimulai.
Bersambung (lagi)